Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Negeri tanpa Surat Kabar

Junta militer Myanmar menangkap para jurnalis, memberangus media, dan memutus Internet. Sekitar 20 jurnalis Myanmar masih dipenjara. Tak ada lagi koran di negeri itu.

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rekaman video jurnalis Myanmar Now, Kay Zon Nway, saat dikejar polisi Myanmar ketika meliput unjuk rasa di Yangon, Myanamr, 27 Februari 2021. Dokumentasi Myanamr Now/Kay Zon Nway

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lebih dari 40 jurnalis Myanmar ditangkap sejak kudeta militer.

  • Junta berusaha menekan media dan jurnalis yang melaporkan unjuk rasa.

  • Izin penerbitan lima media Myanmar sudah dicabut.

THEIN Zaw tersenyum tipis dan melambaikan tangan ke arah sejumlah fotografer saat meninggalkan penjara Insein di Yangon, Myanmar, pada Rabu, 24 Maret lalu. Jurnalis Myanmar yang bekerja untuk Associated Press itu bebas setelah mendekam 26 hari di penjara yang terkenal sebagai tempat mengurung tahanan politik tersebut. Saudara dan rekan-rekannya langsung membawa Thein pulang untuk bertemu dengan keluarganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibu Thein menyambut anaknya dengan isak tangis. Dia mengira tak akan bisa lagi melihat sang putra. Ayahnya memberinya sampo sebagai tradisi untuk orang yang baru bebas dari bui. Tampak lebih kurus dari sebelum dipenjara, Thein mengaku lega bisa keluar dari Insein. “Terima kasih untuk semua yang sudah berusaha keras mengeluarkan saya,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Thein adalah satu dari sekitar 600 tahanan yang dibebaskan dari penjara itu. Dia ditangkap ketika meliput unjuk rasa yang memprotes kudeta militer di Yangon. Menurut Thein, hakim membatalkan semua dakwaan karena menilai dia hanya menjalankan tugas sebagai wartawan. Meski bebas lebih dulu, Thein mengaku khawatir terhadap nasib rekan-rekannya dan para jurnalis yang masih dibui. “Saya berharap mereka bisa keluar dari sana secepatnya.”

Kerja para jurnalis Myanmar menjadi lebih berat setelah kudeta militer yang dipimpin Panglima Tentara Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing pecah pada 1 Februari lalu. Sejak itu, masyarakat terus melancarkan perlawanan dengan menggelar demonstrasi dan mogok kerja. Protes itu dibalas tindakan kekerasan oleh tentara dan polisi.

Bukan cuma demonstran, jurnalis yang tengah meliput unjuk rasa juga menjadi incaran tentara dan polisi sejak awal. Militer, seperti dilaporkan Deutsche Welle, menuduh media justru menyulut protes massal dan membuat petugas keamanan kesulitan meredakannya. Sebagian besar editor dan reporter di negeri itu kini menyembunyikan identitas mereka sebagai anggota organisasi pers.

Rekaman video dari gawai jurnalis Myanmar Now, Kay Zon Nway, ketika meliput unjuk rasa di Yangon pada 27 Februari lalu menjadi salah satu bukti bagaimana tentara dan polisi memburu para jurnalis yang sedang meliput. Para jurnalis dan fotografer, yang sudah menjaga jarak dengan polisi dan tentara, langsung kocar-kacir begitu gas air mata ditembakkan ke arah mereka.

Kay Zon Nway sudah tiga pekan berada di jalan-jalan Kota Yangon untuk merekam dan melaporkan protes massal. Meski jaringan Internet tidak stabil, siaran perempuan jurnalis itu masih bisa beredar di media sosial. Namun hari itu Kay gagal menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Saat itu, perangkat perekam suara dan video dari telepon selulernya masih menyala dan menyiarkan langsung detik-detik penangkapannya. Dia kemudian langsung digelandang ke penjara Insein.

Pada hari yang sama, polisi menangkap lima wartawan lain. Mereka adalah Aung Ye Ko dari 7Day; jurnalis Kwaat Media, Hein Pyae Zaw; Thein Zaw; jurnalis lepas Banyar Oo; dan wartawan Myanmar Pressphoto Agency, Ye Myo Khant.

Nilar Khine, pengacara Kay Zon Nway, mengaku tak tahu dakwaan apa yang dipakai polisi untuk menahan para jurnalis. Dari pengalamannya, polisi biasanya menggunakan aturan pidana Pasal 505a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana soal larangan menyebarkan berita palsu dengan ancaman hukuman tiga tahun penjara. Seperti dilaporkan Myanmar Now, keluarga tahanan tak diizinkan menengok mereka di penjara dengan alasan pandemi Covid-19.

Kebebasan pers baru tumbuh di negeri itu. Masyarakat mulai menikmati kebebasan berekspresi ketika junta militer dibubarkan pada Februari 2011. Saat itu juga media-media Myanmar ikut bergeliat mengecap kebebasan pers. Myanmar bersiap melakukan transisi ke negara demokratis menggunakan konstitusi baru yang dibuat pada 2008.

Namun militer rupanya tak benar-benar melepaskan cengkeramannya. Hal ini berdampak pada pembatasan kebebasan berpendapat dan pers. Menurut Pemimpin Redaksi Myanmar Now Swe Win, militer ingin mempertahankan posisinya meski ada rancangan transisi politik menuju negara demokratis. Militer juga tak ingin media, kelompok sipil, dan sistem pelayanan pemerintah berkembang. “Militer tak mau membiarkannya tumbuh hingga bisa menyaingi mereka,” ucap Swe Win dalam wawancara daring dengan Tempo pada akhir Februari lalu.

Myanmar Now, kata Swe Win, kerap diincar militer karena sering menayangkan berita yang membuat para jenderal gerah. Dia pernah diserang sekelompok orang pada Desember 2019. Insiden itu diduga berhubungan dengan laporan medianya yang kerap menyinggung militer. Setelah serangan itu, Swe Win memboyong keluarganya ke Australia demi keamanan mereka.

Kantor Myanmar Now di Yangon kini sudah ditutup. Namun media itu tetap menerjunkan lebih dari 30 jurnalisnya dalam meliput aksi protes. “Awak redaksi bekerja diam-diam. Kami juga membuat rumah aman untuk mereka,” ujar Swe Win.

Setelah kudeta, rezim militer berusaha mengendalikan aliran informasi, siaran media, dan akses publik ke jaringan komunikasi. Pemerintah menerapkan sensor ketat dan memblokir Internet. Intimidasi terhadap jurnalis dan media serta penyensoran isi pemberitaan, menurut laporan Reporter Tanpa Batas, membuat kondisi pers di negeri itu mundur ke periode 10 tahun lalu saat junta militer berkuasa.

Laporan NetBlocks, organisasi pemantau Internet yang berbasis di London, menyebutkan koneksi Internet di Myanmar dimatikan selama 41 malam hingga Sabtu, 27 Maret lalu. Koneksi data telepon juga sudah mati selama 13 hari meski sebagian kecil jaringan kembali beroperasi secara terbatas. Koneksi jaringan nirkabel di tempat umum dibatasi selama 10 hari. Adapun isi media sosial daring sudah disaring sejak Februari lalu.

“Kami tak ada rencana membuka kembali koneksi Internet karena penyebab utama dari protes dengan kekerasan belakangan ini berasal dari semua jenis agitasi online,” kata Zaw Min Tun, juru bicara militer, dalam konferensi pers di Naypyidaw, Selasa, 23 Maret lalu. “Kami menemukan semua hasutan ini berasal dari media sosial dan Internet. Maka kami harus tetap mempertahankan pembatasan ini hingga waktu tertentu.”

Aparat keamanan melakukan penangkapan pada malam hari memanfaatkan pemadaman Internet. Namun sejumlah orang masih dapat menonton siaran televisi independen menggunakan antena parabola berbasis satelit PSI Thailand. Polisi dan tentara kemudian merazia dan menyita antena tersebut di beberapa daerah. “Di Kampung Thidakwin, mereka dengan paksa mengambil parabola dari sebuah rumah dan menahan pemiliknya. Dia dibebaskan tanpa mengalami cedera setelah beberapa jam,” tutur seorang perempuan dari pinggiran Yangon kepada RFA. “Sekarang kami telah menurunkan parabola kami dan tidak dapat menonton saluran televisi lagi.”

“Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius dan seluruh dunia sedang menyaksikannya,” kata aktivis Nickey Diamond dari kelompok pemantau hak asasi Fortify Rights yang berbasis di Asia Tenggara. “Alasan utama penutupan Internet adalah untuk mencegah dunia melihat bukti kekejaman mereka dan kami mengutuk tindakan ini.”

Media-media yang kantornya berada di Myanmar, seperti The Standard Time dan jaringan Eleven Media, sudah tak bisa melaporkan kondisi yang sebenarnya. Para jurnalis media itu berhadapan dengan risiko besar. Mereka bahkan sudah mendapat kisikan tentang daftar nama-nama wartawan yang diincar militer. “Jika nekat memberitakan kebenaran, mereka bakal berakhir di penjara,” ujar seorang jurnalis dari Yangon, seperti dilaporkan Reporter Tanpa Batas.

Laporan yang dirilis Pusat Informasi Jurnalis yang Ditahan, organisasi daring di Facebook yang dikelola para pewarta Myanmar, menyebutkan 44 wartawan telah ditangkap sejak kudeta terjadi. Sekitar separuhnya sudah dibebaskan. Sementara itu, masih ada 20 jurnalis yang dipenjara, termasuk Kay Zon Nway. Sepuluh di antaranya dilaporkan menghadapi dakwaan pidana pasal 505a karena dianggap menyebarkan berita bohong, membuat publik ketakutan, atau mendorong upaya melawan pegawai pemerintah.

Dalam konferensi pers pada Selasa, 23 Maret lalu, juru bicara pemerintah, Zaw Min Tun, mengatakan militer sangat menghargai media. Menurut Zaw, seperti dilaporkan Reuters, pemerintah juga mengizinkan jurnalis melaporkan unjuk rasa, tapi memimpin atau mengarahkan aksi demonstrasi adalah tindakan kriminal.

Aparat keamanan juga menggeledah kantor-kantor media massa. Pada 8 Maret lalu, junta militer mencabut izin penerbitan media milik Mizzima, Democratic Voice of Burma, Myanmar Now, 7Day, dan Khit Thit Media. Sejak 17 Maret lalu, praktis tak ada lagi surat kabar independen di Myanmar. Koran terakhir, The Standard Time (San Taw Chain), tutup setelah delapan tahun beredar. “Koran ini harus berhenti terbit karena kesulitan dalam mendapatkan berita selama periode darurat militer dan kekhawatiran atas keselamatan wartawannya,” kata staf harian itu kepada RFA.

Tekanan terhadap pers dimulai sepuluh hari setelah kudeta. Saat itu, Kementerian Informasi mengeluarkan instruksi-instruksi baru kepada Dewan Pers Myanmar. Mereka meminta media “menegakkan etika” dan berhenti menyebut “Dewan Administrasi Negara” sebagai junta. Dewan bentukan junta militer itu sekarang menjalankan pemerintahan. Junta mengklaim bahwa tindakan mereka sah karena keadaan darurat telah diberlakukan.

Esoknya, Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengancam akan mencabut izin media bila mereka terus menggunakan kata-kata yang tak sesuai dengan keinginannya. Namun sekitar 50 media menyatakan keinginan untuk tetap melaporkan situasi sebagaimana terjadi serta menggambarkan rezim dan tindakannya sesuai dengan yang mereka lihat.

Rezim militer juga menggugat portal berita The Irrawady, salah satu media independen di Myanmar yang didirikan sejumlah jurnalis eksil pada 1993. Gugatan itu menyebutkan The Irrawady “mengabaikan” aparat keamanan ketika melaporkan aksi protes publik yang menentang pemerintah. The Irrawady menjadi media pertama yang digugat pemerintah sejak kudeta terjadi.

Gugatan itu berawal dari video yang ditayangkan pada 20 Februari lalu. Rekaman itu menunjukkan polisi yang meminta uang 13 juta kyat atau sekitar Rp 132 juta kepada keluarga para dokter yang ditangkap karena ikut berunjuk rasa agar mereka bisa dibebaskan. Myanmar Radio and Television (MRTV), media yang dioperasikan militer, merilis keterangan yang menyebutkan laporan The Irrawady itu palsu.

Rekaman video jurnalis Myanmar Now, Kay Zon Nway, saat dikejar polisi Myanmar ketika meliput unjuk rasa di Yangon, Myanamr, 27 Februari 2021. Dokumentasi Myanamr Now/Kay Zon Nway

Jurnalis The Irrawady sejauh ini berhasil lolos dari kejaran polisi dan tentara. Editor media itu, U Ye Ni, mengatakan gugatan tersebut menjadi bukti bahwa militer terus menekan media. Selama ini, The Irrawady sering memberitakan soal demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan operasi militer Myanmar. “Kami tak terkejut atas gugatan itu setelah izin lima media lain dicabut,” tuturnya. “Kami tak percaya sistem peradilan bekerja saat ini karena tak ada peradilan yang independen di bawah otoritas militer.”

Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), dalam pernyataan tertulisnya pada 26 Maret lalu, menyatakan para jurnalis seharusnya berhak meliput dengan bebas dan aman. Tindakan pemerintah Myanmar yang terus menangkap para jurnalis hanya karena mereka melakukan tugasnya dinilai tak menghargai hak pekerja media dan demokrasi. “Pembebasan jurnalis AP, Thein Zaw, adalah perkembangan positif dan IFJ mendesak militer Myanmar membebaskan para wartawan yang masih ditahan,” kata organisasi itu.

Pada Selasa, 23 Maret lalu, juru bicara junta, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, mengumumkan bahwa wartawan yang melanggar larangan menghubungi Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CPRH) akan didakwa dengan Undang-Undang Perhimpunan Tak Sah. CPRH adalah pemerintah bayangan yang berisi para legislator yang terpilih dalam pemilihan umum pada November 2020, tapi ditolak junta dengan alasan kecurangan dalam pemilihan. Komite itu kini diam-diam mendukung gerakan pembangkangan sipil, misalnya dengan menggalang dana dan dukungan lain bagi ribuan pegawai negeri sipil yang ambil bagian dalam gerakan menentang junta.

Human Rights Watch memperingatkan bahwa perintah junta yang melarang wartawan mewawancarai anggota CRPH adalah ancaman bagi aktivis, jurnalis, dan yang lain karena Undang-Undang Perhimpunan Tak Sah yang dibikin pemerintah kolonial Inggris itu “mengkriminalkan hampir semua kontak dengan atau pendukung kelompok tersebut”.

“Undang-Undang Perhimpunan Tak Sah memiliki sejarah yang buruk saat digunakan untuk menuntut aktivis politik dan jurnalis yang melaporkan kelompok oposisi,” ujar Linda Lakhdhir, penasihat hukum Human Rights Watch Asia. “Dengan menjadikan CRPH ilegal, junta Myanmar meningkatkan taruhannya tidak hanya bagi anggotanya, tapi juga bagi siapa pun yang mendukung, menulis, atau bahkan hanya menghubungi kelompok tersebut.”

Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat telah berusaha menekan junta militer dengan menjatuhkan sanksi berupa larangan berbisnis dengan para jenderal yang terlibat kudeta. Namun tekanan itu diabaikan oleh junta. Harapan kini mengarah pada Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Pemimpin Malaysia dan Indonesia telah menyerukan perlunya menggelar pertemuan darurat para pemimpin Asia Tenggara untuk membahas krisis Myanmar. Pada Kamis, 25 Maret lalu, Singapura turut menyerukan hal serupa.

Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan negaranya dan Indonesia, keduanya anggota ASEAN, “sangat tertekan” oleh situasi di Myanmar dan mendukung pertemuan para pemimpin ASEAN. “Baik Indonesia maupun Singapura yakin bahwa tidak boleh ada campur tangan asing. Tapi ASEAN siap membantu dengan cara apa pun yang bisa kami bantu,” kata Balakrishnan dalam jumpa pers seusai pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi di Jakarta.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (ASSOCIATED PRESS, MYANMAR NOW, MYANMAR FRONTIER, BBC, REUTERS, NIKKEI ASIA, RFA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus