Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah talk show di saluran TV3 Malaysia, dengan Ally Iskandar sebagai host, pernah mengangkat tema menarik awal tahun ini. Dalam percakapan ringan selama 60 menit itu, pertanyaan yang dicoba dijawab adalah apakah orang non-Melayu juga membeli kaset lagu Melayu. Untuk menjawab itu, TV3 memasang close circuit television di toko kaset. Setelah beberapa saat, seorang pembeli beretnis Tionghoa datang ke meja kasir dan menyodorkan kaset yang hendak dibayarnya. Apa itu? Ternyata album Naluri Lelaki, karya perdana Samsons, grup musik asal Indonesia.
Lagu-lagu asal Indonesia mudah ditemukan di Malaysia. Pusat belanja, mal, restoran sampai stesen (stasiun) pusat pengisian bahan bakar juga sering menyetel lagu Indonesia. Tempo, yang tinggal di Malaysia sejak dua tahun lalu, bahkan pertama kali mendengar hit Superman yang dibawakan anak-anak Ahmad Dhani di stesen pengisian minyak Petronas, sebelum marak di radio dan Internet.
Ini mengulang masa lalu, ketika dunia hiburan Malaysia tak pernah sepi dari darah Indonesia. Sebelum banjir artis pop sepuluh tahun belakangan, ada banyak nama yang sudah telanjur melekat di hati orang Malaysia. Sebut saja penyanyi Puteh Ramlee, pria berdarah Aceh yang terkenal di era 1950-1970. Lalu ada pelawak Daeng Harris yang berasal dari Makassar. Ada pula aktris Kasmah Boty, kelahiran Kisaran, dekat Medan, Sumatera Utara. Kemudian Osman Gumanti, penari dan ko reografer asal Aceh. Ada pula bintang komedi Abdurrahman Tompel, kelahiran Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Di era 1980-1990, penyanyi Malaysia seperti Ami Search sukses menembus pasar musik Indonesia. Tapi, menginjak tahun 2000-an, giliran musik pop Indonesia membanjiri pasar Malaysia. Tak hanya memutar, beberapa radio besar di Kuala Lumpur seperti Era FM, Hot FM, ataupun Suria FM memasukkan lagu-lagu Indonesia dalam tangga lagu mingguan mereka. Bahkan lagu-lagu Sephia dari Sheila on 7 dan lagu Jika dari Melly dan Ari Lasso pernah meraih penghargaan karena dapat bertahan lebih dari sepuluh minggu di tangga tertinggi lagu Era FM. Bahkan pula, Red FM membuat tangga lagu khusus untuk lagu Indonesia. Tangga lagu, atau charta dalam bahasa setempat, dengan host K.C. Ismail diberi nama Charta Baik Banget.
Sejak era 2000 pula konser musik penyanyi Indonesia yang digelar sudah tak terhitung jumlahnya. Sheila on 7 Tour, Dewa 19 Tour Malaysia, Konsert Cerita Cinta Rossa, hingga Konsert Pesta Malam Indonesia, yang diadakan setiap tahun, yang mengundang artis pop ternama Indonesia seperti Ada Band, Ungu, Cokelat, Padi, GIGI, Dewa 19, Peterpan, Samsons, Sheila on 7, Dewi-Dewi, Slank, dan Andra & The Blackbone. Puluhan ribu penggemar band tersebut memadati stadion. Tiket dijual minimal 50 ringgit atau sekitar Rp 140 ribu.
Aquarius Musikindo mengaku banyak menjual albumnya di Malaysia, antara lain album-album milik Reza Artamevia yang rata-rata terjual hingga 200 ribu keping. Rossa adalah salah satu artis Indonesia yang paling sering menggelar konser dan mendapat penghargaan di Malaysia. Pada 2009 saja, Rossa menerima dua penghargaan: sebagai penyanyi asing terbaik dalam Anugerah Industri Musik Malaysia (AIM 16) dan penghargaan karena lagu Ayat-ayat Cinta miliknya diunduh 700 ribu pengguna telepon seluler untuk nada sambung pribadi. Pekan ini grup musik Yovie and The Nuno baru memborong lima Platinum Award dari Sony Music Malaysia. Penjualan album terbaru mereka, The Single One, laris manis, mencapai 800 ribu keping. Lagu Menjaga Hati dari album yang sama juga diunduh untuk nada sambung pribadi 800 ribu kali.
Menurut Yovie Widiyanto, lagu-lagu Indonesia disukai karena kede katan kultur dan bahasa sehingga mudah dicerna. Selain itu, musik Indonesia terasa lebih dinamis serta beragam dan orisinal, sebuah keunggulan yang siap dibandingkan dengan musik dari negara Asia lainnya. Musik Indonesia bisa bermain di nada mayor dan minor dengan berbagai variasi. Sementara musik Malaysia, menurut dia, tak banyak variasi dan perubahan, serta didominasi nada-nada minor yang sedih. ”Coba simak lagu-lagu Koes Plus yang terasa riang. Sedangkan Isabella-nya Search terasa sendu,” kata Yovie.
Setahun lalu, maraknya serbuan musik Indonesia ini membuat berang Persatuan Karyawan Industri Musik Malaysia karena dianggap mematikan kreativitas musisi negerinya sendiri. Mereka meminta Menteri Tenaga, Air, dan Komunikasi Shaziman Abu Mansor membuat kuota ketat: 90 persen untuk lagu Malaysia, 10 persen untuk musik Indonesia. Namun, sulitnya, permintaan dari publik tidak berhenti bahkan pada Ramadan.
Sebut saja kelompok Peterpan, yang memulai tur lima kota untuk penjualan album ketiga Hari yang Cerah, bertepatan dengan saat musisi Malaysia mulai menolak musik Indonesia. ”Tapi enggak pengaruh tuh, yang menonton tetap berjubel,” Ukie, salah seorang perso nel grup asal Bandung itu, tertawa. Band terbaik Malaysia saat itu, Hujan Band, mereka jadikan band pembuka. Peterpan laris di Malaysia karena album mereka rata-rata laris di sana, termasuk Bintang di Surga yang mencapai 250 ribu keping. Tur-tur mereka dipadati pengunjung. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang cukup besar di sana menambah tingginya popularitas. ”Enam puluh persen fan kami penduduk Malaysia, sisanya warga Indonesia di sana,” katanya.
Musisi Malaysia Ahmad Fedtri Yahya mengakui Indonesia memiliki kreativitas yang lebih yahud daripada negerinya. ”Mungkin karena jumlah penduduknya sepuluh kali daripada kami,” kata produser sekaligus penyiar Malaysia Hari Ini di saluran televisi TV3 itu. Tapi ia sendiri tidak setuju bila ada kuota. Yang ia harapkan justru kolaborasi antara musisi Indonesia dan Malaysia, seperti yang ia lakukan ketika lagu ciptaannya, Dia, Aku dan Kamu dinyanyikan Red Peanut, grup Bandung, yang berduet dengan Nadia, penyanyi Malaysia.
Ini serupa dengan yang dilakukan Yovie Widiyanto, yang memberi izin lagu Cantik ciptaannya untuk grup Kahitna dinyanyikan ulang oleh rapper Malaysia. Dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa, 8 September ini, Menteri Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Rais Yatim memberikan garis tegas antara kepemilikan dan karya. ”Boleh nyanyi, tapi jangan dikatakan itu hak sendiri. Kalau itu dari Indonesia, itu hak Indonesia. Kalau itu lagu Siti Nurhaliza, itu hak Malaysia.”
Seperti banyak premis di dunia hiburan terjadi, akhirnya selera publiklah yang menentukan. Seperti percakapan dua anak lelaki di pinggir apartemen di kawasan Petaling Jaya, Kuala Lumpur. Tak peduli lagu yang mereka nyanyikan berasal dari mana, yang penting enak dipakai berdendang seharian, sepekan lalu.
”Oo..., kamu ketahuan, pacaran lagi, dengan dirinya, teman baikku,” mereka bernyanyi. Bagian refrain dari lagu grup musik Matta asal Indonesia itu mereka lafalkan berulang-ulang. ”Lepas tu apa?” tanya salah satu anak. Yang satunya menggeleng. ”Tak tahulah. Jom (ayo) nyanyi lagi,” kata temannya. Tak mampu menyanyikan bait lain, mereka pun kembali konsentrasi ke bagian refrain-nya. ”Oo..., kamu ketahuan….”
Kurie Suditomo, Sita Planasari (Jakarta), Masrur Dimyathi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo