ORANG biasa menyebut kota Tabriz sebagai kota dari mana panas
mengalir. Tapi pekan lalu bukan cuma mata air hangat yang
memancar dari kota yang sangat dingin di musim ini. Tabriz,
tempat berpangkalnya gerakan nasionalis Iran di awal abad ini,
sampai dengan Minggu malam kemarin merupakan ajang perselisihan
antara para pengikut Ayatullah Khomeini dengan pengikut
Ayatullah Syariat Madari.
Di ibukota provinsi Azerbaijan ini tembak menembak terjadi.
Ayatullah Khomeini, yang bisa memerintahkan langsung gerakan
tentara, mengirimkan pasukan para berbaret-hijau ke kota itu
untuk menyetop gerombolan yang dituduhnya sebagai "agen-agen
imperialis Amerika". Para pengikut Syariat Madari, dalam pakaian
putih-putih untuk mati syahid, nampaknya akan bertahan di antara
600.000 penduduk. Berapa korban yang jatuh belum diketahui
pasti.
Bertemperamen Lain
Khomeini menganggap perlawanan mereka kepada kewibawaan
pemerintahannya sebagai "pemberontak melawan Islam". Sebaliknya
Syariat Madari menyatakan ia "seratus persen mendukung penduduk
Azerbaijan". Dalam wawancaranya dengan harian Teheran Times awal
pekan ini ia menyebut bahwa masalah Azerbaijan bukanlah karena
masalah keinginan memperoleh otonomi, tapi "karena
ketidak-adilan".
Ulama besar asal Tabriz ini tak memperinci apa "ketidak-adilan"
itu. Tapi mungkin ia ingin membedakan ketidakpuasan rakyat
Azerbaijan, dari ketidakpuasan orang-orang Kurdi, yang
menghendaki otonomi bagi wilayahnya. Dan dengan demikian juga
berbeda dari pergolakan di provinsi Balukhistan ataupun
Khuzestan. Ayatullah Syariat Madari lebih menekankan pada
masalah konstitusi baru, yang pekan sebelumnya direferandumkan.
Ia sendiri menolak konstitusi baru itu. Ia tak ikut referandum.
Hampir seluruh penduduk Azerbaijan, yang hampir merupakan
sepertiga penduduk Iran yang 35 juta itu, mengikutinya. Tapi
belum jelas benar bagian mana dari konstitusi itu yang
ditentangnya.
Sejak mula, memang perbedaan antara Khomeini dengan Syariat
Madari sudah nampak. Keduanya berusaha keras untuk menutupinya,
dan mereka saling menjaga diri. Tapi temperamen kedua ulama
besar ini memang lain. Ayatullah Khomeini, beralis tebal dan
nampak kokoh, hampir tak pernah senyum. Ayatullah Syariat
Madari, berkacamata nenek dengan mata yang kecil, biasa
tersenyum. Yang pertama tak pernah berkompromi. Yang kedua
terkenal moderat.
Syariat Madari, seperti halnya bekas Perdana Menteri Bazargan,
berjuang melawan Syah dari dalam negeri. Khomeini, beserta
orang-orang dekatnya, berjuang dari luar negeri, dan tinggal di
negeri asing lebih dari 10 tahun. Belum jelas benar dakah
karena perbedaan latar belakang seperti itu yang menyebabkan
Khomeini dan orang-orang dekatnya nampak kurang luwes dalam
mengatasi masalah Iran kini. Tapi yang pasti, dalam panasnya
revolusi, orang moderat memang selalu tersisihkan.
Syariat Madari misalnya, meskipun statusnya sebagai ulama sangat
tinggi, bahkan yang paling terkemuka di kota Qom -- tak diajak
dalam pembentukan Dewan Revolusi Islam yang sangat berkuasa itu.
Khomeini dengan orang-orang dekatnya menyusunnya secara rahasia.
Dari ulama terkemuka Iran hanya almarhum Ayatullah Taleghani --
yang berpengaruh di Teheran -- yang disertakan. Itu pun kemudian
tak selamanya akur. Sejumlah para pengikut Khomeini sekali waktu
menahan dua anak Taleghani yang dianggap kiri. Taleghani
menghilang dari Teheran sebagai protes, seraya memperingatkan
bahwa Iran dapat "jatuh kembali ke tangan kediktaturan dan
despotisme. "
Perbedaan paham antara para pendukung Taleghani dengan kaum
revolusioner yang merasa dekat dengan Khomeini tak berumur lama.
Taleghani wafat September yang lalu. Tapi perbedaan paham antara
Syariat Madari dengan Khomeini nampaknya tak bisa lagi
ditutup-tutupi.
Ketika rencana penyusunan konstitusi baru diumumkan, dan
pemilihan umum direncanakan, Khomeini mendeking dan merestui
Partai Islam Republiken (PRI) atau Hezbe Jumhuriye Eslami yang
baru dibentuk. Melihat pemujaan massa kepada Khomeini, dan
kekuasaan Dewan Revolusi yang dipimpinnya, Syariat Madari mau
menghindarkan terjadinya monopoli kekuasaan.
Akhir April ia pun mendukung berdirinya Partai Republiken Rakyat
Muslim (PRRM) atau Hezbe Jumhuriye Khalq Mussalman-e-Iran.
"Ada bahaya terjadinya kediktaturan satu partai," kata Syariat
Madari menjelaskan alasannya. "Untuk hanya satu partai (yang
menguasai parlemen) akan sangat buruk akibatnya." Sebab, "bila
mereka memutuskan satu perkara, mereka tak akan menganggap apa
yang benar dan apa yang salah, sebab mereka tahu mereka punya
suara mayoritas."
Khomeini membalas. "Tak ada yang bisa dicapai dengan
tetesan-tetesan kecil," katanya mengecam banyaknya partai ke
arah pembentukan Republik Islam Dan meskipun semula
partai-partai itu disiapkan untuk pemilihan umum Majlis
Konstituante, tiba-tiba menyatakan bahwa tak akan ada Majlis
Konstituante. Bahkan ia menyebut mereka yang memperjuangkan
Majlis itu sebagai "kontra-revolusioner" serta "komunis".
Rancangan konstitusi akan dilontarkan langsung ke tengah
rakyat untuk direferendumkan. Rakyat tinggal pilih "setuju"
atau "tidak".
Pada saat itu pemerintahan Mehdi Kazargan -- yang semangatnya
lebih dekat pada Syariat Madari -- mendesakkan agar referandum
semacam itu harus dihindari. Sebuah konstitusi memerlukan
perdebatan, amandemen bila perlu, yang tak bisa diselesaikan
lewat referandum. Maka suatu kompromi antara Kabinet dengan
Dewan Revolusi tercapai: Majlis Konstituante tak akan dipilih,
sebagai gantinya dipilih Majlis Ahli yang jumlahnya lebih kecil.
Majlis inilah yang akan menyusun satu rancangan konstitusi -
yang kemudian akan direferandumkan.
Syariat Madari menyaksikan semua ini dengan kecewa. "Mereka
nampaknya tak tahu apa yang mereka lakukan," katanya waktu itu.
Ia secara terbuka menyerukan tetap diadakannya Majlis
Konstituante. Ia sendiri, katanya, tak akan memberikan suara
kecuali kalau ada Majlis Konstituante.
Tapi, Syariat Madari tak diacuhkan. Ia dianggap hanya
menimbulkan perpecahan. Namun panasnya konflik antara
pengikutnya serta pendukung Khomeini mulai tercetus ketika
pemilihan ke-75 anggota Majlis Ahli berlangsung. "Komiteh", atau
"panitia", yang dikuasai pendukung PRI mengontrol seleksi para
calon. Beberapa partai memprotes: mereka tak mau serta dalam
pemilu. Itu pun tak banyak hasilnya: hanya dua calon bukan
pro-PRI yang akan boleh dipilih.
Sekalipun begitu para pengikut Syariat Madari yang tergabung
dalam PRRM masih mencoba ikut memilih calon-calon mereka. Namun
di Tabriz mereka merasa bahwa para pendukung Khomeini berlaku
curang. Gubernur Tabriz sendiri mengatakan -- sebagaimana
dikutip majalah The Middle East September yang lalu -- "Ada
penipuan dalam setiap tempat pemungutan suara di Tabriz. Saya
melihat beberapa di antaranya dengan mata kepala saya sendiri."
Beberapa saat kemudian para pemimpin PRRM mengeluarkan
pernyataan, yang ditujukan kepada "rakyat Azerbaijan yang
berani". Di dalamnya suatu suara marah tercetus: "Rakyat Tabriz
dan seluruh Azerbaijan telah ditindas selama bertahun-tahun, dan
bahwa ini masih terus berlangsung. Saudara-saudara pernah
bangkit sebelumnya dan tahu bagaimana untuk berjuang bagi
hak-hak saudara-saudara. Hanya karena rasa hormat kepada
otoritas tertinggi dalam Islam Syi'ah sajalah (yang dimaksudkan
Ayatullah Syariat Madari -- Red.) saudara-saudara tinggal diam.
Jika pemerintah pusat mengabaikan statemen kami ini, mereka
harus tanggung akibat yang terjadi. "
Yang terjadi adalah ledakan pekan lalu, empat bulan setelah
pernyataan tadi. Dalam panasnya suasana, ketika referandum untuk
menyetujui rancangan konstitusi berlangsung, seorang pengawal di
rumah Syariat Madari tertembak mati oleh para pendukung
Khomeini. Esok paginya segera Khomeini, yang empat tahun lebih
muda ketimbang Syariat Madari, mendatangi rumah ulama itu. Tapi
pertemuan selama 30 menit rupanya tak menghindari pertempuran di
Tabriz.
Sahut Menyahut
Salah satu penyebab kemarahan pengikut Syariat Madari ialah cara
televisi pemerintah -- yang dikuasai oleh Sadeq Ghotbzadeh --
yang dianggap memanipulasikan berita. Suatu anjuran lewat
televisi untuk memberikan suara dalam referandum diselingi
dengan gambar Syariat Madari, seakan-akan ulama ini mengubah
pendiriannya. Televisi juga tak pernah menyiarkan protes rakyat
Tabriz. Tak heran bila stasiun radio dan televisi dicoba
direbut, meskipun akhir pekan lalu berhasil kembali di tangan
para pendukung Khorneini dan pemerintah pusat.
Apa yang akan terjadi, masih belum bisa diperhitungkan. Tapi
keretakan di tubuh Iran memang bisa berlanjut-lanjut. Kalangan
Kurdi pekan lalu menyatakan dukungannya kepada rakyat
Azerbaijan, dan itu berarti gerakan di daerah-daerah yang
menentang pemerintahan Khomeini seperti sahut-menyahut. Hanya
dengan adanya musuh bersama seperti Amerika Serikar sajalah
Khomeini dapat --untuk sementara ini -- menyatukan negerinya dan
mengkonsolidasikan kekuasaannya. Juga, tentu saja, dengan
panji-panji Islam.
Masalah yang besar ialah bila soal san dera di kedutaan besar AS
segera selesai, atau jadi adem. Dalam konstitusi baru Khomeini
akan bertindak sebagai sang faqih yang berhak menyatakan perang,
menseleksi calon presiden yang dipilih rakyat, mengangkat
pejabat tinggi kehakiman dan militer, dan memecat kepala negara
bila parlemen menganggapnya tak becus lagi. Dalam pikiran para
penyusun konstitusi ini, nampaknya Khomeini akan dapat melakukan
semua itu tanpa menjadi sewenang-wenang. Tapi Syariat Madari,
yang lebih cenderung agar kontrol oleh ulama dilakukan lewat
sebuah majlis, berpendapat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini