SULITNYA yang dulu kuning bersih itu terlihat kotor tak terawat. Kuku-kuku di jari tangannya hitam berdaki. Mengenakan kain sarung dan kaus oblong kumal, Salman Hafidz, 30, memang terlihat amat loyo, berbeda dengan penampilannya di depan sidang pengadilan tiga tahun yang lalu: selalu rapi dan pesolek. Cuma sikap kerasnya yang terlihat masih tersisa. "Sejak dulu saya memang sudah siap untuk mati," katanya, ketika pekan lalu ditemui oleh wartawan TEMPO Dedy Iskandar, di LP Cirebon. Keinginannya itu, agaknya, bakal terkabul. Presiden - dalam surat keputusan tanggal 30 November 1984, seperti diungkapkan ketua Pengadilan Negeri Bandung, Soebandi, S.H., pekan lalu - menolak permohonan grasi Salman. Artinya, hukuman mati, yang dijatuhkan pengadilan sebelumnya, tinggal menunju waktu untuk eksekusi. Salman Hafidz alias Nasrullah, ayah dua anak itu, sebelumnya adalah pedagang batik di Cimahi, Bandung. Namanya jadi terkenal setelah lewat tengah malam, 11 Maret 1981, dia memimpin 14 ang gotanya menyerbu kantor polisi Kosekta Cicendo, di Jalan Pasirkaliki, Bandung. Dengan tipu daya, mereka berhasil meringkus 3 polisi yang bertugas di pos jaga malam itu, dan mengurungnya di dalam sel tahanan. Salman lalu memberi aba-aba, "Libas." Maka, temannya. Maman Kusmayadi, menembaki polisi di dalam kerangkeng itu dengan senapan Garand yang sengaja dibawanya. Ketiganya Sertu Suhendrik, Koptu Sumardi, dan Bharatu Iskandar - tewas seketika. Seorang polisi lainnya, Serka Suryana, yang muncul belakangan, sebelah kakinya terpaksa di amputasi, juga karena tembakan senapan Maman. Semula, dalih penyerbuan itu untuk membebaskan sepeda motor teman yang ditahan polisi. Tapi nyatanya, setelah berhasil, mereka merampas sepucuk pistol polisi, selain membunuh. Kemudian terungkap, sebelum kejadian itu, Salman memang sudah memerintahkan sejumlah temannya untuk mencuri atau merampas senjata api. Senapan yang dipakai Maman menghabisi polisi Cicendo itu, misalnya, adalah hasil curian dari Pusat Pendidikan Perhubungan AD di Cimahi, sebulan sebelumnya. Pada bulan yang sama, mereka berhasil merampas pistol seorang polisi lalu lintas di Bandung. Senjata memang mereka perlukan, rupanya, untuk melancarkan gerakan kelompok ini, yang kemudian dikenal dengan nama Jemaah Imran. Jemaah ini terbentuk di Cimahi, 1980, dengan Imran, bekas preman Medan yang kemudian beberapa tahun bermukim di Mekkah, sebagai imam. Mereka bertujuan mendirikan negara Islam di sini, dengan jalan teror dan kekerasan. Puncaknya adalah pembajakan pesawat Garuda Woyla di Palembang, Maret 1981. Gerakan mereka lantas ditumpas. Para anggota jemaah mendapat hukuman penjara, dan beberapa tokohnya dihukum mati, seperti Azhar Bin Mohamad Safar, Imran ("sang imam"), Salman Hafidz, dan Maman Kusmavadi. van meniadi alYoio di kantor polisi Cicendo itu. Malahan, Imran bin Mohammad Zein, 33, sudah menjalani eksekusi mati di Jakarta, akhir Maret 1983. Di pengadilan Bandung, Salman sendiri mengakui semua tuduhan jaksa, tentang berbagai kegiatan subversif yang dilakukannya. "Semua itu saya lakukan untuk mendirikan negara Islam," katanya. Karena itu, menurut pendapatnya, semua perbuatannya itu adalah benar. Hakim lalu memvonisnya dengan hukuman mati, Mei 1982. Keputusan itu diperkuat pengadilan tinggi, beberapa bulan kemudian, dan terakhir diperkuat lagi oleh Mahkamah Agung, setahun yang lalu. Dilahirkan di Desa Sumobito, 25 km di timur laut Jombang, JaTim, Salman adalah anak kelima dari 10 bersaudara. Ayahnya, Hafidz, petani kaya di situ. Selesai sekolah dasar di madrasah, dia belajar di Pondok Gontor selama enam tahun, baru kemudian melanjutkan ke Universitas King Abdul Azis, Arab Saudi. Di sanalah dia berkenalan dengan Imran dan Mahrizal, yang belakangan diketahui sebagai salah satu pembajak Woyla. Menurut ibunya, Nyonya Maryam, 58, Salman sejak kecil, selain pintar dan taat beragama, juga seorang anak yang patuh pada orangtua. "Dia anak yang kami banggakan," kata Maryam. Tapi sejak hukuman mati untuknya dikukuhkan Mahkamah Agung Salman sudah tak mau lagi sembahyang. Ia lebih suka menyendiri di dalam selnya. "Saya memang tak sembahyang lagi, karena akan mati syahid. Sesuai dengan janji Allah, saya akan masuk surga," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini