Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Invstigasi EU DisinfoLab menemukan ratusan media palsu India digunakan untuk mendiskreditkan Pakistan.
Kampanye yang terhubung dengan Srivastava Group itu menembus Uni Eropa dan PBB.
Cara canggih dan rumit dalam menggalang penyesatan informasi.
SEHARI sebelum Natal lalu, sebuah pertemuan terjadi di belakang rumah Perdana Menteri Pakistan Imran Khan yang luas di Islamabad. Pertemuan di ruang terbuka itu dihadiri Imran, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Qamar Javed Bajwa, dan Direktur Jenderal Intelijen Letnan Jenderal Faiz Hamid. Mereka duduk di kursi-kursi rotan di pekarangan yang dilindungi pohon-pohon pinus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kantor Perdana Menteri Pakistan menyatakan tiga pejabat itu membahas situasi keamanan mutakhir, khususnya mengenai propaganda palsu India serta sengketa wilayah Jammu dan Kashmir di perbatasan kedua negara. Sengketa itu memicu perang India-Pakistan 1947, yang berhenti melalui gencatan senjata yang ditengahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun konflik kembali pecah dan memanas lagi sejak Agustus 2019 ketika Perdana Menteri India Narendra Modi mencabut otonomi Kashmir dan mengklaim seluruh wilayah tersebut. “(Pertemuan itu) menyimpulkan bahwa pertahanan Ibu Pertiwi akan ditegakkan dengan dukungan seluruh bangsa melalui segala cara,” demikian pernyataan Kantor Perdana Menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Pakistan juga meminta India tidak menggunakan propaganda lancung dan harus menyadari bahwa penyebaran informasi yang menyimpang hanya akan berujung pada kegagalan. “Dengan menyebarkan kepalsuan semacam itu, India tak akan bisa setara dengan status Pakistan di dunia internasional dan tak bakal bisa membelokkan perhatian komunitas internasional dari catatan buruk hak asasi manusia India,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan, Zahid Hafeez Chaudhri, dalam konferensi pers pada hari yang sama.
Pemerintah India membantah kabar bahwa mereka menyebarkan propaganda palsu dan menuduh Pakistan-lah pelakunya. “Sebagai negara demokrasi yang bertanggung jawab, India tidak menjalankan penyimpangan informasi,” ucap Anurag Srivastava, juru bicara Kementerian Luar Negeri India, seperti dikutip Reuters.
Chaudhri menyitir laporan EU DisinfoLab, lembaga independen pemantau penyesatan informasi di Uni Eropa, yang dirilis pada awal Desember lalu. Laporan yang bertajuk “Indian Chronicles” itu mengungkap bagaimana Srivastava Group, sebuah grup perusahaan di India, menggalang propaganda untuk mendiskreditkan Pakistan sekaligus mendukung India di dunia internasional. Kampanye itu bahkan menembus Uni Eropa dan PBB serta media seperti BBC, Politico, Economic Times, Yahoo! News India, The Business Standard, dan Times of India.
Tentara India berjaga disebuah lokasi usai terjadi aksi tembak menembak dengan kelompok militan di Srinagar, Kashmir, 30 Desember 2020./ Reuters/Danish Ismail
Alexandre Alaphilippe, Direktur Eksekutif EU DisinfoLab, menyatakan Srivastava Group merupakan jaringan terbesar disinformasi yang bisa mereka ungkap. “Selama 15 tahun, fakta bahwa jaringan ini dikelola untuk beroperasi secara efektif menunjukkan kecanggihan dan gerakan para aktor di balik Indian Chronicles,” tuturnya kepada BBC. “Anda butuh lebih dari segelintir komputer untuk merencanakan dan menjaga kegiatan semacam ini.”
Laporan itu merupakan kelanjutan dari investigasi EU DisinfoLab tahun lalu yang membongkar jaringan 265 media daring (online) abal-abal di 65 negara yang memproduksi konten negatif tentang Pakistan. Jaringan ini dibikin oleh orang-orang di balik EP Today, majalah Parlemen Eropa palsu yang aktif di Brussels, Belgia, sejak 2006. Majalah itu menjadi tempat bagi anggota Parlemen Eropa dan politikus lain untuk mempublikasikan opininya, khususnya yang mendukung kepentingan India dan menekan Pakistan.
Sebagian politikus itu juga menghadiri acara sampingan PBB, konferensi pers, dan unjuk rasa di Jenewa bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat di bidang hak-hak kaum minoritas, yang juga dikelola orang-orang di balik EP Today, seperti European Organization for Pakistani Minorities. Media abal-abal lain, Times of Geneva dan 4 News Agency, kemudian membuat berita tertulis dan video yang juga digunakan oleh lembaga-lembaga tadi. Berita tersebut lalu disebarluaskan melalui jaringan media palsu global dan Asian News International (ANI), kantor berita video terbesar India. Semua media dan organisasi tersebut terhubung dengan Srivastava Group. Perusahaan itu pula yang membiayai perjalanan 27 anggota Parlemen Eropa ke Kashmir dan bertemu dengan Narendra Modi pada akhir 2019.
Menurut DisinfoLab, jaringan itu biasanya merekayasa seruan dukungan dari para pemimpin Uni Eropa terhadap kebijakan pemerintah Modi. Misalnya soal serangan militer India terhadap sasaran militer Pakistan menjelang pemilihan umum India pada 2019. EP Today menerbitkan opini Ryszard Czarnecki, anggota Parlemen Eropa, yang mendukung serangan itu. ANI kemudian memberitakannya dengan sedikit “dipelintir” seolah-olah tulisan tersebut merupakan pernyataan resmi pejabat Uni Eropa. Berita ANI kemudian diangkat oleh media “betulan” India seperti Economic Times.
Sejak Mei 2020, EP Today berganti wajah menjadi EU Chronicle dengan alamat Euchronicle.com. Alamat Protokol Internet (IP) situs berita itu sama dengan alamat hosting lembaga dan situs abal-abal lain yang terhubung dengan Srivastava Group. Media baru itu menyebut dirinya pembawa “berita dari Uni Eropa” yang dikelola oleh “sekelompok jurnalis ekspatriat lepas di Belgia”, yakni Stephen Ciccoli, Paul Riley, Rita Storen, dan Tony Faber. DisinfoLab menduga mereka adalah jurnalis lancung juga karena tak pernah menulis berita sendiri. Semua tulisan di situs itu adalah duplikasi dari artikel di situs web Uni Eropa.
EU Chronicle dikelola oleh beberapa editor, seperti Rahul Malhotra, Raul Mckenzie, dan Maria Rutowicz. Namun mereka juga diduga sebagai jurnalis gadungan. Semua alamat kontak dan surat elektronik mereka sama atau terhubung dengan Srivastava. DisinfoLab tak dapat memastikan bahwa orang-orang itu benar-benar ada.
Media itu juga menerbitkan tulisan opini dari anggota Parlemen Eropa, yang sebagian pernah menulis di EP Today. Lagi-lagi tulisan mereka menggemakan dukungan kepada India, seperti mengenai perlakuan buruk yang dialami kelompok minoritas di Pakistan serta kondisi Jammu dan Kashmir. Sedikit berbeda dengan EP Today, media ini mengangkat pula isu-isu yang mengkritik Cina.
Dua anggota parlemen yang tulisannya muncul di EU Chronicle, Angel Dzhambazki dan Grzegorz Tobiszowski, menyatakan tak pernah menulis opini tersebut. Sedangkan Thierry Mariani, anggota parlemen yang turut berkunjung ke Kashmir dan tulisannya muncul di media itu, tak membantah. “Saya menulis apa yang saya mau dan saya rasakan, itu pendapat saya. Saya punya koneksi dengan Partai Bharatiya Janata dan mendukung pemerintah Modi,” katanya kepada BBC. Bharatiya Janata adalah partai politik Narendra Modi.
Jaringan EU Chronicle melibatkan 750 lebih media abal-abal di 119 negara dan lebih dari 10 lembaga swadaya masyarakat yang terdaftar di Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Semuanya juga terhubung dengan Srivastava Group. Beberapa tulisan di sana juga digemakan oleh ANI.
ANI tak membuat pernyataan resmi mengenai keterlibatannya dalam laporan DisinfoLab ini. Media itu hanya memuat berita yang mengutip pernyataan Nasir Aziz Khan, juru bicara Partai Nasional Rakyat Kashmir Bersatu (UKPNP, partai lokal Kashmir yang memperjuangkan berdirinya negara Kashmir. “(DisinfoLab) adalah lembaga swasta yang tak ada hubungannya dengan Parlemen Eropa, Komisi Eropa, atau Uni Eropa. Temuan laporan itu diangkat secara berlebihan di Pakistan, yang digunakan oleh Menteri Luar Negeri negara itu untuk mengklaim bahwa mereka telah menggagalkan sebuah penipuan besar,” ujar Nasir Aziz sebagaimana dikutip ANI.
Smita Prakash, editor ANI, membantah tuduhan tersebut melalui Twitter. “Sebuah upaya telah dilakukan Pakistan dan proksinya untuk mencederai kredibilitas ANI dengan melemparkan tuduhan liar dari berita palsu,” tulisnya.
Reuters News, unit perusahaan media Thomson Reuters, punya saham minor di ANI selama dua dekade. Dalam pernyataan resminya, Reuters mengaku sedang meninjau kasus tersebut tapi menekankan bahwa mereka “tak terlibat” dalam kegiatan redaksi ANI.
Salah satu lembaga yang disoroti DisinfoLab adalah Commission to Study the Organization of Peace (CSOP). Lembaga ini berdiri pada 1930-an dan terdaftar resmi di PBB pada 1975, tapi tak aktif lagi sejak 1970-an. Pemimpinnya adalah Louis Sohn, profesor Harvard Law School yang disebut sebagai bapak hukum hak-hak asasi manusia di Amerika Serikat yang wafat pada 2006.
Srivastava “membajak” lembaga tersebut dengan membangun situs dan membeli nama domain csopus.com pada Agustus 2005. Alamat kantornya yang tercatat di PBB adalah 626 Ferney Drive, New Milfourd, New Jersey, Amerika Serikat, tapi alamat tersebut tak ada di New Jersey. Bahkan jaringan ini “menghidupkan kembali” Louis Sohn sehingga ia terdaftar sebagai wakil CSOP dalam rapat Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNHCR) pada 2007. Sohn juga disebut hadir dalam sebuah acara di Washington, DC, pada 2011 yang digelar oleh Institute for Gilgit Baltistan Studies, lembaga abal-abal lain dalam jaringan Srivastava.
Srivastava Group adalah perusahaan kecil yang berupaya terlihat mentereng. Kantornya beralamat di sebuah gedung di New Delhi, India. Wartawan BBC yang berkunjung ke kantor itu pada pertengahan Desember lalu tak menemukan apa-apa di sana. Penjaga gedung menyatakan tak ada kantor di bangunan itu. Seorang penduduk yang sudah 40 tahun bermukim di daerah itu juga mengaku tak pernah melihat siapa pun di gedung itu.
Di situsnya, perusahaan itu mengklaim sebagai salah satu perusahaan yang tumbuh pesat di India di bidang sumber daya alam, energi bersih, jasa konsultasi, kesehatan, dan penerbitan. Neha dan Ankit Srivastava tercatat duduk di dewan direksi semua anak perusahaan.
Berdasarkan dokumen laporan tahunan perusahaan ke pemerintah, The Indian Express menemukan sebagian bisnis Srivastava bangkrut dan sebagian lagi tak mencetak banyak laba. New Delhi Times Limited, penerbit New Delhi Times dan Nai Dilli Times, misalnya, tak memberikan laporan sejak 2006. Perusahaan itu terakhir kali mencatatkan pendapatan sebesar 730 ribu rupee atau sekitar Rp 140 juta. A2N Broadcasting tak melaporkan pendapatan sejak 2015. Perusahaan perjalanan New Delhi Aviations membukukan pendapatan Rp 91 juta pada 2019 dan utang Rp 573 juta. ANR Healthcare, yang punya klinik gigi di New Delhi, mencatat pendapatan Rp 820 juta dan rugi Rp 209 juta pada 2016-2017.
Media Prancis, Les Jours, menduga intelijen India punya hubungan dengan operasi Srivastava Group. Les Jours, misalnya, mengutip keterangan dari Lawyers for Human Rights International, organisasi hak asasi berbasis di Punjab, India, mengenai ancaman Pramila Srivastava terhadap seorang dokter anak yang berbicara tentang pembunuhan bayi di Punjab dalam forum UNHCR di Jenewa. Pramila adalah Ketua Dewan Direksi Srivastava Group dan istri Govind Narain Srivastava, pendiri grup itu. Pramila menyebut presentasi sang dokter akan menciptakan “citra keliru India” dan bakal “menghadapi konsekuensinya”. Dokter itu kemudian diinterogasi oleh intelijen India sepulang dari Jenewa.
DisinfoLab menemukan Aglaya, perusahaan perangkat lunak komputer kecil di New Delhi, dipimpin oleh Ankur Srivastava. Alamat perusahaan itu sama dengan alamat Srivastava Group di New Delhi. Vice melaporkan Aglaya menyebarkan brosur di acara Intelligence Support System World Conference di Washington, DC, pada 2014 yang menawarkan jasa memanipulasi mesin pencari Internet dan media sosial untuk mendiskreditkan target tertentu. Pada 2017, Thomas Brewster menulis di Forbes, “Srivastava mengatakan kepada saya bahwa dia hanya akan menjual (alat peretas itu) kepada intelijen India.”
Sejak namanya disebut dalam laporan DisinfoLab tahun lalu, Srivastava tak pernah memberikan komentar atau pernyataan apa pun baik kepada pers maupun di situsnya. Juru bicara UNHCR, Rolando Gomez, hanya berjanji bahwa lembaganya akan memeriksa temuan ini. Delphine Colard, juru bicara Parlemen Eropa, menyatakan akan menyelidiki kasus ini lebih lanjut. “Kami akan menangani secara serius setiap usaha yang tidak mewakili posisi Parlemen Eropa atau anggotanya,” tutur Colard kepada Reuters.
IWAN KURNIAWAN (BBC, THE CARAVAN, REUTERS, THE INDIAN EXPRESS, LES JOURS, ANI, FORBES, VICE)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo