HANYA sepekan sejak Ampil jatuh, banyak perubahan terjadi. Suasana pun berganti. Basis terkuat gerilyawan KPNLF (Front Pembebasan Nasional Rakyat Khmer) itu, kini dijadikan transit bagi pasukan Vietnam. Radio KPNLF memberitakan 7.000 tentara Vietnam, 12 tank T-54, dan 16 kendaraan angkut personil dipusatkan di sana. Kuat dugaan, Hanoi akan menggilas habis KPNLF dan kelompok Sihanouk, dua organisasi perlawanan Kamboja nonkomunis. Ternyata, Vietnam, awal pekan ini, malah menghajar Khmer Merah, yang di pimpin Khieu Samphan, lebih dulu. Markas besar kelompok Sihanouk, yang terletak di timur laut Kamboja dan berbatasan dengan Muangthai, justru tidak diganggu. Sementara itu, Pangeran Sihanouk dikabarkan sedang berkunjung ke Pyongyang, Korea Utara. Sedangkan Son Sann, rekan sekoalisinya, merencanakan perubahan strategi perjuangan KPNLF. "Kami tidak akan merebut Ampil," ujar pemimpin KPNLF itu di dalam konperensi pers yang berlangsung di sebuah desa di perbatasan Muangthai. Kejatuhan Ampil jelas merupakan pukulan berat bagi KPNLF. April tahun lalu mereka berhasil mempertahankannya dari gempuran Vietnam. Keberhasilan ini agaknya memabukkan. Tidak disadari oleh KPNLF bahwa mereka sebenarnya kurang cukup dipersenjatai untuk sebuah pertempuran konvensional. Situasi itu dimanfaatkan Vietnam dengan baik, Senin pekan silam, bertepatan genap enam tahun mereka masuk ke Kamboja. Banyak gerilyawan KPNLF kecewa tatkala Jenderal Dien Del memerintahkan mundur, tanpa perlawanan berarti. Padahal, berhadapan dengan tank T-54 buatan Soviet, granat peluncur roket B-40 yang mereka banggakan boleh dibilang hampir bukan apa-apa. Di samping itu, yang juga kurang disadari ialah watak perjuangan organisasi gerilya. Semestinya KPNLF tidak terpaku pada basis yang semakin besar, apalagi diganduli penduduk sipil yang jumlahnya kian besar. Jenderal Sak Suksakhan, seorang komandan KPNLF, memetik pelajaran penting dari kekalahannya di Ampil. Kepada koresponden TEMPO di Bangkok, Yuli Ismartono, ia berkata, "Sekarang kami harus benarbenar berjuang sebagai gerilyawan. Basis tetap tidak perlu. Kami harus selalu lincah dan beroperasi terus dalam unit-unit kecil." Diakuinya, sejak enam tahun berselang strategi yang dianut bukan lagi gerilya murni, tapi setengah gerilya setengah konvensional. Kembali bergerilya diakuinya tidak akan mudah, apalagi pasukan KPNLF selama ini terbiasa tinggal dekat keluarga masing-masing, hingga bahan pangan selalu terjamin. Sejalan dengan perubahan strategi, KPNLF yang berkekuatan 15.000 orang akan dipencar menjadi tiga pasukan: sepertiga melindungi penduduk sipil, sepertiga lagi dipusatkan di perbatasan Muangthai, dan sepertiga lainnya dikirim bertempur ke hutan-hutan. Mulai sekarang, taktik seranglari (hit-and-run) dipraktekkan lagi, dan Son Sann membenarkan ini. "Kami akan jadi gerilyawan sejati," kataJenderal Sak. Tujuan mereka seperti diikrarkan Son Sann, adalah merebut Pnom Penh. Setelah Ampil jatuh, bahkan jauh sebelumnya, ikrar gerilyawan itu untuk merebut Pnom Penh bukan cuma berlebihan, tapi juga kurang masuk akal. Selain kekuatan yang tak imbang, bukankah perjuangan KPNLF pada mulanya tidak ditargetkan untuk mencari satu penyelesaian militer bagi Kamboja? Bahkan Khmer Merah yang berkekuatan dua kali lipat (30.000 gerilyawan) dengan persenjataan lebih lengkap juga mencobacoba berdiplomasi. Karena itu, mereka bergabung dalam koalisi RDK (Republik Demokratik Kamboja). Mereka tahu bahwa penyelesaian politik bukan saja realistis, tapi mungkin yang terbaik. Hanya saja, tiga unsur RDK kian terpisah oleh jurang-jurang yang mereka ciptakan sendiri. Tak salah jika koran Partai Komunis Vietnam, Nhan Dan, menilai bahwa kekuatan perlawanan Kamboja kini lepas berhamburan bagaikan bola-bola sabun. Mengapa? Ketika Ampil diserang gencar, tidak satu pun bala bantuan datang dari Khmer Merah ataupun kelompok Sihanouk. Ribuan penduduk sipil justru mendapat perlindungan tentara Muangthai. Sebelumnya, ketiga unsur RDK bukan saja saling tidak mempedulikan, tapi sudah saling menjegal bahkan saling menyerang. RDK akhirnya hanyalah semacam koalisi rapuh yang cepat atau lambat akan berantakan. Sebaliknya Vietnam. Mereka mempersiapkan serangan musim secara amat serius. Juru bicara KPNLF Abdul Gaffar PeungMeng terperanjat melihat tentara Vietnam yang diduga empat kali lebih kuat. Belum lagi penggunaan amunisi yang begitu boros. Di pihak lain, gerilyawan KPNLF, selain kehilangan semangat, juga kehabisan amunisi. Laporan terakhir memberitakan hampir semua basis KPLNF sudah jatuh ke tangan Vietnam. Dalam posisi segawat itu agaknya akan sukar bagi KPNLF untuk segera bangkit lagi. Presiden RRC Li Xiannian dari Beijing cuma menyerukan agar koalisi RDK memperkuat persatuan mereka menghadapi Vietnam. Para pemimpin ASEAN kembali mengulangi janji untuk mengusahakan penyelesaian politik bagi Kamboja, seraya masing-masing memaklumi bahwa kemungkinan untuk itu semakin tipis saja. Dan KPNLF sempat diyakinkan pula bahwa mereka memang kalah bertempur, tapi bukan berarti kalah perang. Buat apa para gerilyawan diiming-iming lagi, jika mereka sudah tak punya harapan? Mengapa para pemimpin ASEAN tidak melihat realitas di Kamboja saat ini? Tentara Muangthai kini memang berjaga-jaga lebih ketat di sepanjang perbatasan dengan Kamboja. Terakhir mereka bahkan memasang kawat berduri sepanjang 7 km - merentang di seberang Ampil. Ini dimaksudkan untuk mempertegas garis perbatasan, dan tampaknya memang tak lebih dari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini