H.M. SANUSI Memakai baju batik cokelat lengan panjang serta celana warna gelap dan sepatu sandal cokelat, H.M. Sanusi, 64, memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pekan lalu. Rambutnya putih, wajahnya agak pucat, dan tampangnya jauh lebih kurus. "Kesehatan saya merosot sekali setelah tiga bulan ditahan. Timbul empat penyakit baru, dan berat badan saya turun sepuluh kilo," ujar menteri perindustrian 1966-1968, yang beratnya kini 69 kg. Begitu jaksa selesai membacakan 23 halaman surat dakwaan, Sanusi minum air dari termos yang dibawanya, lalu berkata, "Saya menolak dakwaan Saudara Jaksa. Saya tidak kenal nama-nama yang Saudara Jaksa sebut, kecuali Rachmat Basoeki." Dakwaan terhadap Sanusi cukup berat. Ia dituduh bersekutu bersama sejumlah orang - termasuk Rachmat Basoeki, Tashrif, dan Eddy Ramli - ikut meledakkan kantor BCA di Jalan Gajah Mada dan Pecenongan, serta toko Jaya, Glodok. Keterlibatannya, selain ikut merencanakan peledakan itu juga membiayai kegiatan subversif tersebut. Ia dituntut dengan Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 yang dikenal sebagai undang-undang antisubversi. Sanusi, yang memimpin sebuah usaha konsultan dan pemborong United Economic Engineering Consultant, ditahan sejak 9 Oktober, sehari setelah ia kembali dari Jepang untuk mengantarkan istrinya berobat. Ia keras membantah turut membiayai peledakan itu. Ia mengakui memberi Rp 75 ribu dan Rp 45 ribu kepada Rachmat Basoeki. "Saya memberi uang itu untuk membiayai proyek riset mencari kebenaran fakta kasus Priok. Masa ada yang menyebut yang meninggal ratusan orang. Itu 'kan tidak benar," katanya. Anggota DPR/MPR 1971-1977 yang ikut menandatangani Petisi 50 ini sudah kenal lama dengan Rachmat Basoeki. Pada 1981 Sanusi menjabat ketua BPMA (Badan Pembela al-Masjid al-Aqsha), Rachmat menjabat bendahara, dan Abdul Qadir Djaelani salah satu ketua. Selain itu, Rachmat juga menjadi makelar penjualan tanah Sanusi di Cisarua. Untuk itu, Sanusi memang menjanjikan komisi Rp 3 juta buat Rachmat. Karena keadaan ekonomi Rachmat belakangan agak suram, Sanusi mengaku sering memberi bantuan uang pada Rachmat. Sanusi hingga kini masih tercatat sebagai anggota PP Muhammadiyah, pimpinan masjid Al Azhar, pimpinan Rumah Sakit Islam Jakarta dan anggota Dewan Pembina UII Yogyakarta. Insinyur sipil UGM lulusan 1948 ini tampaknya pasrah. "Saya anggap penahanan saya ini sebagai musibah," katanya. ABDUL QADIR DJAELANI Anak bungsu delapan bersaudara yang lahir di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada 1938 ini dikenal sebagai penceramah yang keras. Artinya, ia berani menyerang kebijaksanaan pemerintah sambil mengutip ayat-ayat Quran "versi keras". Dalam pendidikan agama delapan anaknya, Abdul Qadir Djaelani juga keras. "Ia pukul anaknya yang tidak salat," ujar Ny. Lis, istri Djaelani. Tapi tidak berarti ia jauh dari anak-anaknya. "Ia belum tidur kalau anak-anak belum tidur," tambah Ny. Lis. Menurut Ny. Lilis, yang dinikahi Djaelani pada 1967, suaminya "diambil" petugas pada 13 September subuh, di rumahnya di Leuwiliang, sekitar 20 km sebelah barat Bogor. Tampaknya, ia tidak kaget dengan penahanan suaminya. "Penahanan dan pemanggilan Kodak atau Laksusda sudah menjadi langganan Kak Djani," katanya. Djaelani memang sangat sering ditahan. Yang pertama pada 1960 tatkala sebagai ketua umum PII (Pelajar Islam Indonesia) wilayah Jakarta ia di tuduh menyebarkan pamflet antikomunis. Pada 1963 ia kembali ditahan. Keluar tahanan pada akhir 1965, ia bergabung dengan KAPPI, lalu pada 1966 ia membentuk Komando Jihad Umat Islam Indonesia, yang pada 1967 dilarang pemerintah. Ia kembali ditahan pada 1973 karena sebagai ketua I GPI (Gerakan Pemuda Islam) ia memimpin demonstrasi menentang RUU Perkawinan. Lalu pada 1980 ia dihukum 2 1/2 tahun karena memimpin Gerakan 20 Maret 1978 yang menentang masuknya Aliran Kepercayaan, P-4, dan KNPI dalam GBHN. Sejumlah kenalannya menilai Djae lani orator yang hebat, keras hati, dan konsisten. "Hidupnya sederhana," kata seorang di antaranya. Berbagai ceramahnya pada 1984, yang kasetnya tersebar sampai Malaysia, memang menunjukkan bahwa ia tetap ingin mewujudkan apa yang pada 1978 disebutnya Larevisi (Pola Revolusi Islam). "Yang dimaksud dengan istilah revolusi ialah penggantian sistem nilai yang ada dalam masyarakat, yang tidak sesuai dengan fitrah manusia dengan sistem nilai Islam yang sempurna," katanya pada 1978. Djaelani, yang pendidikan terakhirnya sebagai mahasiswa tingkat doktoral Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, mengajar di PTDI Tanjung Priok sejak 1981. Tampaknya, ia menginginkan dirinya menjadi seperti Aquino di Filipina. "Saya siap mati menjadi tumbal, asal mati syahid," katanya dalam salah satu ceramahnya. RACHMAT BASOEKI Dahinya lebar. Kaca matanya minus empat. Tampang Rachmat Basoeki Soeropranoto, 42, memang mengesankan seorang cendekiawan. Dalam berbicara misalnya, jebolan Fakultas Ekonomi (Ekstension) UI tingkat III (1962-1966) ini selalu bersemangat, dan ia hafal data perkembangan ekonomi Indonesia. Tatkala pada 1980 ia diadili karena terlibat Gerakan 20 Maret 1978, ia menyusun pembelaan setebal 186 halaman yang penuh kutipan dari banyak sumber. Bekas pegawai BNI 1946 yang mempunyai tiga orang anak ini mengaku bukan seorang Islam yang fanatik. "Ayah kandung saya sendiri di masa mudanya beragama Kristen. Saya tidak pernah bersekolah di sekolah Islam," katanya dalam pembelaannya pada 1978. Namun, ia ikut dalam Gerakan 20 Maret karena merasa prihatin terhadap provokasi atas umat Islam di Indonesia. Selain itu, tindakannya menentang dominasi ekonomi Cina dianggapnya bukan sikap rasialistis. Ia malah menganggap, dominasi ekonomi golongan rasial minoritas terhadap mayoritas sebagai sesuatu yang rasialistis. Salah satu dari lima tuntutan Gerakan 20 Maret adalah: jadikan pribumi menjadi tuan di negeri ini. Pandangan ini ternyata terus dipegangnya hingga 1984. Maka, tatkala sepekan setelah peristiwa Tanjung Priok, Tashrif datang menemuinya, serta memberitahu adanya rencana meledakkan beberapa proyek pemerintah, Rachmat segera memanfaatkannya. Ia mengusulkan mengebom kantor BCA. "Pengeboman itu mewakili hati nurani kami generasi muda untuk menyetop dominasi ekonomi Cina," katanya dalam suatu wawancara. Tampaknya, keterlibatannya juga untuk menyalurkan rasa frustrasinya. "Saya setuju Pancasila, tapi tak setuju asas tunggal," ujarnya tegas, Oktober lalu. Alasannya: asas tunggal akan menjadikan sistem politik monolit. Setelah disidangkan, ternyata Rachmat Basoeki - yang pernah bekerja menerima ketikan skripsi, memperbaiki mesin kantor, dan makelar tanah -ini tak lagi terlalu berkobar-kobar seperti dulu. "Pokoknya, sekarang ini yang penting bagaimana keselamatan saya dan anak istri saya," ujarnya seusai sidang pekan lalu. "Saya tidak mau menuruti pembela yang maunya keras itu. Kalau kedua mereka itu, jaksa dan pembela, bagai gajah yang berhantam, saya yang di tengah ini yang akan susah." Sekalipun ditahan, Rachmat Basoeki masih tetap mempunyai rasa humor. Pekan lalu, tatkala istrinya yang datang menengok memberikan dua tas kepadanya, Rachmat menunjukkan bingkisan itu kepada petugas. "Ini makanan, bukan bom," katanya. Sang petugas mengintip. Isi tas itu roti dan lontong. M. TASHRIF TUASIKAL Anak-anaknya menganggap dia galak dan suka memukul, hingga hubungan bapak-anak renggang. Sejumlah kenalannya menganggapnya "keras", dan mubalig tulen. Tapi ada juga yang menganggapnya "misterius". Muhammad Tashrif Tuasikal, 49, memang keras dan misterius. Sebuah sumber menyebutkan, pria kekar dan berewokan kelahiran Ambon ini bekas anggota DI/TII yang masih terkena wajib lapor. Bapak tujuh orang anak sering bertugas sebagai khatib salat Jumat di berbagai masjid di Jakarta. Tashrif mengaku pernah kuliah di Akademi Agama Islam di Solo pada 1963. Setelah dua tahun menjadi guru agama di sebuah SD di Banjar, Ja-Bar, ia berusaha sebagai pedagang beras di Tasikmalaya sampai 1966. Sejak 1969 ia menetap di Jakarta dan bekerja sebagai guru agama pnvat. Pada 1978 ia ditahan karena terlibat Gerakan 20 Maret bersama Abdul Qadir Djaelani dan Rachmat Basoeki. Menjelang Pemilu 1982 ia masuk GPK (Gerakan Pemuda Ka'bah) dan pernah menjadi ketua bidang dakwah GPK Jakarta. Tampaknya hubungan Tashrif cukup luas. Ia mengenal banyak orang dari berbagai kelompok Islam. Tapi tidak jelas Tashrif sendiri masuk kelompok mana. Tashrif ternyata berhubungan cukup dekat dengan Abdul Qadir Djaelani dan Amir Biki. Bahkan kabarnya Tashriflah yang diminta Djaelam dan Biki menjadi pelaksana rencana peledakan pabrik terigu Bogasari. Dalam suatu wawancara, Rachmat Basoeki malahan pernah menegaskan, "Peledakan kantor BCA tidak akan terjadi kalau Tashrif tak menawarkan bom." Tashrif juga yang merekrut Eddy Ramli dan Zayadi sebagai pelaku peledakan. Tashrif sendiri tidak ikut memasang bom. Ia menunggu di depan Wisma Hayam Wuruk sementara bom diledakkan. Sore harinya di rumah, dengan kalem ia membaca Sinar Harapan yang melaporkan peledakan itu. Esoknya, 5 Oktober, ia pamit pergi salatJumat, tapi ternyata ia tak kembali pulang. Ia buron. Konon, mula-mula ia pergi ke Bekasi, lalu ke Bandung. Salah seorang familinya menolak kedatangannya setelah tahu Tashrif terlibat peristiwa Tanjung Priok. Tashrif terpaksa menginap di sebuah masjid. Dari Bandung, ia kembali ke Jakarta, urung pulang ke rumah, lalu buron ke Jepara. Ia sempat juga ke Semarang, lalu ke Surabaya, sampai ia tertangkap 30 November lalu, hampir dua bulan setelah buron. MUHAMMAD ZAYADI Tiga menit setelah bom meledak di kantor cabang BCA Jalan Pecenongan, beberapa orang melihat seorang lelaki jatuh dari lantai atas. Tingginya sekitar 160 cm, dan usianya ditaksir 30 tahun. Darah berlepotan di seluruh tubuhnya. Muka, dada, tangan, dan pahanya luka terbakar. Ia dalam keadaan tidak sadar. Waktu diangkat, di leher belakangnya tertancap sepotong paku yang mencuat dari sebatang kayu kaso. Ia bukan karyawan BCA. Maka, para karyawan mengira ia seorang nasabah. Dengan segera ia diangkut ke rumah sakit. Belakangan diketahui, korban itu ternyata pelaku peledakan sendiri. Rupanya, ia salah pasang. Seharusnya ia menyetel timer dulu, lalu menyambung kabel hingga bomnya aktif. Tapi yang dilakukan sebaliknya, entah karena gugup atau lupa. Akibatnya, begitu timer disetel, bom langsung meledak. Muhammad Zayadi bin Muradi, 30, bukan seorang yang berpendidikan tinggi. Ia memang tercatat sebagai mahasiswa tingkat III PTDI. Tetapi pria kelahiran Pondok Ungu, Bekasi, ini tidak pernah mengenyam pendidikan SLTP dan SLTA. Setelah tamat SD, selama tiga tahun belajar di pesantren Tafiul Quran di Ciomas, Bogor. Sejak 1981 ia mulai belajar di PTDI Tanjung Priok. Antara 1973 dan 1974 ia bekerja sebagai kernet truk, lalu selama dua tahunan sebagai karyawan pabrik ban Bridgestone di Bekasi. Setelah itu sampai 1978 ia kembali menjadi kernet mobil omprengan. Pada 12 September malam, Zayadi ikut hadir dalam pengajian di Jalan Sindang, Tanjung Priok. Ia juga ikut menyerbu ke kantor Polres Jakarta Utara yang dipimpin Amir Biki. Penyerbuan gagal dan massa tercerai-berai. Zayadi malam itu langsung pulang ke Bekasi. Zayadi diketahui sering menghadiri berbagai ceramah dan pengajian di Tanjung Priok, antara lain yang diberikan oleh Abdul Qadir Djaelani. Dalam pemeriksaan, kabarnya, Zayadi mengaku setuju dengan pendapat Djaelani bahwa Pancasila merupakan "falsafah buatan manusia" yang kebenarannya relatif dan merupakan "penipuan terhadap umat Islam Indonesia". Ia juga sependapat bahwa Undang-Undang Keormasan hukumnya "haram" dan wajib ditolak. Dengan Tashrif Tuasikal, Zayadi - yang menjadi komandan Resimen Mahasiswa PTDI - sudah cukup lama kenal. Mereka sering bertukar pikiran. Keduanya sependirian dalam berbagai hal. Antara lain bahwa asas tunggal Pancasila bertentangan dengan akidah Islam, dan bahwa "ekonomi Indonesia saat ini didominasi Cina". Maka, tatkala Tashrif pada I Oktober mengajak Zayadi melakukan suatu "tugas suci", meledakkan kantor BCA, ia langsung bersedia. Hari itu juga Zayadi melihat-lihat situasi kantor BCA Jalan Pecenongan. Esoknya ia melapor: kantor itu ada WC-nya, di tingkat II. Mereka bertemu lagi, keesokan harinya, di Masjid Arif Rachman Hakim, UI. Tashrif memberikan timer serta menjelaskan cara pemasangannya. Pada pukul 8 pagi 4 Oktober, Tashrif mendatangi Zayadi, yang menunggunya di halte bis samping Patung Pak Tani, Jalan Arif Rachman Hakim. Ia memberikan sebuah tas plastik pada Zayadi, sambil berpesan, "Jangan lupa cara memasangnya. Utamakan keselamatan. Kalau ada risiko, tanggung sendiri." Ia juga memberikan Rp 40 ribu untuk ongkos jalan. Zayadi ternyata lupa cara menyetel bom. Maka, ia sendiri pun menanggung risikonya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini