Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Habis Bersaksi Ibu Dibui

Jaksa Gorontalo menahan seorang ibu yang bersaksi untuk perkara anaknya. Bebas sementara lewat praperadilan.

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBULAN lebih Melia Handoyo merasakan pengapnya Rumah Tahanan Gorontalo. Selama itu pula ia tak mendapat penjelasan gamblang tentang kesalahan yang dituduhkan jaksa kepada dirinya. "Jaksa cuma bilang saya melakukan korupsi, tapi detailnya tak pernah diberi tahu," kata Melia, 55 tahun, ketika ditemui di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Kejaksaan Tinggi Gorontalo menahan Melia dan anaknya, Raymond Chandrajaya, sejak 23 Juni sampai 4 Agustus 2015. Jaksa menuduh keduanya terlibat korupsi proyek pelebaran jalan nasional Gorontalo-Taludaa.Proyek senilai Rp 63,757 miliar ini dikerjakan oleh PT Mitha Prana Chasea. Di perusahaan ini, Raymond duduk sebagai direktur.

Pada 28 Juni lalu, Melia dan Raymond mengajukan gugatan praperadilan atas penahanan dan penetapan mereka sebagai tersangka. Pengadilan Negeri Gorontalo mengabulkan tuntutan keduanya pada 4 Agustus lalu. Hakim berpendapat jaksa banyak melewatkan prosedur selama penyidikan.

Begitu bebas, Melia terbang ke Jakarta. Awal September lalu, ia melaporkan jaksa penyidik perkara tersebut ke Markas Besar Kepolisian RI. "Saya melaporkan jaksa karena penyalahgunaan wewenang dan merampas kebebasan," ujar Melia. Dia pun berencana mengadu ke Komisi Kejaksaan.

Asisten Pidana KhususKejaksaan Tinggi GorontaloMeran Djemanmengatakan tidak risau oleh laporan Melia ke Markas Besar Polri. "Itu hak dia," kata Meran ketika dihubungi Senin pekan lalu. Dia pun menyatakan siap jika dipanggil polisi.

* * * *

Proyek pembangunan jalan sepanjang 16,55 kilometer yang menghubungkan Gorontalo bagian selatan dengan Tuladaa di Kabupaten Bone Bolango itu dimulai pada 2013. Hingga tenggat pada Juli 2015, masih ada ruas jalan sepanjang 250 meter yang belum dituntaskan PT Mitha Prana.

Di samping melampaui tenggat, menurut jaksa, pekerjaan yang sudah selesai pun tak sesuai dengan spesifikasi proyek yang dibiayai pemerintah pusat itu. "Potensi kerugian negaranya mencapai Rp 6 miliar," ujar jaksa Meran.

Pada 15 Mei lalu, Kejaksaan Tinggi Gorontalo memeriksa Raymond. Waktu itu Melia menemani anaknya. Sewaktu Melia menunggu anaknya diperiksa, penyidik memintanya masuk ke ruang pemeriksaan. Awalnya, Melia menolak karena tak ada surat pemanggilan untuk diperiksa.

Melia akhirnya bersedia diperiksa karena jaksa menyatakan keterangan dia hanya pelengkap. "Saya ditanya apakah tahu proyek itu serta apa hubungan dengan perusahaan anak saya," kata Melia. Kepada jaksa, Melia mengaku mengetahui proyek tersebut karena sesekali membantu anaknya yang punya riwayat sakit. "Tapi saya tak aktif di perusahaan," ujar Melia.

Merujuk pada cerita anaknya, Melia mengatakan proyek sempat tersendat karena pembayaran dari pemerintah tidak lancar. Menurut dia, PT Mitha sampai menomboki biaya penyelesaian jalan tersebut. "Sekarang jalan sudah 100 persen selesai, tapi uang belum turun," kata Melia.

Pada 23 Juni, Melia kembali menemani anaknya diperiksa. Lagi-lagi jaksa meminta dia bersaksi. Kali ini Melia menolak dengan alasan serupa: tak ada surat panggilan. Namun Melia menyerah setelah seorang jaksa mengatakan dia akan dianggap menghalangi penyidikan jika tak mau diperiksa.

Melia kaget bukan kepalang ketika sore harinya jaksa menyodorkan surat perintah penahanan sekaligus surat penetapan tersangka. Rupanya, di ruangan berbeda, Raymond disodori berkas serupa. "Kami menolak meneken surat itu karena tak didampingi kuasa hukum," ujar Melia. Toh, jaksa tak menggubris alasan itu dan tetap menahan mereka.

Kejaksaan berkukuh penahanan Melia dan anaknya sudah sesuai dengan prosedur. "Mereka langsung ditahan agar memudahkan penyidik dan tidak menghilangkan barang bukti," kata Meran. Namun, di sidang praperadilan, hakim Iriyanto Tiranda berpendapat lain.

Menurut sang hakim, ada beberapa kesalahan prosedur yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Gorontalo. Sejauh ini, jaksa hanya mengirim surat panggilan untuk Raymond ke rumahnya di Jalan Toar 12 Ling III, Wenang Selatan, Manado. Adapun Melia tak pernah menerima surat panggilan. Dia dua kali datang ke kejaksaan karena kebetulan menemani anaknya.

Sebaliknya, kejaksaan menyatakan sudah dua kali melayangkan surat pemanggilan untuk Melia, yakni pada 19 Juni dan 23 Juni 2015. Namun surat yang dikirim lewat ekspedisi itu kembali ke kantor kejaksaan karena alamat tujuannya tak lengkap. Jaksa menulis alamat Melia di Jalan Kramat 42, Jakarta Pusat. Padahal, di Jakarta, ada beberapa jalan dan permukiman dengan nama awal "Kramat". Misalnya Kramat Raya, Kramat Sentiong, Kramat Pulo Gundul, dan Kramat Jaya Baru.

Karena Melia tak pernah menerima surat tersebut, menurut hakim, argumen jaksa bahwa mereka telah berusaha mengirim panggilan pun gugur.

Hakim juga menilai Kejaksaan Tinggi Gorontalo menerabas syarat formal penahanan. Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan, dalam surat penahanan, penyidik harus menyebutkan alasan dan uraian singkat perkara yang disangkakan. Faktanya, Melia tak pernah mendapat penjelasan perkara itu.

Pertimbangan lain, hakim menganggap penyidik Kejaksaan Tinggi Gorontalo meloncati prosedur karena menahan Melia sebelum memeriksa dia dengan status tersangka. Ketika jaksa memeriksa Melia dan anaknya, keduanya masih berstatus saksi.

Ada juga kesalahan pengetikan dalam surat perintah penahanan Melia. Surat tanggal 28 Juni 2015 itu menyebutkan penahanan Melia berdasarkan surat perintah penyidikan tanggal 28 Mei 2015 dan surat penetapan tersangka pada 23 Maret 2015. Kesalahan pengetikan pun terjadi pada berkas perkara Raymond. Menurut hakim Iriyanto, kesalahan itu tergolong cacat yuridis.

Jaksa Meran mengakui kesalahan ketik itu. Menurut dia, surat perintah penyidikan dan surat penetapan tersangka keluar pada Juni, bukan pada Mei dan Maret. Jaksa pun mengirim koreksi surat penahanan pada 24 Juni 2015. Namun hanya surat untuk Raymond yang sampai ke tujuan. Sedangkan surat buat Melia kembali lagi ke kantor kejaksaan. "Saya curiga alamatnya sengaja disamarkan," ucap Meran.

Meski kalah di praperadilan, jaksa tetap melanjutkan pengusutan dugaan korupsi pembangunan jalan terusan Gorontalo-Taludaa. "Mereka lolos hanya karena masalah administrasi," ujar Meran. Menurut sang jaksa, penyidik pun telah mengantongi bukti yang kuat, termasuk soal keterlibatan sejumlah pejabat pemerintah Gorontalo dalam perkara ini.

Syailendra Persada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus