Membaca artikel ''Ketidakpuasan Orang Selatan?'' (TEMPO, 4 September, Luar Negeri) mengingatkan saya akan suatu teori lama. Teori itu menjelaskan timbulnya konflik terbuka antara mayoritas masyarakat Budha dan masyarakat muslim di kawasan selatan Negeri Gajah Putih atau Thailand itu. Pada penghujung tahun 1966, yakni ketika saya melakukan tugas kenegaraan di Malaysia, isu pertikaian antara masyarakat muslim di Thailand selatan dan pemerintah sudah kedengaran. Hanya saja, pada waktu itu, perhatian orang banyak disita oleh kegiatan kaum komunis di perbatasan Thailand-Malaysia. Teori yang saya maksud adalah rencana pembangunan sebuah terusan Kra, daerah paling ramping di Semenanjung Malaka, yang menghubungkan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Terusan ini ideal bagi pelayaran dan lalu lintas dua samudera: Hindia dan Pasifik. Jalur lalu lintas pelayaran internasional akan bergeser ke terusan Kra di utara dan Singapura di selatan. Itu akan menyebabkan pelabuhan Singapura dan Batam menjadi sepi. Nah, pembangunan inilah yang dinanti-nantikan oleh masyarakat Thailand di selatan yang terdiri dari kaum muslimin itu. Apakah rencana ini masih ada di benak pemerintah Thailand, saya sukar menebaknya. Pemerintah Bangkok perlu hati-hati dalam menghadapi pilihan yang sukar ini, terutama setelah adanya gejala negatif di selatan. Sebab, biasanya, kehadiran sebuah artificial border (berupa sebuah terusan) antara utara dan selatan akan mengundang kericuhan dan masalah pada berbagai bidang: ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. H.J. SIRIE Pengadegan Barat I/12 Pancoran, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini