LUAPAN rasa kegembiraan memang sulit dibendung, meskipun
ketegangan selama menanti kedatangan sebenarnya sudah berlalu.
Begitulah yang terjadi di Lapangan Udara Stewart, West Point,
ketika 52 orang Amerika (termasuk 2 wanita) yang disekap selama
444 hari oleh mahasiswa militan Iran tiba kembali di tanah air
mereka. Hari Minggu itu, sekitar 200 ribu orang berjejer di
sepanjang jalan dari lapangan udara ke Hotel Thayer, tempat para
bekas sandera dan keluarga menginap.
Diiringi suara sirene yang mengaum, bis yang membawa mereka
mendapat tepukan tangan para penjemput ketika meninggalkan
Lapangan Udara Stewart. Dan mereka tersenyum ketika membaca
spanduk yang bertuliskan "Beli surat Obligasi Perang Irak." Ini
paling tidak memberi kesan dukungan terhadap Irak dalam perang
melawan Iran. Dan spanduk lainnya bertuliskan: "Minggu Istimewa:
Amerika 52, Iran 0."
Memang bagi para penjemput, kembalinya bekas sandera itu suatu
kemenangan yang luar biasa. Mereka betul-betul sudah melupakan
ketegangan yang terjadi ketika berlangsung perundingan antara AS
dan Iran di Aljir, ibukota Aljazair. Apalagi di tengah
kegembiraan itu para pejabat AS berulang kali menyebutkan bahwa
AS tak membayar sepeser pun untuk pembebasan sandera. Dengan
kata lain mereka tidak membayar uang tebusan. Apa yang akan
dibayarkan AS, sebagaimana yang tercantum dalam persetujuan di
Aljir, adalah pengembalian kekayaan Iran yang dibekukan
Pemerintah Carter setelah terjadi penyanderaan staf kedubes AS
di Teheran, 4 November 1979.
MENURUT bekas Menteri Keuangan, William Miller, Iran hanya akan
menerima US$2,9 milyar dari depositonya yang lebih dari US$ 12
milyar yang dibekukan Pemerintah Carter. Uang itu akan
dibayarkan setelah dibebaskannya para sandera. Menurut
persetujuan Aljir, AS menyerahkan uang sebesar US$ 8 milyar
dalam rekening Pemerintah Aljazair di Bank of England, London.
Dan dari jumlah itulah yang akan dibayarkan kepada Iran. Sedang
selebihnya, US$ 5,1 milyar, akan digunakan sebagai pembayar
utang Iran kepada bank-bank AS dan Eropa.
Sementara itu sisa deposito Iran sebesar US$ 4 milyar akan tetap
berada di AS. Itu rencananya akan digunakan sebagai pembayaran
klaim perusahaan-perusahaan Amerika bila sudah dinyatakan sah
oleh badan arbitrase internasional. Dan dalam persetujuan itu
juga disebutkan bahwa para sandera tidak diperkenankan menuntut
ganti kerugian kepada Iran. Maka itu pada jam-jam terakhir Jimmy
Carter sebagai presiden, ia telah mengeluarkan suatu keputusan
yang melarang ke-52 sandera mengajukan tuntutan ganti rugi.
Namun ketika persetujuan itu sudah ditandatangani Deputi Menlu
AS, Warren Christopher, di Aljir, Senin pekan lalu, masalah
pembebasan sandera tetap masih tertunda. Carter yang dengan
gembira mengumumkan telah tercapainya persetujuan melalui
televisi, mendadak jadi kecewa. Apalagi sejak semula ia
berhasrat sekali untuk menjemput langsung para sandera di
Wiesbaden, Jerman Barat, dalam kedudukannya masih sebagai
presiden. Dan pesawat Boeing 727 Aljazair, yang iudah berada di
Lapangan Udara Mehrabad untuk menjemput para sandera, terpaksa
terus menunggu.
Menurut seorang pejabat yang dekat dengan Behzad Nabavi, Menteri
Negara Urusan Pemerintahan yang menjadi Ketua Delegasi Iran
dalam perundingan itu, Amerika Serikat tak bersedia membayar
lebih dari US$ 5 milyar. Sedang pejabat Iran lainnya
rnenyebutkan bahwa beberapa bankir Amerika menolak untuk
mentransfer sejumlah uang yang sudah disetujui ke Bank of
England. "Jika mereka tak setuju, sandera akan diadili. Dan kami
tidak akan membuat persetujuan dengan Reagan," ujar pejabat itu.
Karena penundaan itu Carter, yang semula akan ke Wiesbaden
sebelum upacara pelantikan Ronald Reagan sebagai presiden AS
ke-40, terpaksa membatalkan niatnya. Dan kemudian baru diketahui
bahwa Iran sengaja memperlambat pembebasan sandera. Wartawan
Daily Telegraph, London, melaporkan bahwa pesawat yang
mengangkut para sandera itu baru diizinkan berangkat setelah
masa jabatan Carter berakhir. Memang pesawat itu berangkat 25
menit setelah Presiden Ronald Reagan disumpah. Tindakan Iran ini
merupakan penghinaan terakhir buat Carter yang selama ini mereka
sebut 'Setan Besar'.
Walaupun tak banyak penduduk Teheran yang tahu tentang
pembebasan sandera itu, pengawalan rupanya tetap diperketat. Dan
ketika akan memasuki pesawat setiap sandera diapit oleh 2 atau
3 orang Pengawal Revolusi. Malam itu pelabuhan udara Mehrabad
hanya disinari bulan. Soalnya ialah sejak perang Iran-Irak
lampunya tak pernah lagi dihidupkan. Dan begitu pesawat Boeing
727 milik Aljazair akan lepas landas, orang-orang yang berada di
situ meneriakkan Allalu Akbar dan Marg bar Amrika (Mampus
Amerika).
Tak lama setelah sandera tiba di Aljir, 2 pesawat terbang
Angkatan Udara AS yang punya fasilitas rumah sakit juga
mendarat. Dan dengan pesawat itu para bekas sandera diterbangkan
ke Pangkalan Udara AS di Wiesbaden. Mereka disambut oleh bekas
Menlu Cyrus Vance, yang mengundurkan diri dari Pemerintahan
Carter karena menentang Operasi Cahaya Biru, April tahun lalu.
Operasi yang bertujuan membebaskan sandera itu gagal di tengah
jalan.
Selama bekas sandera berada di Wiesbaden, banyak wartawan
kecewa. Paulina Heidemann, koresponden TEMPO di Jerman Barat
melaporkan: Sejak terbetiknya berita sandera akan dilepaskan ada
200 wartawan berada di Wiesbaden, sebagian besar datang dari AS.
Tujuan mereka tentu saja ingin menginterpiu para sandera yang
baru bebas itu. Namun sejak bekas sandera tiba, jurubicara Deplu
AS, Jack Cannon, sudah menegaskan bahwa tidak ada kemungkinan
buat wartawan mewawancarai mereka.
"Jack, Jack, Jack," begitu suara wartawan bersahut-sahutan
memanggil Jack Cannon dalam suatu acara jumpa pers di Commander
Theater, Pangkalan AU-AS di Wiesbaden. Mereka rupanya saling
rebutan untuk menanyakan kemungkinan bisa menginterpiu bekas
sandera. Namun Cannon membantah anggapan bahwa pemerintah AS
sengaja menghalang-halangi. Ia sekali lagi menegaskan bahwa
tidak diperkenankannya wawancara itu semata-mata alasan medis,
di samping para bekas sandera juga perlu istirahat.
Namun kedatangan Carter ke Wiesbaden sebagai utusan Reagan untuk
menyambut sandera, Rabu pekan lalu, langsung menimbulkan heboh.
Selama pembicaraannya dengan bekas sandera yang berlangsung 45
menit, ia mendapat kesimpulan bahwa perlakuan Iran terhadap
sandera sungguh kejam. "Tindakan Iran memperlakukan sandera
betul-betul biadab," kata Carter sepulangnya dari Wiesbaden. Dan
ia segera menulis surat kepada Reagan, melaporkan apa yang
diketahuinya mengenai penyiksaan oleh Iran.
Membaca surat Carter ini Reagan juga ikut berang. Bekas Wakil
Presiden Walter F. Mondale yang mengantarkan surat itu kepada
Reagan mengatakan bahwa Reagan sangat murka sebagaimana juga
bangsa Amerika lainnya. "Perlakuan orang Iran terhadap 'sandera
yang tidak berdosa itu' oleh Reagan dinilai hampir sama dengan
tindak-tanduk binatang," ujar Mondale (lihat box).
Sejak timbulnya heboh mengenai perlakuan terhadap sandera,
desakan untuk membatalkan persetujuan AS-Iran semakin santer
terdengar. Ini diawali oleh pernyataan juru bicara Deplu AS yang
baru, William Dyess, mengenai perlunya Pemerintahan Reagan
mempelajari persetujuan di Aljir itu. "Saya kira Pemerintah
Reagan tidak akan langsung terikat untuk mengikuti persetujuan
itu tanpa diberi kesempatan menyelidikinya lebih dahulu," kata
Dyess.
Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan kalangan pengusaha
yang sekarang sudah mengajukan claim ke pengadilan terhadap
utang Iran. Suatu kelompok, yang beranggotakan 100 perusahaan
yang sedang menuntut kompensasi Iran sebesar US$ 1 milyar, telah
mendesak Presiden Reagan agar menunda keputusan bekas Presiden
Carter. Bahkan Senator Dennis DeConcini dari Partai Demokrat
telah menghimbau Reagan agar menyatakan bahwa AS tidak terikat
dengan persetujuan yang dibuat berdasarkan ancaman dan
pemerasan. "Persetujuan itu dibuat karena ancaman dan pemerasan
secara hukum tidak sah," ujarnya.
BEKAS Wakil Presiden Walter Mondale dan Lloyd Cutler, bekas
penasihat Carter, menyatakan bahwa persetujuan dan keputusan
pemerintah yang dikeluarkan semasa Carter berkuasa dalah sah.
Bahkan bekas Menlu Edmund Muskie mengatakan bahwa persetujuan
itu dibuat tidak dengan paksaan. "Persetujuan itu dibuat secara
beradab melalui diplomat Aljazair, dan tak satu pun tuntutan
Iran yang dipenuhi," ujarnya.
Memang usaha untuk membatalkan persetujuan itu semakin keras.
Yang jelas ini merupakan suatu ujian buat Reagan. Dan sekaligus
ujian buat negara yang beradab yang sedang bergembira menikmati
kemenangannya dari suatu sengketa yang berlangsung 444 hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini