Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lapangan Merdeka di Langsa, Aceh, Jumat sore dua pekan lalu "meriah". Ratusan warga dari berbagai daerah memenuhi seputar panggung di lapangan itu. Mereka datang bukan untuk menonton pertunjukan musik, melainkan menyaksikan "pertunjukan" hukum cambuk. Sebagian dari mereka terlihat menenteng telepon seluler berkamera, siap mengabadikan "acara" itu.
Menjelang pukul 16.00, mobil pembawa para terhukum dengan sirene meraung-raung tiba. Saat terhukum satu per satu dinaikkan ke panggung, ratusan penonton pun bersorak-sorai. Menyusul para terhukum, seorang lelaki berjubah hijau naik ke panggung. Kepala sang algojo, kecuali matanya, tertutup kain hijau. Persis seperti ninja.
Sore itu Kejaksaan Negeri Langsa dan Dinas Syariah Langsa menjadwalkan eksekusi atas sembilan pelanggar peraturan daerah alias qanun. "Ada empat pelaku khalwat (mesum) dan lima pelaku maisir (judi)," kata Kepala Dinas Syariah Ibrahim Latif, Rabu pekan lalu.
Setelah dibuka dengan sambutan Wali Kota Langsa—yang dibacakan Ibrahim—eksekusi cambuk dimulai. Mengikuti aba-aba "pembawa acara", sang algojo memukulkan rotan seukuran jempol sepanjang 75 sentimeter ke punggung terhukum. Meski sebelumnya tampak antusias, setiap kali cambuk menghantam punggung terhukum, sebagian penonton tak urung menahan napas. Wajah si terhukum tampak meringis.
Tibalah kemudian giliran terhukum keempat—sebut saja Yani. Tapi, belum lagi sang algojo melecutkan cambuknya, pembawa acara membacakan pengumuman. Isinya, hukuman terhadap Yani ditunda karena perempuan itu tengah hamil lima bulan. Yani pun bangkit dari deretan terhukum, kemudian turun ke belakang panggung.
Hukuman cambuk atas Yani telah lama menyedot perhatian banyak kalangan, termasuk mereka yang berada di luar Langsa. Berbeda dengan terhukum lain, perempuan 28 tahun itu sejatinya merupakan korban. Dia diperkosa delapan lelaki yang menggerebek rumahnya di Desa Lhok Banie pada awal Mei lalu.
Malam mendekati dinihari ketika Yani, janda beranak dua, berboncengan dengan Wahid, lelaki yang telah beristri, menuju Kecamatan Langsa Barat. Kamis, 1 Mei lalu itu, mereka baru saja jalan-jalan keliling Langsa. Karena malam telah larut, Wahid berniat menginap di rumah Yani di Desa Lhok Banie.
Di rumah Yani, yang agak terpisah dari tetangga, Wahid masuk lebih dulu lewat jendela samping. Sedangkan Yani masuk lewat pintu depan. Setelah mengunci pintu, keduanya masuk kamar.
Tatkala pasangan itu tengah membuka obrolan ringan, dari luar terdengar bunyi seperti ranting patah terinjak. Panik, Wahid pun bersembunyi. Adapun Yani melongok ke luar jendela. Di sana terlihat sejumlah pemuda sudah mengepung rumahnya.
Salah seorang pemuda memerintahkan Yani membuka pintu. Tergopoh-gopoh, Yani pun menuruti permintaan itu. Begitu pintu dibuka, delapan pemuda merangsek ke kamar Yani. Di lemari pakaian, mereka menemukan Wahid.
Para pemuda lantas mengikat kaki dan tangan Wahid. Agar lelaki itu tak kabur, seorang pemuda, Zulfahmi, 21 tahun, menjaganya. Sedangkan tujuh pemuda lain menyeret Yani ke kamar sebelah. Di situ M. Lizar, 31 tahun, memberi komando. Dia meminta tiga temannya memeriksa alat vital Yani. Alasannya, memastikan apakah Yani dan Wahid sudah berhubungan intim atau belum.
Tapi yang mereka lakukan lebih dari itu. Setelah melucuti pakaian Yani, tiga di antara pemuda itu bergiliran memerkosa perempuan tersebut. Adapun empat lainnya melakukan aksi pencabulan lain. Aksi bejat tersebut berlangsung sampai menjelang subuh. "Mereka memaksa saya, minta ini dan itu," kata Yani kepada Tempo, dua pekan setelah peristiwa itu.
Pagi harinya, Wahid dan Yani digelandang ke Kantor Dinas Syariah Islam Kota Langsa. Ketika diperiksa, pasangan tersebut mengaku belum berhubungan intim karena keburu digerebek. Yang membuat para pemeriksa terperanjat adalah saat Yani mengungkapkan dirinya diperkosa ramai-ramai.
Sepekan setelah kejadian, Kepolisian Resor Langsa menangkap tiga pemuda yang diduga memerkosa Yani. Mereka adalah Zulfahmi, M. Lizar, dan Cicik Supeni, 15 tahun. Zulfahmi dilepas karena dinilai tak terlibat dalam kejahatan tersebut. Adapun lima pemuda lainnya hingga kini masih buron. Mereka adalah Saiful, 25 tahun, Heru (24), Anggi (22), Eka Nugraha alias Botak (30), dan Muhajir alias Paak (21).
Abdi Fikri, Pelaksana Tugas Harian Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Langsa, mengatakan Yani dan Wahid tetap diadili karena melakukan khalwat—berduaan di tempat sunyi. Keduanya diadili menurut aturan qanun syariah Islam di Mahkamah Syariah Langsa.
Adapun para pemerkosa, menurut Abdi, diadili dengan hukum pidana umum di Pengadilan Negeri Langsa. Mereka tak dihukum berdasarkan syariah Islam karena saat itu belum ada qanun yang mengatur kasus pemerkosaan. "Dalam peristiwa itu ada dua perkara: kasus khalwat dan kasus pemerkosaan. Itu ditangani terpisah," kata Abdi.
Qanun yang mengatur larangan pemerkosaan baru disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada akhir September lalu. Qanun Jinayat itu—semacam kitab induk hukum pidana Islam—antara lain melarang perbuatan zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, dan qadzaf (menuduh orang berzina tanpa mengajukan empat saksi).
Menurut kalangan pegiat hak asasi manusia, pasal-pasal dalam Qanun Jinayat itu pun masih berpotensi memicu perbedaan tafsir. Korban pemerkosaan yang tak bisa membuktikan laporannya, misalnya, bisa dituntut balik dengan pasal qadzaf.
Di persidangan, jaksa menuntut Yani dan Wahid dihukum tujuh kali cambuk. Namun, setelah memeriksa saksi dan bukti, hakim akhirnya memutuskan Yani dan Wahid dihukum cambuk delapan kali dan diharuskan membayar biaya perkara Rp 2.000.
Hakim syariah yang mengadili Yani, Ilyas Amin, mengatakan putusan hakim lebih tinggi daripada tuntutan jaksa karena Yani dan Wahid sama-sama pernah menikah. Dalam hukum Islam, kata Ilyas, pasangan yang pernah menikah lalu berzina hukumannya lebih berat ketimbang gadis atau lajang.
Kepala Dinas Syariah Islam Langsa, Ibrahim Latif, memastikan hukuman cambuk atas Yani hanya ditunda. Berdasarkan keterangan dokter, Yani tengah hamil lima bulan. "Hukumannya ditunda sampai ia melahirkan," kata Ibrahim. Adapun Wahid sudah menjalani hukuman cambuk pada Jumat dua pekan lalu.
Sejak menikah dengan Wahid pada Juli lalu, Yani tak tinggal lagi di Desa Lhok Banie. Kini mereka tinggal di Desa Lengkong, Kecamatan Langsa Baro. Rabu pekan lalu, Tempo mendatangi rumah keluarga baru itu, tapi keduanya sedang pergi.
Kepala Desa Lengkong Samsul Bahri menuturkan, meski sempat menutup diri, Yani dan Wahid kini sudah biasa bergaul dengan tetangga. Yani, misalnya, rajin mengikuti pengajian bersama ibu-ibu lain di desanya.
Sehari sebelum dihukum cambuk, Wahid pun pernah mengungkapkan harapannya kepada Samsul Bahri. "Kalau bisa, istri saya tak dihukum cambuk," kata Samsul menirukan Wahid. "Kasihan, sudah jatuh, tertimpa tangga."
Seperti halnya Wahid, Samsul pun berharap Yani diperlakukan sebagai korban. Trauma Yani karena diperkosa, menurut Samsul, belum pulih. Kalau Yani sampai dicambuk, "Dia bisa terpukul lagi," kata Samsul.
Jajang Jamaludin, Imran M.A. (Langsa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo