Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bara Rasisme di Atlanta

Enam perempuan keturunan Asia tewas dalam penembakan massal di Atlanta. Isu rasisme menyeruak bersamaan dengan meningkatnya kasus serangan terhadap warga Asia.

27 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga Amerika keturunan Asia melakukan aksi mengenang korban penembakan karena perbedaan ras, di Atlanta, Georgia, 21 MAret 2021. Reuters/Shannon Stapleton

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penembakan massal di Atlanta memantik keresahan warga Asia di Amerika.

  • Selain menggelar unjuk rasa memprotes rasisme dan diskriminasi, warga Asia mulai membeli senjata untuk melindungi diri.

  • Kasus kejahatan yang berlatar kebencian terhadap orang Asia dilaporkan meningkat.

SUDAH hampir dua tahun Ilham Munawar Siddiq tinggal di Atlanta, Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat. Dari apartemen yang dia huni bersama dua rekannya dan warga Amerika di kawasan Midtown, mahasiswa pascasarjana Georgia Institute of Technology itu cuma membutuhkan waktu lima menit berkendara menuju Jalan Piedmont, pusat penembakan massal yang diduga berbasis rasisme pada pertengahan Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepanjang jalan itu berisi barisan toko, dari gerai baju, depot perlengkapan rumah, salon kecantikan, panti pijat, hingga penyedia layanan spa. Ilham biasa melewati jalan tersebut ketika berbelanja bahan makanan sehari-hari bersama temannya dengan mobil. “Tempatnya sangat familier karena sering kami lewati,” kata mahasiswa asal Aceh itu kepada Tempo, Kamis, 25 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Selasa sore, 16 Maret lalu, seorang pria bersenjata menyerang dua tempat spa yang berseberangan di sana, Gold Massage Spa dan Aromatherapy Spa. Tiga karyawan Gold Massage Spa, Hyun Jung Grant, Soon Chung Park, dan Suncha Kim, tewas. Seorang terapis di Aromatherapy Spa, Young Ae Yue, juga meninggal.

Serangan itu berlangsung kurang dari satu jam seusai penembakan di panti pijat Young's Asian Massage di Acworth, Cherokee County. Jaraknya sekitar 48 kilometer dari Piedmont. Serangan itu menewaskan pemilik spa, Xiaojie Tan, dan satu karyawan, Daoyou Feng. Paul Andre Michels, yang tengah membuat rak di tempat itu, juga tewas.

Korban tewas lain di Young's Asian Massage adalah Delaina Ashley Yaun. Hari itu, dia datang ke sana bersama suaminya, Mario Gonzalez, untuk dipijat. Gonzalez selamat karena berada di ruangan lain dan bersembunyi begitu mendengar letusan senjata. Elcias R. Hernandez-Ortiz, imigran asal Guatemala yang bekerja sebagai mekanik, juga selamat dan kini menjalani perawatan intensif karena menderita luka tembak di kepala, dada, dan perut.

Dengan bantuan rekaman kamera pengawas, polisi mengidentifikasi pelaku serangan sebagai Robert Aaron Long. Pria 21 tahun asal Woodstock, Georgia, itu dicegat polisi 240 kilometer dari Atlanta. Long mengaku sebagai pelaku penembakan, tapi membantah melakukannya karena rasisme. Serangannya menewaskan delapan orang, enam di antaranya perempuan Asia. Dia didakwa melakukan delapan pembunuhan dan ditahan tanpa ada kemungkinan bebas dengan jaminan di penjara Cherokee County.

Polisi belum menyatakan serangan itu berhubungan dengan rasisme atau sentimen anti-Asia. Namun kasus itu telah memicu gejolak amarah dan kecemasan warga keturunan Asia di Negeri Abang Sam. Pasalnya, serangan terhadap mereka menjadi-jadi, terutama di masa pandemi Covid-19. Seperti dilaporkan Washington Post, pernyataan Donald Trump dulu yang menyebut pandemi ini terjadi akibat virus dari Cina diduga ikut memantik serangan terhadap penduduk keturunan Asia.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengecam serangan di Atlanta dan kekerasan terhadap warga Asia. Dia juga mendesak Kongres agar meloloskan rancangan undang-undang anti-kejahatan akibat kebencian. Rancangan itu diajukan oleh dua anggota parlemen keturunan Asia. "Tak ada tempat untuk kebencian di Amerika. Semua bergantung pada kita untuk menyetopnya," ucap Biden.

Warga keturunan Asia kemudian menggelar aksi protes. Di Washington, DC, sekitar 100 orang berkumpul dan menyalakan lilin di Chinatown pada malam setelah penembakan untuk mengenang korban yang tewas. Ratusan orang juga berkumpul di dekat gedung Georgia State Capitol sambil membawa plakat bertulisan "Stop Kebencian terhadap Warga Asia". Banyak pengendara mobil yang lewat membunyikan klakson sebagai tanda dukungan.

Xiaoxu Zheng, peneliti dari Georgia State University, untuk pertama kalinya turun ke jalan. Seperti dilaporkan Wall Street Journal, Zheng mengaku cemas atas meningkatnya sentimen anti-Asia. Dia sudah bermukim di negeri itu selama 10 tahun dan kini menetap di Atlanta bersama istri serta dua anaknya. "Kami tinggal, bekerja, dan membayar pajak di sini. Hidup kami di sini," tuturnya.

Sejumlah orang Asia bahkan membeli senjata api untuk melindungi diri. Forbes menyebutkan jumlah warga Asia yang membeli senjata meningkat. Jimmy Gong, pemilik toko senjata di New York, mengatakan memiliki senjata api bukanlah tradisi komunitas Asia. "Setelah pandemi dan banyaknya kejahatan karena kebencian terjadi, makin banyak orang Asia membeli senjata untuk berjaga-jaga," ujarnya.

Sejak penembakan massal di Piedmont, Ilham menjadi lebih waspada. Dia baru tiga kali keluar dari huniannya dan menghindari lokasi penyerangan. Dulu dia memang sering mendengar berita penembakan di kota itu, tapi kabar tersebut tidak membuatnya khawatir seperti sekarang.

Atlanta selalu masuk daftar kota paling berbahaya di Amerika karena tingkat kejahatannya yang tinggi. Keadaan makin runyam karena banyak orang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Menurut data Departemen Kepolisian Atlanta, terdapat 157 kasus pembunuhan pada 2020 dan 99 kasus pada 2019. Atlanta juga menjadi salah satu kota dengan aksi protes melawan rasisme, Black Lives Matter, terbanyak sebagai respons atas kekerasan polisi yang menyebabkan George Floyd tewas pada 25 Mei 2020.

Berbagai tindakan, dari ejekan hingga serangan fisik, berbasis kebencian atau rasisme terhadap orang Asia di Amerika meningkat. Hasil analisis tim peneliti California State University di San Bernardino menyimpulkan angka kasus kejahatan semacam itu naik hampir 150 persen pada 2020. Dari 16 kota yang diteliti, seperti dilaporkan NBC, kejahatan terbanyak terjadi di New York dan Los Angeles.  

Laporan yang dirilis forum Stop AAPI Hate pada Selasa, 23 Maret lalu, juga menyebutkan serangan terhadap orang Asia naik sejak pandemi Covid-19. Laporan itu mencatat 3.795 insiden selama 19 Maret 2020-28 Februari 2021. Jumlah ini lebih tinggi daripada laporan tahun lalu, yakni sekitar 2.600 insiden. Forum tersebut berkampanye melawan rasisme terhadap warga keturunan Asia dan asal Asia-Pasifik.

Laporan itu juga menyatakan perempuan Asia paling banyak menjadi korban serangan, yakni 68 persen dari total insiden. Russell Jeung, profesor kajian Asia-Amerika di San Francisco State University, menyebut faktor rasisme dan seksisme, termasuk stereotipe perempuan Asia yang selalu patuh, sebagai faktor serangan. "Orang Asia dan perempuan Asia menjadi sasaran empuk," kata pendiri forum Stop AAPI Hate itu kepada ABC News.

Edward Panjaitan, laki-laki asal Medan yang sudah 20 tahun tinggal di Michigan, kerap dikira berasal dari Cina karena penampilan fisiknya. Ketika berinteraksi dengan warga lokal, dia kerap disebut "orang Cina itu". Edward tak ambil pusing dengan prasangka itu. Dia juga tak mengubah kebiasaannya selepas penembakan massal di Atlanta. "Saya keluar rumah seperti biasa. Masih merasa aman di sini," tutur Edward, yang tinggal di Lansing, ibu kota Michigan.

Bila harus keluar dari apartemen, Ilham kini lebih berhati-hati. Dia memilih berangkat pada pagi hari bersama temannya yang orang Amerika berkulit putih. Dia juga punya pengalaman buruk mengenai rasisme pada akhir 2019. Saat berbelanja di Publix, salah satu supermarket di Atlanta, dia berpapasan dengan perempuan paruh baya berkulit putih yang memanggilnya "muka monyet". Ilham hanya terdiam. "Setelah saya bercerita kepada teman kulit putih, baru saya tahu bahwa ternyata itu hinaan yang sering ditujukan kepada orang kulit hitam,” ucapnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, INDRI MAULIDAR (MICHIGAN) (ASSOCIATED PRESS, BBC, REUTERS, CNN, THE NEW YORK TIMES, FORBES)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus