SETELAH krisis penyanderaan staf Kedubes Amerika Serikat di
Teheran sebulan lebih berlalu, setelah banyak jalan dicoba dan
tidak berhasil, maka pers Barat pun menoleh ke arah baru: para
pemimpin keagamaan Islam dunia.
Kolumnis terkenal Amerika James Reston menulis di The New York
Times awal bulan ini: "Agak aneh bahwa Carter, seorang yang
begitu saleh, belum memobilisasikan para pemimpin rohani dunia
untuk menghimbau Khomeini atas nama Islam dan Qur'an." "Khomeini
tak menanggapi politik kekuasaan, tapi mungkin akan menanggapi
seruan keagamaan. Paling tidak, hal ini pantas dicoba," tulis
Reston.
Tidak Setuju
Pendapat koran Inggris The Guardian 9 Desember lalu senada.
Menurut koran ini, mungkin campur tangan yang efektif adalah
dari dunia Islam yang sebagian besar melihat perbuatan Khomeini
dengan diam. Dengan berdiam diri, tulis Guardian bisa diartikan
mereka menyetujui tindakan Khomeini. "Tiap bab dalam Qur'an
selalu dimulai dengan Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama
Tuhan yang Pengasih dan Penyayang). Apakah ini terjemahan yang
salah? Apakah Al Rahman dan Al Rahim punya arti lain dalam
bahasa Arab ?.
Para ahli keagamaan Islam di seluruh dunia tampaknya memang
lebih banyak bersikap diam atau menunggu. Begini juga banyak
pemerintah dari negara yang penduduknya beragama Islam.
Pemerintah Indonesia sendiri sampai sekarang belum menyatakan
secara terbuka sikapnya terhadap penyanderaan di Teheran itu.
Kabarnya, sikap resmi sudah disampaikan lewat Dubes Iran di
Jakarta dan Dubes RI di Teheran. Menurut suatu sumber sikap RI
adalah prihatin dengan tindakan yang dapat menimbulkan preseden
yang bisa menyulitkan huhungan internasional. Bagaimana dengan
pendapat para ulama Indonesia? Beberapa di antara mereka
diwawancarai TEMPO. Hasilnya:
Buya Hamka: Kemelut di Iran itu menjengkelkan hati kita. Saya
hanya berdoa semoga semuanya lekas selesai. Apalagi Carter sudah
bilang tidak akan menggunakan senjata. Itu titik terang.
Penyanderaan? Dalam segala revolusi banyak yang tidak cocok.
Revolusi Prancis lebih dari itu, semua kepala dipotong. Mana ada
revolusi yang tidak ada ekses demikian? Revolusi di negara kita
juga begitu.
Tokoh-tokoh Islam Indonesia diam saja karena agak hati-hati
dalam menanggapi hal ini. Ini berhubungan dengan politik,
termasuk politik luar negeri kita sendiri. Kesimpulan saya: saya
ingin kembali ke pepatah kuno Minangkabau. Tidak ada perang yang
tidak damai dan tidak ada kesumat yang tidak habis. Itu nantinya
akan selesai walau bertahun seperti revolusi Prancis.
Prof. M. Rasjidi Tindakan Khomeini akibat perlakuan penguasa
yang tidak mengindahkan kepentingan orang beragama. Karena itu
emosi agama jelas kuat sekali mendasari semangat perjuangannya.
Ini bukan Syiah melawan Syah, tapi rakyat melawan raja. Dan
Islam telah menjiwai perjuangan itu, yaitu memperjuangkan
nilai-nilai kehidupan beragama.
Secara pribadi saya tidak setuju penyanderaan itu. Dari segi
agama kita dianjurkan mengadakan hubungan yang baik dengan semua
orang.
Saifuddin Zuhri: Bentuk perjuangan kaum Syiah sering menimbulkan
kesan radikal. Tapi sebagai kebangkitan suatu bangsa itu tidak
bisa disalahkan. Ini adalah revolusi Syiah modern. Semangat
agama juga mendasari perjuangan mereka. Khomeini juga membawa
aspirasi nasionalisme, membebaskan rakyat dari penjajahan raja.
Tentang penyanderaan, barangkali Iran terpaksa menempuh cara
itu. Ini kebangkitan suatu bangsa, tak bisa segera disalahkan.
Amin Iskandar: Revolusi Iran merupakan revolusi Islam yang
dijiwai oleh keyakinan Islam. Merupakan tindakan menentang rezim
yang menindas rakyat dengan cara-cara yang bertentangan dengan
ajaran keyakinan Islam. Beberapa faktor seperti Syiah yang taat
pada Islam, nasionalisme dan humanisme bersatu pada pendirian
bahwa rezim Syah adalah penindas rakyat.
Dalam revolusi Iran memang banyak yang tidak rasional seperti
penyanderaan, pengadilan revolusi dan sebagainya. Tapi di mana
ada revolusi yang didukung sepenuhnya secara rasional tanpa
unsur-unsur irrasional? Wajar kalau yang semula bersatu menjadi
bertentangan setelah revolusi berhasil. Bahkan kalau terjadi
pemimpin revolusi dikalahkan pun biasa. Melalui proses
ketidak-pastian itu revolusi akan mencapai taraf lebih sempurna.
M. Natsir: Setiap kali kita harus mengadakan penilaian tentang
Iran, jangan kita lupa menyadari bahwa mereka itu berada di
dalam suatu revolusi besar. Perasaannya revolusioner. Cara
berpikirnya revolusioner. Kita juga pernah mengalami. Dalam
revolusi memang banyak keadaan yang ganjil, banyak kejadian yang
tidak normal.
Orang dalam keadaan demikian mudah tersinggung. Apalagi seperti
Iran yang melawan dan mengeluarkan perasaannya yang sudah
terkekang selama 30 ahun di bawah kekuasaan seorang diktatur.
Jadi sudah memuncak. Sekarang dilepaskan oleh seorang Khomeini.
Bagi mereka Khomeini merupakan semacam penyelamat. Mereka sudah
merasa bersatu dengan dia, walau belum tentu Khomeini itu lebih
baik.
Sebaliknya bagi Amerika yang merasa negara besar, penyanderaan
warganegaranya dianggap sebagai pemerasan. Mereka tidak dapat
menerima karena itu dianggap menjatuhkan prestisenya.
Jadi kedua-duanya sama-sama keras. Padahal kalau masalahnya
dilihat dengan kepala dingin sudah akan dapat diselesaikan.
Apalagi kalau dulu-dulu sudah dibawa ke PBB. Penyanderaan itu
memang tidak bisa dibenarkan. Tapi perasaan orang Iran juga
harus diperhatikan. Semuanya hanya bisa diselesaikan dengan
memberi antara kedua pihak.
Jangan bicara apakah penyanderaan itu sesuai dengan ajaran
Islam. Jangan bicara tentang hukum internasional dengan orang
yang sedang dalam revolusi semacam itu. Itu tidak ada artinya.
Kita harus berbicara dengan bahasa yang mereka mengerti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini