Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Myanmar
PBB Keluarkan Resolusi Stop Kekerasan
DEWAN Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi resolusi tentang Myanmar, Rabu, 21 Desember lalu. Dewan Keamanan menuntut diakhirinya kekerasan dan mendesak junta militer membebaskan semua tahanan politik, termasuk pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Myanmar berada dalam krisis sejak tentara mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan terpilih yang dipimpin Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Militer menahannya dan pejabat lain serta menanggapi protes para aktivis prodemokrasi dengan penangkapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap anggota PBB terpecah ihwal bagaimana menangani krisis Myanmar. Cina dan Rusia menentang tindakan keras terhadap negara itu. Keduanya bersama India abstain dalam pemungutan suara tersebut. Adapun 12 anggota Dewan Keamanan lain memberi suara dukungan.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah organisasi pemantau hak asasi manusia, mengatakan lebih dari 16 ribu orang ditangkap di Myanmar sejak militer melakukan kudeta. Lebih dari 13 ribu masih dalam tahanan. Asosiasi juga mengatakan 2.465 warga sipil tewas sejak perebutan kekuasaan oleh militer itu.
“Hari ini kami telah mengirim pesan tegas kepada militer bahwa mereka tidak boleh ragu. Kami berharap resolusi ini dilaksanakan secara penuh,” ucap Duta Besar Inggris untuk PBB, Barbara Woodward, setelah pemungutan suara atas resolusi yang diusulkan Inggris ini, seperti dilansir Al Jazeera.
Kementerian Luar Negeri Malaysia menyambut baik resolusi tersebut dan menyebutnya sebagai dukungan untuk Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dalam menemukan solusi damai di Myanmar. “Malaysia akan bekerja sama dengan ASEAN dan dengan mitra eksternal untuk memastikan kemajuan upaya ini demi kepentingan rakyat Myanmar,” tutur kementerian dalam pernyataannya, Kamis, 22 Desember lalu.
Resolusi ini juga menggarisbawahi kebutuhan menciptakan kondisi untuk kembalinya etnis minoritas muslim Rohingya yang dipaksa keluar dari Myanmar dalam operasi militer brutal pada Agustus 2018. Sekitar 700 ribu orang Rohingya masih hidup sebagai pengungsi di Bangladesh dan sejumlah negara sekitarnya.
Afganistan
Taliban Melarang Perempuan Kuliah
PEMERINTAH Taliban Afganistan, Selasa, 20 Desember lalu, memerintahkan universitas negeri dan swasta di seluruh negeri itu untuk menangguhkan akses siswa perempuan sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi, Hafiz Zia Hashami, mengatakan perintah tersebut adalah keputusan kabinet Taliban.
Langkah tersebut adalah yang terbaru dari serangkaian pembatasan yang diberlakukan Taliban terhadap perempuan Afganistan dalam kehidupan publik dan pendidikan sejak kelompok ini merebut kekuasaan 16 bulan lalu.
Human Rights Watch mengecam larangan tersebut dan menyebutnya sebagai keputusan memalukan yang melanggar hak atas pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan di Afganistan. “Taliban memperjelas setiap hari bahwa mereka tidak menghormati hak-hak dasar warga Afganistan, terutama wanita,” ucap lembaga pemantau HAM ini seperti dilansir VOA.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengaku “sangat khawatir” atas langkah terbaru Taliban ini, kata juru bicaranya. Guterres menegaskan kembali bahwa “penolakan pendidikan tidak hanya melanggar persamaan hak perempuan dan anak perempuan, tapi juga akan berdampak buruk pada masa depan negara ini”.
Ukraina
Zelenskyy Berpidato di Kongres Amerika
PRESIDEN Ukraina Volodymyr Zelenskyy melakukan perjalanan luar negeri pertamanya selepas invasi Rusia pada 24 Februari lalu. Ia bertolak ke Amerika Serikat, Rabu, 21 Desember lalu. Setelah bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Washington, DC, ia juga berpidato di depan Kongres Amerika dan menyatakan bahwa negaranya “tidak akan pernah menyerah”.
Presiden Zelenskyy menyampaikan terima kasih kepada pemerintah dan rakyat Amerika Serikat atas dukungan mereka yang berupa bantuan militer dan kemanusiaan dalam menghadapi serangan Rusia. Ia menyampaikan bahwa uang dari Washington itu bukan amal, melainkan investasi bagi keamanan global dan demokrasi.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy berpidato di Kongres Ameriksa Serikat di Washington, Ameriksa Serikat, 21 Desember 2022. REUTERS/Evelyn Hockstein
Amerika adalah sekutu terpenting dan penyokong terbesar Ukraina dalam menghadapi Rusia. Seperti dilansir media Jerman, Tagesspiegel, sejak masa jabatan Presiden Joe Biden Januari 2021, Negeri Abang Sam memberikan hampir US$ 22 miliar bantuan militer ke Ukraina. Pada kesempatan kunjungan Zelenskyy, Amerika mengumumkan paket bantuan militer lain sebesar US$ 1,85 miliar.
Joe Biden, dalam konferensi pers bersama Zelenskyy di Gedung Putih, menegaskan dukungan permanen Amerika Serikat dan negara Barat. “Anda tidak akan pernah sendirian,” katanya. “Kami akan mendukungmu selama diperlukan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo