Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Seni

Berita Tempo Plus

Saat Cosplay Pindah ke Layar Gawai

Untuk pertama kali, ekshibisi budaya pop dan anime Indo Comic Con digelar secara daring. Para pelaku cosplay beradaptasi dengan kondisi pandemi.

6 Februari 2021 | 00.00 WIB

Anggoro  Dwi Nugroho, salah satu finalis kompetisi cosplay Indonesia Comic Con 2021, dengan kostum Zhongli, karakter dari Genshin Impact. Dok. Pribadii
Perbesar
Anggoro  Dwi Nugroho, salah satu finalis kompetisi cosplay Indonesia Comic Con 2021, dengan kostum Zhongli, karakter dari Genshin Impact. Dok. Pribadii

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

PASTINYA, angan untuk berswafoto dengan sederet tokoh anime dan superhero mesti terempas sementara. Kita juga tak bakal bisa mencolek “Batman” yang tengah asyik memilih barang di rak dagangan pernak-pernik Marvel, seperti saat perhelatan Indo Comic Con (ICC) yang berlangsung di Jakarta pada Oktober 2019. Begitu pula patung gigantis Iron Man yang dua tahun lalu mejeng di pintu masuk Jakarta Convention Center, tempat penyelenggaraan ICC, sudah pasti tak ada penggantinya.

Pandemi nyaris melumat perayaan budaya pop dan anime dalam perhelatan tahunan ini. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, angka pengunjung ICC dalam dua hari ekshibisi bisa mencapai puluhan ribu orang. Acara yang terakhir kali digelar off-air pada 2019 itu kini berpindah tempat di akun YouTube ICC. “Kami tetap menggelar acara Road to ICC secara daring pada 30-31 Januari 2021,” tutur Garry Susanto dari bagian hubungan masyarakat ICC, Selasa, 2 Februari lalu.

Acara ini bertajuk Road to ICC karena rencananya akan ada pergelaran langsungnya pertengahan tahun ini. “Namun tanggalnya belum bisa kami pastikan,” ujar Garry. ICC sendiri berlangsung pertama kali pada 2015. Dalam perhelatan itu, pengunjung bisa berjumpa dengan para pelakon kostum (cosplayer), diskusi soal budaya pop, dan menyambangi ratusan booth dari ragam film, komik, mainan, online game, juga anime.

Selama dua hari, Road to ICC 2021 diisi dengan berbagai acara. Misalnya sesi temu penggemar dengan aktor Jepang pemeran superhero; diskusi bareng artis komik internasional; dan, ini yang terseru, kompetisi cosplay. Total ada sepuluh pemain kostum yang menjadi finalis perlombaan berhadiah duit tersebut. Menurut Garry, kompetisi cosplay adalah salah satu strategi pihaknya untuk mengobati kerinduan penggemar budaya pop akan serunya interaksi dengan karakter idola mereka.

Menonton aksi cosplayer di tayangan daring sebenarnya lumrah adanya. Hal ini menjadi asing karena situasi pandemi sukar mengoptimalkan “tombol bersenang-senang”, yang dalam perhelatan ICC sebelumnya kuat terasa. Kondisi ini disiasati penyelenggara dengan mengombinasikan acara lomba kostum dengan diskusi bersama tiga cosplayer—Echow Eko, Rizky Octavianus, dan pelakon asal Thailand, JasperZ.

Dalam diskusi ini, Rizky menyaru sebagai Hazel, salah satu tokoh dalam serial televisi Amerika Serikat yang diadaptasi dari komik berjudul sama, The Umbrella Academy. Agar menyerupai karakter pembunuh itu, Rizky mengenakan setelan jas biru elektrik. Ia juga sebenarnya sudah bersiap dengan topeng khas Hazel. Namun topeng itu terpaksa terparkir di rak rumah Rizky karena bisa menyulitkannya berkomunikasi di YouTube. “Kalau saya pakai topeng, nanti enggak bisa ngobrol, dong (dalam diskusi),” katanya.

Adapun Echow Eko, yang sudah memenangi sejumlah kejuaraan cosplay, dalam diskusi 30 Januari lalu menjadi crossplayer—memerankan karakter lintas gender. Dia berdandan sebagai Sora, pendekar lelaki berambut jingkrak dalam video game Kingdom Hearts. Adapun JasperZ memoles dirinya menjadi karakter Arknights dengan rambut panjang keperakan yang khas dan wajah imut-imut.

Menurut Rizky, pandemi memaksanya beradaptasi dengan kebiasaan dan cara main baru dalam ber-cosplay. Ini bukan sekadar kemampuan dasar cosplayer seperti kostum, kosmetik, dan gimmick, tapi juga kemampuan mengedit video. Sebab, gara-gara wabah dan pembatasan jarak sosial, banyak acara cosplay yang tadinya akan digelar langsung ditunda pelaksanaannya. Jikapun ada kompetisi kostum, gawe itu berlangsung daring.

Walhasil, para pelakon cosplay tertuntut untuk berinovasi. “Dari yang tadinya on stage menjadi online. Walau ada nilai minus dari penyelenggaraan cosplay secara daring, tapi di sisi lain kami termotivasi untuk mendalami kemampuan mengedit video dan membubuhkan efek suara dan gambar,” ujarnya. Sebab, Rizky melanjutkan, perlombaan kostum di tengah pandemi umumnya meminta peserta untuk mengirimkan video cosplay dengan durasi tertentu. Tak hanya kualitas kostum yang dinilai, tapi juga kreativitas sang pemain dalam membuat plot cerita serta penambahan efek gambar dan suara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus