Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penduduk Selandia Baru kembali dapat menikmati keramaian, seperti konser, di tengah pandemi.
Pemerintah tetap menutup negaranya untuk orang asing.
Menjadi negara dengan respons paling efektif dalam penangananCovid-19.
MALAM itu, Botanic Garden Soundshell, taman kota di Wellington, ibu kota Selandia Baru, bermandikan cahaya. Di sebuah panggung setinggi kepala, OdESSA, grup musik rock and roll negeri itu, memainkan lagunya, “Can’t Take My Hands Off You”, yang membuka Gardens Magic, acara musik tahunan Wellington, pada 12 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan orang berjoget mengikuti irama rancak lagu tersebut. Laki-laki, perempuan, orang dewasa, dan remaja berbaur. Tak ada lagi masker. Tak ada lagi jarak. Semua berpesta di bawah lampu disko yang terus berputar. Gardens Magic, yang berlangsung tiap malam hingga Ahad, 31 Januari lalu, mementaskan sekitar 200 penampil. Acaranya selalu dipadati penonton, yang menyambut musim panas tahun ini dengan ceria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Waitangi Sports Grounds, Waitangi, kota di bagian utara Selandia Baru, sekitar 20 ribu orang menonton konser Six60, grup musik rock yang mulai menggelar turnya di seantero negeri, pada 18 Januari lalu. Acara ini menjadi konser terbesar sejak Selandia Baru menerapkan karantina nasional karena pandemi Covid-19 pada Maret tahun lalu.
Dua pekan lalu, pertandingan kriket di stadion Hagley Oval di Kota Christchurch dipadati penonton. Tiket untuk lima pertandingan berikutnya di stadion berkapasitas 10 ribu orang ini sudah ludes terjual. Museum of New Zealand Te Papa Tongarewa di Wellington pun ramai dikunjungi orang.
Pemandangannya sama: tak ada masker, tak ada jarak, tak ada pembatasan kerumunan. Orang yang berkeliaran di jalan-jalan kota menjadi pemandangan jamak. Kafe dan restoran ramai oleh pengunjung, seakan-akan pandemi tak pernah mampir di negeri itu.
Rona Belcher, warga setempat, menyatakan pemerintah tak lagi mewajibkan orang memakai masker dan menjaga jarak. Namun masyarakat masih memakai masker dalam penerbangan domestik atau ketika merasa membutuhkannya. “Kami harus tahu bagaimana menjaga diri agar tetap aman,” kata perempuan 72 tahun itu kepada Tempo, Selasa, 26 Januari lalu. “Mencuci tangan dan menggunakan penyanitasi tangan adalah hal mendasar untuk perlindungan.”
Denyut nadi kehidupan kembali setelah pemerintah mengunci negaranya selama hampir setahun. Ketika virus Covid-19 menyebar dan banyak negara masih ragu bertindak, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern langsung menutup total negaranya pada pertengahan Maret 2020. Hanya warga negara itu dan orang asing dengan izin khusus yang bisa masuk. Itu pun setelah mereka menjalani isolasi selama 14 hari. Kebijakan itu menghambat laju penularan di negara berpenduduk 5 juta jiwa tersebut.
Selandia Baru hanya memiliki sekitar 2.300 kasus Covid-19 dengan 25 korban meninggal. Jumlah kasus sempat naik pada April 2020. Setelah itu, jumlahnya terus turun dan sejak Mei 2020 hampir tak ada kasus baru. Pada Juni tahun lalu, Ardern mengumumkan status darurat tingkat I, level terendah dari empat tingkat kedaruratan, tapi menaikkannya ketika jumlah kasus mulai naik kembali.
Ardern mengatakan Selandia Baru baru bisa normal sepenuhnya jika kondisi dunia membaik. Negara kecil di Samudra Pasifik itu tetap mengunci pintu masuk ke wilayahnya sepanjang tahun ini sambil memvaksin semua penduduk. “Risiko yang ada di dunia dan ketidakjelasan keberadaan vaksin global berdampak besar pada perbatasan kami tahun ini,” tutur Ardern dalam konferensi pers di Wellington pada Selasa, 26 Januari lalu.
Pemerintah Selandia Baru, seperti dilaporkan Bloomberg, telah memberi lampu hijau terhadap penggunaan vaksin buatan Pfizer-BioNTech. Para pekerja di fasilitas isolasi akan menjadi target vaksinasi pertama. Adapun program vaksinasi massal baru dimulai pada pertengahan tahun nanti. Pemerintah juga masih membahas kebijakan perjalanan terbatas dengan Australia dan negara lain di kawasan Pasifik. Meski demikian, menurut Ardern, membuka Selandia Baru untuk dunia masih terlalu riskan bagi kesehatan dan ekonomi negara tersebut.
Laju penularan Covid-19 di Selandia Baru sudah rendah. Enam kasus baru dilaporkan terjadi di fasilitas isolasi. Namun tidak ada kasus baru di masyarakat setelah pemerintah menggelar 38 ribu tes dalam sepekan terakhir. Menteri Penanggung Jawab Penanganan Covid-19 Chris Hipkins mengungkapkan, masyarakat bisa bebas beraktivitas dengan tetap mengikuti petunjuk kesehatan umum dan menggunakan aplikasi Covid Tracer. “Segera dites jika Anda sakit,” ujar Hipkins seperti dilaporkan New Zealand Herald.
Hingga saat ini, aturan isolasi dua pekan bagi warga Selandia Baru yang pulang dari luar negeri masih berlaku. Selain memiliki surat keterangan negatif Covid-19 dari negara asal, mereka harus membuktikan dirinya sehat dengan dua hasil tes negatif Covid-19 selama masa isolasi. Adapun warga negara asing bisa masuk dengan izin khusus. “Saya mendapat pengecualian karena ada penugasan diplomatik,” ucap Reza Reflusmen, Koordinator Protokol dan Konsuler Kedutaan Besar Republik Indonesia di Wellington, kepada Tempo.
Reza tiba di Auckland pada Agustus tahun lalu. Dia menjalani isolasi mandiri selama dua pekan. Ketika itu, Selandia Baru menurunkan status kedaruratan ke level III. Masyarakat masih diwajibkan mengenakan masker dan dilarang berkerumun. Penduduk tertib menjalankan protokol kesehatan tersebut. “Masyarakat di sini cukup adaptif dengan lockdown,” katanya.
Aplikasi Covid Tracer menjadi andalan untuk menandai dan merekam lokasi yang dikunjungi penduduk. Lewat aplikasi itu, mereka bisa mengetahui status keamanan tempat yang dikunjungi setelah memindai kode respons cepat (QR code) yang banyak ditempel di tempat umum. Jika suatu saat ada orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, pemerintah bisa lebih cepat melacaknya lewat aplikasi. Informasi tentang Covid-19 juga otomatis terkirim melalui sambungan Bluetooth.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, Tonga, Kepulauan Cook, dan Niue, Tantowi Yahya, mengatakan pemerintah Selandia Baru menggaungkan kembali protokol kesehatan ketika kedisiplinan masyarakat mulai kendur. Warga Indonesia di sana juga diminta tetap waspada dan mengikuti protokol itu. Apalagi sempat muncul keresahan setelah terdapat kasus Covid-19 di bagian utara Selandia Baru. “Orang di sini cepat sekali khawatir karena mereka trauma dengan lockdown. Saya rasa sekarang kewaspadaan masyarakat kembali tinggi,” tuturnya.
Respons dan strategi yang dijalankan Selandia Baru, menurut hasil studi lembaga kajian Australia, Lowy Institute, membuat negara itu menjadi yang paling efektif dalam penanganan Covid-19. Para peneliti menganalisis data jumlah kasus, angka kematian, pengetesan Covid-19, dan kinerja 98 negara dalam menanggulangi penyebaran penyakit. Rentang waktu yang dipelajari adalah selama 36 pekan setelah kasus Covid-19 ke-100 terkonfirmasi di negara-negara tersebut.
Di bawah Selandia Baru, Vietnam, Taiwan, dan Thailand dinilai memiliki respons terbaik. Indonesia menempati peringkat ke-85. Adapun Amerika Serikat dipandang memiliki respons terburuk dengan 26 juta kasus dan 443 ribu korban meninggal.
Peneliti Lowy Institute, Herve Lemahieu, mengatakan negara-negara kecil umumnya lebih efektif menangani pandemi. Negara dengan populasi kurang dari 10 juta orang terbukti lebih tangkas dibanding negara besar dalam menghadapi krisis kesehatan. Siprus, Rwanda, Islandia, dan Latvia berada di daftar sepuluh negara dengan respons terbaik.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, TUSSIE AYU RIEKASAPTI (WELLINGTON)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo