Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Angggota parlemen Jepang diusir dari ruangan saat rapat pemerintah daerah karena menghisap permen batuk ketika rapat.
Dilansir dari Telegraph.co.uk, 1 Oktober 2018, Yuka Ogata, 43 tahun, sebelumnya pernah diperintahkan untuk meninggalkan Kumamoto Municipal Assembly di Jepang selatan tahun lalu setelah membawa bayinya yang berusia tujuh bulan.
Yuka Ogata dikritik oleh rekan-rekannya ketika dia berbicara di podium dengan permen obat batuk di mulutnya.
Baca: Sambut Era Digital, PAUD Jepang Pakai Tablet untuk Belajar
Ketika Ogata menolak meminta maaf, majelis itu sepakat mengusirnya keluar dari sidang paripurna, seperti dilansir dari Japan Times.
Insiden ini sempat membuat sidang ditunda selama delapan jam dan masalah ini menjadi perdebatan luas di Jepang.
Meskipun tidak ada kebijakan resmi tentang makan dan minum di dalam majelis (setara dengan dewan lokal), beberapa anggota dilaporkan berpendapat bahwa dia telah melanggar klausul yang melindungi integritasnya dengan menghisap permen obat batuk.
Anggota Majelis Kota Kumamoto, Yuka Ogata (kanan), menggendong putranya di tempat duduknya di ruang sidang pada 22 November 2017. (Mainichi)
Insiden ini memicu pro dan kontra. Di antara kritikusnya adalah Kazufumi Onishi, Wali Kota Kumamoto, yang mengatakan, "Tidak dapat diterima bagi orang dewasa yang bertanggung jawab untuk mengajukan pertanyaan dengan permen (obat batuk) di mulut mereka. Dia harus mengakui kesalahannya."
"Jika itu adalah perusahaan swasta, ada kalanya orang-orang batuk atau yang menderita sakit tenggorokan mengambil obat batuk ketika mereka berbicara di depan orang lain. Saya tidak yakin apakah itu layak dihukum," kata seorang perempuan berusia 76 tahun yang ikutdalam rapat.
"Saya belum sehat selama beberapa hari terakhir dan memutuskan untuk mengambil obat batuk sehingga saya tidak akan mengganggu orang lain dengan batuk saya. Sangat disesalkan bahwa saya telah dipaksa meninggalkan ruangan tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan sendiri," kata Ogata dalam pembelaannya.
Baca: Memenangkan Ketua Partai, Shinzo Abe Jadi PM Jepang Terlama
Masalah ini tidak hanya menyoroti pro dan kontra dari permen batuk di lingkungan kerja, tetapi juga memberikan sorotan tajam pada masyarakat yang secara ketat terikat oleh etiket, aturan, dan hierarki yang tampaknya tidak fleksibel.
Bagi Ogata, debat mengenai batuk adalah yang terbaru dalam serangkaian tantangan profil tinggi yang dihadapi ibu dua orang sejak terpilih menjadi anggota parlemen pada April 2015.
Selain diminta untuk pergi setelah membawa bayinya bekerja November lalu, permintaan resmi dari Ogata untuk izin menyusui anaknya di kamar dan bantuan penitipan anak untuk pegawai pemerintah semuanya ditolak.
Baca: Universitas Negeri di Jepang Akan Terima Mahasiswi Transgender
Jepang terkenal tertinggal jauh di belakang negara-negara industri lainnya dalam hal kesetaraan gender di tempat kerja, terlepas dari dorongan tinggi Perdana Menteri Shinzo Abe untuk mengangkat kesetaraan gender.
Politik Jepang khususnya telah lama dikenal sebagai wilayah dominasi laki-laki, di mana perempuan hanya menyumbang 9 persen dari anggota parlemen majelis rendah tahun lalu, menempatkan Jepang di posisi 165 di antara 193 negara dalam hal porsi perempuan di pemerintahan, menurut Uni Inter-Parlemen yang bermarkas di Jenewa, Swiss.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini