ORANG Maluku Selatan di Belanda berjunlah sekitar 36.000 orang.
Yang jadi warga negara Belanda cuma sepertiganya saja. Sisanya
stateless: tidak mempunyai kewarganegaraan. Atau jadi warga
negara Indonesia, tapi tetap bermukim terus di sana.
Mereka yang tidak punya kewarganegaraan adalah karena pilihannya
sendiri. Mereka tidak mau jadi Belanda dan tetap menginginkan
nanti, suatu waktu, republik yang mereka impikan itu bisa
terwujud. Impian ini tetap belum pudar. Di Vught, karnp teraknir
dari orang-orang bekas KNIL, di sarnping tempat tidur mereka,
sebuah kopor besi tetap mereka jaga, untuk tempat barang-barang
mereka kalau pulang ke tanah air.
Selain itu kapal cengkeh, foto dari almarhum Dr. Soumokil banyak
terpampang di dinding mereka. Satu dua ada yang memasang gambar
Ratu Yuliana, tapi tokoh Soumokil tetap sebagai cambuk api
perjoangan mereka. Biarpun Soumokil telah meninggal di tahun
1966, jandanya yang tinggal di Assen tetap mereka kawal dan
hormati. Banyak pula yang menyimpan gelas, taplak meja, piring
dan barang-barang suvenir lainnya, yang membuat gambar Dr.
Soumokil.
Sejak Dr. Soumokil dihukum tembak di salah satu pulau di teluk
Jakarta di tahun 1966, aksi-aksi radikal silih berganti melanda
negeri Belanda yang menampung orang-orang bekas KNIL ini. Ketika
para sandera menyerah di Beilen, 14 Desember 1975, dalam
wawancara teve ir. Manusama berkata: "Kelak akan timbul lebih
banyak aksi-aksi seperti ini, bila pemerintah Belanda tidak ikut
serta membantu perjoangan dalam pembentukan sebuah RMS yang
bebas". Manusama - yang oleh kalangan mereka dipanggil
excellentie -- adalah "presiden RMS dalam pengasingan".
Berikut ini kronologis kejadian sejak tahun 1966, tahun
meninggalnya Dr. Soumokil:
1966: dilakukan pembakaran terhadap gedung KBRI, sebagai protes
jatuhnya hukuman terhadap Soumokil.
31 Agustus 1970: rumah duta besar RI di Wassenaar diduduki oleh
kira-kira 30 orang pemuda Maluku Selatan. Seorang polisi Belanda
terbunuh dalam peristiwa ini. Duta Besar RI Taswin Natadiningrat
berhasil lolos dari kepungan dengan melompat pagar, tapi
isterinya dijadikan sandera. Tindakan ini adalah aksi paksaan
agar ir. Manusama bisa berhadapan muka (dan berunding) dengan
Presiden Suharto. Presiden dan rombongan terpaksa harus menunda
kunjungan mereka di Belanda, beberapa hari dari rencana semula.
Salah seorang peserta penyerbuan ke Wassenaar ini. Tete Siahaya,
yang berhasil menulis bukunya berjudul Mena-Muria (182 halaman)
menyatakan: aksi pemberontakan Wassenaar memberi bukti adanya
gerakan politik dan RMS bergerak bukan karena persoalan sosial,
seperti kebanyakan orang menyangka.
April 1974: kantor Garuda di Amsterdam dibakar. Sehari
sesudahnya, rencana penculikan Konsul RI di Amsterdaun bisa
dicegah. Menurut "Pemuda Masyarakat" yang bermarkas di
Bazaarstraat tidak jauh dari kedubes RI di Den Haag, sebelumnya
ada segerombolan Maluku Selatan pro RI yang mencoba membakar
markas mereka.
Desembet 1974: polisi Belanda berhasil mencegah bentrokan antara
orang Maluku Selatan yang pro RI dengan RMS. Para demonstran
akhirnya menyeleweng ke Istana Perdamaian di Den Haag dan
kerugian akibat tindakan itu ditaksir setengah juta gulden.
Akibat tindakan di tahun 1974 ini, kantor kedutaan RI terpaksa
dipindah ke Wassenaar, "sampai Belanda betul-betul bisa menjamin
keselamatan kami", alasan Duta Besar RI Alamsyah waktu itu.
1 April 1975: Terbongkar adanya komplotan RMS yang hendak
menduduki istana Soestdijk dan menculik Ratu Yuliana. 45 orang
RMS berhasil ditangkap. Bulan Juni dalam tahun yang sama, telah
dijatuhi hukuman terhadap 17 orag gembong dari rencana
penculikan itu. Hukuman berkisar 2 - 5 tahun.
2 Desember 1975: jam 10.00 pagi, kereta-api Groningen-Zwolle di
Wijster, dibajak oleh 7 orang pemuda RMS. KA berhasil mereka
bajak sampai 12 hari dan di gedung konsulat sampai 17 hari. Aksi
ini tetap dalam tuntutan: Manusama berunding dengan Suharto dan
protes "terhadap perlakuan sewenang-wenang saudara-saudara kami
di Maluku". Korban dari peristiwa ini: 4 orang meninggal,
seorang di antaranya pegawai konsulat RI karena meloncat dari
jendela gedung. Penyanderaan di KA dijatuhi hukuman sekitar 14
tahun dan penyanderaan di gedung konsulat RI sekitar 6 tahun.
Gedung konsulat RI sekarang telah ditutup, demikian pula Sekolah
Indonesia, yang berada di gedung tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini