MALAM itu di berbagai gedung umum keramaian pesta dansa
sedang berjalan, menyambut pelantikan Presiden Ronald Reagan.
Para pirsawan di rumah, lapor pembantu TEMPO An Nanda,
mengikuti siaran televisi langsung dari Aljazair. Pesawat yang
membawa 52 sandera (termasuk dua wanita) dari Iran sedang
mendarat di lapangan udara Aljir. Dan terjadilah percakapan
antara penyiar dan korespondennya di Aljir itu.
"Bagaimana penglihatan anda, apakah para sandera baik-baik
saja?"
Koresponden: "Yang saya lihat, mereka baik-baik saja."
Penyiar: "Apakah tidak ada yang pincang, atau tanda-tanda
bahwa mereka telah diperlakukan dengan kejam oleh teroris
Iran?"
Koresponden: "Tidak, saya tidak lihat."
Bekas sandera yang turun dari pesawat Aljazair itu semua tampak
sehat. Banyak yang tersenyum. Tapi percakapan televisi tadi
jelas menjadi tema yang bertujuan mencari konfirmasi bahwa para
sandera telah diperlakukan secara kejam.
kemudian setibanya mereka di rumah sakit Amerika di Wiesbaden,
Jerman Barat, tema tadi berkembang. Bekas Presiden Jimmy
Carter, sebagai utusan khusus Reagan, datang menjumpai
bekas sandera yang sedang dirawat itu. Sesudah pertemuan
emosional itu Carter menyatakan kesannya bahwa orang Iran telah
berlaku biadab. Acts of barbarism, demikian ungkapannya yang
tersiar luas pekan lalu.
Selanjutnya beruntun pemberitaan pers tentang perlakuan keji
terhadap sandera. Sebagian kisah ini tersiar setelah bekas
sandera menelepon keluarga masing-masing dari Wiesbaden.
Patsy, misalnya, mendengar dari suaminya, Gary Lee yang mengaku
dirinya pernah diteror oleh mahasiswa militan di Teheran.
Bersama Richard Queen, sandera yang terlebih dulu dilepas karena
sakit, Lee konon diikat dikursi. Mata mereka ditutup erat dengan
kain. "Gary mengatakan dia mengira dia akan mati. Para pengawal
memainkan pelatuk senjata selalu di belakang mereka. Kemudian
para pengawal menganggap semua itu seperti main-main," cerita
Patsy.
Malcolm Kalp, diplomat yang dituduh jadi agen CIA, menelepon
keluarganya bahwa ia pernah ditendang dan dipukul dalam
tahanan. Selama 374 hari ia disisihkan dari yang lain karena ia
berulang kali berusaha minggat. Kalp mengatakan ia ingin
kembali ke Iran dengan pesawat B-52 dan "menjatuhkan bom
seharga delapan milyar dollar."
Tidak semua punya perasaan dendam terhadap Iran. Kathryn Koob,
salah seorang dari dua sandera wanita, bercerita bahwa perlakuan
terhadap dirinya baik. "Semua yang saya butuhkan mereka berikan.
Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka bukan teroris. Orang Iran
itu orang yang baik. Kita hendaknya tidak menyamaratakan," kata
wanita itu.
BARRY Rosen, atase pers, menelepon temannya di New York Times.
"Tiap hari," katanya, "kematian hadir dalam pikiran saya. Tapi
orang Iran itu tak pernah mengatakan mereka akan membunuh saya
dan saya tak pernah dianiaya." Penyandera menuduh Rosen seorang
mata-mata dan dirty Zionist. Sebagai orang Yahudi, Rosen menduga
perlakuan kasar akan dialaminya tapi, katanya, dia tidak
merasakan sikap anti-Yahudi yang terus-menerus.
Dari John Limbert Jr. tak mungkin ada sakit hati. Parvaneh,
istrinya, adalah keturunan Iran. Bersama dua anaknya, sang istri
tinggal di Jedah, Arab Saudi, selama Limbert disandera. Perihal
keluarganya sangat dirahasiakan selama ini.n
Walaupun mungkin tak cidera karena pernah dipukuli, Limbert dan
bekas tahanan lainnya diduga akan lama menderita. Mereka, kata
Dr Jerome Krcak yang mengepalai tim medis dari Deplu Amerika di
Wiesbaden, mengharapkan pengertian keluarga. "Sabarlah selalu
mendengar cerita mereka. Bekas sandera ini akan berulang kali
menceritakan pengalaman masing-masing selama dalam tahanan."
Kini pengalaman pahit mereka diberitakan secara besar-besaran.
Citra Iran jadi cemar karenanya. Seolah ada semacam kampanye
membina pendapat umum di Amerika supaya akhirnya pemerintahan
Reagan tidak merasa terikat oleh perjanjian Aljir.
"Orang Amerika kita di Iran telah diperlakukan jauh lebih buruk
daripada yang pernah diungkapkan semula," demikian Carter.
Mendengar laporan ini Reagan konon marah sekali. Bantahan Iran
sudah jelas tak dipercayainya. Memang "diplomat Amerika yang
mengejar kesenangan itu," kata Behzad Nabavi yang memimpin
delegasi Iran ke perundingan pembebasan sandera hingga tercapai
persetujuan di Aljir itu, "tak pandai berterima kasih . . . dan
tak memahami arti budi baik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini