Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama lebih dari setengah abad pasca-kemerdekaan, Republik Tunisia hanya mengenal dua presiden. Pertama Habib Bourguiba, yang membawa negara itu lepas dari penjajahan Prancis pada 1957 tapi kemudian bertindak otoriter. Kedua Zine el-Abidine Ben Ali, yang mengkudeta Bourguiba tapi pemerintahannya melanggar hak asasi manusia dan korup. Masing-masing memerintah 28 dan 24 tahun.
Kini, empat tahun setelah Ben Ali digulingkan melalui Revolusi Yasmin atau Musim Semi Arab, negeri di Afrika bagian utara itu untuk pertama kali mencicipi pemilihan umum presiden yang demokratis. Komisi Pemilihan Umum Tunisia, Instance Supérieure Indépendante pour les Elections (ISIE), mencatat 64,6 persen dari total 10,9 juta penduduk Tunisia berpartisipasi.
Ada 22 kandidat yang bersaing memperebutkan suara rakyat dalam pemilu yang berlangsung Ahad dua pekan lalu itu. Di antara mereka, dua kandidat dominan. Pertama Moncef Marzouki, 69 tahun, presiden sementara Tunisia yang dipilih Majelis Konstituante pada 2011. Kedua Beji Caid Essebsi, pendiri Partai Nidaa Tounes yang berhaluan sekuler liberal. Pria 88 tahun ini malang-melintang di pemerintahan Tunisia masa Bourguiba dan Ben Ali.
Selasa dua pekan lalu, ISIE merilis hasil penghitungan suara yang menunjukkan Essebsi unggul dengan 39,46 persen suara. Marzouki tertinggal 6 persen dengan perolehan 33,43 persen. Ini berarti keduanya bakal berduel pada pemilu putaran kedua, 31 Desember mendatang.
Bersaing merebut suara, Essebsi menuduh Marzouki sebagai kandidat dari kalangan jihadis salafi. Essebsi merujuk pada Ennahda, partai Islam yang menurut dia menyokong Marzouki, meski partai ini tak pernah secara resmi menyatakan dukungannya kepada fisikawan sekaligus aktivis hak asasi manusia yang pernah diasingkan Ben Ali itu. "Kita harus tahu bahwa pendukung Marzouki kalangan islami terorganisasi: pejabat Ennahda yang ekstremis, jihadis salafi, Liga Pelindung Revolusi, dan semua kelompok kekerasan," ujarnya, seperti ditulis The New York Times, Selasa pekan lalu.
Tak mau kalah, Marzouki memperingatkan rakyat bahwa Essebsi bisa membawa Tunisia kembali ke era Ben Ali. Dia menyebut Essebsi "orang lama". "Dia adalah menteri dalam negeri (di bawah Ben Ali). Dia tahu segalanya tentang penyiksaan dan korupsi, tapi tidak melakukan apa-apa terhadap itu," kata Marzouki. Menurut dia, Essebsi punya cara pandang yang sama dengan Ben Ali.
Essebsi memang telah menduduki beragam posisi sejak masa presiden pertama. Menurut laporan BBC, faktor ini justru membuatnya unggul. Rakyat, yang ingin kondisi ekonomi dan keamanan stabil, menganggapnya berpengalaman dalam pemerintahan. Apalagi ada faktor luar, yaitu anggapan rakyat bahwa Partai Ennahda, yang berkuasa setelah Ben Ali jatuh, gagal memimpin.
Menurut Mohamed Salah Ben Aissa, profesor ilmu politik dan sosial di Universitas Legal, Tunis, Essebsi mendulang suara dari kalangan sayap kiri dan buruh. "Dia juga didukung elite lama Tunisia dan orang-orang yang ingin kembalinya masa stabil," ujarnya.
Beberapa pemilih yang diwawancarai Tempo memang mendukung Essebsi karena faktor pengalaman. "Saya memilih Beji terutama karena alasan ekonomi dan keamanan. Bagi saya, dia satu-satunya pemimpin yang dapat mengembalikan keamanan dan menarik para investor ke Tunisia," kata Yassmine Charfi, mahasiswa 18 tahun. Menurut dia, hal itu terlihat dalam kampanye dan pidato publik Essebsi di televisi.
Pemilih lain, Raja Hedda, 30 tahun, juga tetap memberikan suara untuk Essebsi meski faktor usia menjadi kelemahan politikus senior itu. "Titik negatifnya ada di masalah usia. Tapi dia adalah kandidat yang paling kurang buruknya di panggung politik," ujar pria bergelar doktor ini.
Bagaimanapun, pemenang pemilu ini sulit diramalkan, seperti berlaku sejak awal. Di putaran pertama, ada beberapa kandidat lain yang memecah suara. Hamma Hammami, pemimpin Front Populer, berada di peringkat ketiga dengan perolehan suara hampir 8 persen. Di bawahnya ada nama pebisnis Hachmi Hamdi, yang mendapat 5,75 persen, dan politikus sekaligus taipan bisnis Slim Riahi, yang meraup 5,55 persen.
Atmi Pertiwi (France 24, The New York Times, BBC, Al Jazeera), Muhammad Yazid (Tunis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo