Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat kabinet Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Ahad dua pekan lalu berlangsung begitu panas. Tak hanya adu argumentasi, saling teriak terjadi. Netanyahu bahkan sempat menggebrak meja saat meributkan rancangan undang-undang dasar baru Israel yang banyak dinilai diskriminatif terhadap warga non-Yahudi: Israel, Negara Bangsa Orang Yahudi.
"Israel memberikan hak individu yang sederajat bagi semua warga negara dan kami menekankan itu," kata Netanyahu saat membuka sidang kabinet pagi itu. "Tapi hanya orang Yahudi yang memiliki hak nasional atas bendera, lagu kebangsaan, hak bagi setiap Yahudi berimigrasi ke negeri ini (Israel), dan simbol nasional lain. Ini semua diberikan hanya kepada rakyat kita, di satu-satunya negeri kita."
Rancangan perundangan itu menyebutkan beberapa hal, di antaranya Israel merupakan negara bangsa orang Yahudi, hukum Yahudi menjadi inspirasi perundangan, dan penghilangan bahasa Arab sebagai salah satu bahasa resmi.
Rancangan itu langsung disambar kritik oleh penentangnya. Mereka menganggap ketentuan-ketentuan baru itu menghilangkan karakter demokrasi, yang pada gilirannya akan meningkatkan ketegangan Israel-Palestina, yang terus memanas belakangan ini.
"Pagi ini saya berbicara dengan keluarga Zidan Saif (polisi Druze) yang tewas saat melindungi orang-orang Yahudi yang sedang berdoa di sinagoge di Yerusalem yang diserang. Apa yang bisa kita katakan kepada keluarga ini? Bahwa dia warga negara kelas dua?" ucap Menteri Keuangan Yair Lapid, yang berasal dari Partai Yesh Atid.
Dalam sidang, Netanyahu juga menyerang Menteri Kehakiman Tzipi Livni yang dia anggap lembek. "Posisi lembek tidak akan mengatasi masalah-masalah belakangan ini," katanya.
Sebelumnya, Livni menyatakan hanya akan mendukung rancangan yang lebih halus. Rancangan asli dari Netanyahu sendiri sebenarnya lebih halus daripada yang dibawa ke rapat pada Ahad itu, yang diajukan oleh Ze'ev Elkin dan Yariv Levin (Partai Likud), Ayelet Shaked (Bayit Yehudi), serta Robert Ilatov (Yisrael Beytenu).
Dalam versi Netanyahu, rancangan undang-undang berfokus pada Israel sebagai tempat melaksanakan hak menentukan diri sendiri bagi orang Yahudi, tapi menghindari pasal-pasal kontroversial, seperti status bahasa Arab dan pembangunan permukiman. Sedangkan yang sama, misalnya, soal lagu kebangsaan Haktiva, simbol negara, penggunaan kalender Yahudi, aturan bagi yang mau kembali, serta pemberian kebebasan akses ke tempat-tempat suci dan melindungi pengunjungnya.
Livni tak diam mendapat serangan bertubi-tubi. "Mari berbicara tentang gajah di ruang ini. Anda menginginkan kami, (Partai) Hatnua dan Yesh Atid, menentang rancangan ini sehingga Anda bisa memecat kami," ujarnya.
Suasana makin panas, sampai Netanyahu menggebrak meja. "Tak bisa orang Arab tinggal di kota-kota Yahudi, tapi orang-orang Yahudi tidak bisa tinggal di kota-kota Arab. Negara dalam negara sedang berkembang."
Namun, akhirnya, rancangan tersebut lolos dengan 15 suara mendukung, 6 menentang. Rancangan kemudian dibawa Netanyahu ke parlemen.
Protes keras tak hanya datang dari dalam kabinet Netanyahu. Otoritas Palestina berteriak. Apalagi warga Arab atau Palestina di Israel yang merupakan 20 persen dari total penduduk Israel. "Kami tak ingin menyerang siapa pun dan kami tak ingin siapa pun dilukai. Tapi kami juga tidak ingin siapa pun menyakiti rakyat kami dan situs-situs agama kami," kata Presiden Otoritas Palestina Mahmud Abbas.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) merespons tak kalah galak. "Keputusan politik yang rasis ini melengkapi pencurian tanah-tanah Palestina dan hak-hak rakyat Palestina," ujar PLO dalam pernyataannya. Organisasi ini juga menuduh rancangan peraturan itu akan melegalkan rasisme dan diskriminasi di seluruh aspek kehidupan warga Palestina Israel.
Ini bukan undang-undang pertama yang bersifat Yahudi-sentris. Menurut Adalah, lembaga pemerhati masalah hak asasi manusia dan keadilan yang bermarkas di Haifa, ada sekitar 50 undang-undang yang dinilai rasis atau diskriminatif terhadap warga non-Yahudi, terutama Arab/Palestina Israel. Di antaranya yang terkait dengan hak partisipasi politik, akses pendidikan, anggaran, prosedur kriminal, akses tanah, dan pekerjaan.
Dua pekan lalu, Wali Kota Ashkelon, Itamar Shimoni, memutuskan para pekerja konstruksi Arab dilarang bekerja di pembangunan tiga taman kanak-kanak selama jam sekolah. Menurut dia, ketika ketegangan sedang memuncak, seperti saat orang Yahudi dilarang memasuki Haram al-Sharif, "Menurut saya, salah membiarkan para pekerja Arab bekerja di taman kanak-kanak."
Shimoni kemudian melonggarkannya. Namun ia meminta penempatan penjaga bersenjata di pintu masuk di kompleks tujuh taman kanak-kanak.
Sebelumnya, ada banyak keluhan soal diskriminasi dalam pembelian properti. Seperti yang dialami keluarga Shadan Jabareen, 21 tahun. Pada saat ia kecil, orang tuanya berniat pindah ke kawasan komunitas Yahudi. "Ayah saya mendengar ada iklan di radio, rumah dijual di Katzir (Kibbutz, komunitas Yahudi)," katanya. "Komite pendaftaran memberi tahu ayah saya bahwa mereka tidak menginginkan warga Arab karena akan merendahkan nilai komunitas di Katzir," ujar Jabareen, yang kini belajar sastra di Tel Aviv University.
Setelah perjuangan hukum yang panjang, orang tuanya berhasil membeli rumah di Katzir di Israel bagian utara.
Komite pendaftaran/penerimaan serupa biasa ditemui di komunitas Yahudi di Negev dan Galilee. Keberadaan komite ini kemudian diatur dengan undang-undang yang diloloskan pada 2011. Aturannya melegalkan penggunaan komite pendaftaran untuk menolak pelamar calon warga komunitas berdasarkan "kecocokan sosial". Jika komite pendaftaran memandang pelamar "berbahaya" bagi kota, mereka diperbolehkan menolak lamaran.
Selama ini lembaga pembela HAM mengkritik undang-undang ini kerap digunakan untuk menutup kemungkinan warga Arab tinggal di komunitas Yahudi. Menurut Salah Mohsen, juru bicara Adalah, di Negev dan Galilee terdapat 434 komunitas Yahudi. Dari 434 komunitas, hanya sedikit orang Arab di sana. Itu pun setelah melewati petisi yang panjang dan mendatangi pengadilan. "Ini cara yang pada dasarnya mendiskualifikasi seluruh Arab," katanya.
Namun Wali Kota Dewan Regional Misgav, Ron Shani, membela diri. Menurut dia, komite pendaftaran tak berkaitan dengan warga Arab. "Di komunitas kecil, dan lebih spesifik di daerah pedesaan dan pinggiran, satu-satunya alasan komunitas bisa bertahan adalah kesamaan ikatan sosial."
Diskriminasi lain terlihat di sektor dunia kerja. Jabareen mengungkapkan pengalamannya. Pada Juli lalu, dia ditolak kerja musim panas di Bandar Udara Internasional Ben Gurion. Perempuan yang mewawancarainya menanyakan apakah dia muslim atau Nasrani. Akhirnya Jabareen tak mendapatkan pekerjaan itu. "Dia mengirim e-mail kepada saya dan mengatakan mereka kelebihan pekerja. Padahal, beberapa pekan sebelumnya, dia menyatakan mereka kekurangan tenaga kerja."
Dia juga menyatakan banyak orang Palestina dipecat dari pekerjaannya saat operasi militer 50 hari di Gaza beberapa bulan lalu. Menurut catatan New Israel Fund, kelompok pemantau rasisme, lebih dari 20 orang Palestina-Israel yang dipecat dari pekerjaannya sebagai dampak perang media sosial.
Jamal Zalahka, orang Palestina anggota Knesset, membenarkan diskriminasi tersebut, yang menurut dia bahkan menguat. "Mereka ingin menciptakan tempat hanya orang Yahudi bisa tinggal, di mana orang Arab tidak bisa tinggal. Ini merefleksikan meningkatnya rasisme," ucapnya.
Dia mengatakan aturan rasis dan diskriminatif terus muncul sejak pembunuhan Yitzhak Rabin, perdana menteri yang melakukan negosiasi solusi dua negara dengan PLO pada 1995. "Setiap minggu, kami memiliki aturan rasis baru di Knesset," katanya.
Dia sampai berjanji kepada teman-temannya, jika ada seminggu saja tanpa aturan rasis, ia akan menggelar pesta besar. "Coba tebak, saya belum menggelar pesta tersebut sampai sekarang."
Para petinggi Tel Aviv kerap menyangkal soal diskriminasi. "Tidak ada tempat untuk diskriminasi terhadap warga Arab Israel," ujar Benjamin Netanyahu soal Ashkelon. Ia juga terus menyatakan kesederajatan semua warga di Israel.
Orang Palestina dan Druze hanya bisa berteriak. Ada pula yang melawan. Tapi tak sedikit yang bungkam tak berdaya.
Purwani Diyah Prabandari (Haaretz, Jerusalem Post, Al Jazeera, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo