Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAAT buku Orang-orang Bloomington menapaki benua lain musim semi tahun ini, penulisnya, Budi Darma, masih aktif mengajar di program S-3 sastra Inggris dan sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya. Lelaki 84 tahun itu sesekali menjadi promotor mahasiswa doktoral. Ketika Tempo mewawancarainya pada akhir Januari lalu, dia baru saja rampung menguji mahasiswa doktoral Universitas Negeri Surabaya asal Korea Selatan secara daring alias online. Mahasiswa itu pulang ke negaranya karena kuliah tatap muka ditiadakan akibat pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengetahui karyanya bakal diterbitkan Penguin Classics dan akan diedarkan di Amerika Serikat dan Kanada, Budi mengaku senang. Diwakili Noura Publishing, Budi meneken kontrak dengan Penguin pada 17 Desember 2020. Namun, sehari setelah kontrak disepakati, kantor Penguin tutup untuk libur akhir tahun hingga 4 Januari lalu. Walhasil, penyuntingan baru dimulai setelah itu. Budi menyatakan belum mendapat informasi lebih lanjut tentang kapan bukunya akan resmi dirilis. Terlebih Penguin terkenal teliti dan detail dalam mengedit setiap butir kata sehingga membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikan sebuah buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang-Orang Bloomington
Budi Darma lahir di Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937. Ia kuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus, ia mengajar di Jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya sampai kini menjadi guru besar di sana. Saat kuliah S-2 dan S-3 di Indiana University, Amerika Serikat, pada 1970-an, Budi sangat produktif. Ia tak hanya menggarap Orang-orang Bloomington (1980), tapi juga menciptakan novel Olenka (1983). “Proses disertasi saya cukup lama. Sebab, naskah dari pembimbing satu ke lainnya saat itu dikirim via pos,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 27 Januari lalu.
Selain menulis fiksi, Budi mengulas karya sastra. Kumpulan esainya diterbitkan dalam Solilokui (1983). Dalam menulis, Budi mengaku banyak dipengaruhi oleh sejumlah penulis, seperti Franz Kafka, Anton Chekhov, dan Iwan Simatupang. Ia mencontohkan, Olenka terilhami salah satu karya Chekhov. “Ada tokoh bernama Olenka dalam novel Chekhov. Nama itu saya ambil, lalu saya kembangkan sendiri,” tutur Budi. Ihwal Iwan Simatupang, Budi menilainya hebat, terutama karyanya yang berjudul Merahnya Merah dan Ziarah. “Absurditas Iwan Simatupang sangat menarik.”
Budi menuturkan, saat tinggal di Bloomington, Amerika Serikat, ia suka mengamati kebiasaan warga di sekitar tempat tinggalnya. Sering kali dia juga pelesiran ke kota lain saat libur panjang, tak peduli apa pun musimnya. Kadang ia pergi sendiri, tapi ada kalanya berombongan dengan kawan-kawannya agar bisa patungan membiayai perjalanan. “Saya suka bergaul dengan banyak orang dan jalan-jalan,” ucapnya.
Budi Darma, di rumahnya di Surabaya, Jawa Timur, 2 Februari lalu. Dok. Pribadi
Dari kebiasaannya itu, Budi mencatat peri kehidupan orang-orang Amerika. Amatan lapangan itu Budi ramu dengan plot dan ide dari novel-novel karya pengarang dunia yang ia baca. Apalagi saat itu ia sedang mempelajari sastra dan mereguk banyak bacaan untuk perkuliahannya. Balik dari Amerika, Budi masih sesekali bertamasya, terutama ke negara Asia Tenggara. Dari situ, ia sampai pada kesimpulan bahwa manusia di mana pun pada dasarnya sama: mempunyai rasa takut menjadi tua, juga memiliki ikatan perasaan yang berlangsung lama. Itulah yang kemudian menjadi bekal dasar Budi saat menulis fiksi.
Boleh dibilang absurditas seolah-olah menjadi tema umum tujuh cerita pendek dalam Orang-orang Bloomington. Kisah di dalamnya terasa intim, tapi pada saat yang sama juga mempersoalkan jarak yang jauh dalam hubungan antar-personalnya. Dalam cerita pertama, Lelaki Tua tanpa Nama, narator alias tokoh “aku” membombardir kesenjangan interaksi antarwarga di Bloomington. Ia mewakili keingintahuan pembaca, dan pada saat yang sama kita menjadi sadar akan ke-kepo-an kita terhadap hidup orang lain.
Cerita dalam buku ini juga menyamarkan baik-buruk karakter manusia. Dalam cerita kedua, Joshua Karabish, misalnya, yang menyuguhkan lapisan psikologis narator dalam mengenali diri sendiri melalui sosok kawan sekamarnya. Bahkan si narator pada akhirnya tak lepas dari dilema dan godaan menjadi antagonis dengan menyingkirkan hal-hal logis. Ia mengendus kejahatan dalam diri orang lain, dan pada saat yang sama menyadari keburukan juga menempel padanya.
Budi Darma di acara Makassar International Writers Festival 2017. Dokumentasi penerbit dari the international literary festival Makassar
Penulis dan pengamat sastra asal Surabaya, Muhammad Shoim Anwar, menilai kegagalan beruntun tokoh utama alias “aku” menjadi roh cerita pendek dalam Orang-orang Bloomington. Tak hanya dalam dua cerita pertama, Lelaki Tua tanpa Nama dan Joshua Karabish, hal itu juga ada dalam Keluarga M, Orez, Yorrick, dan lainnya. Kemalangan tokoh utama itu mewujud pada kegagalannya untuk dekat dan berinteraksi dengan orang lain di Bloomington, hingga memicu pergulatan dalam batinnya.
Menurut Shoim, yang meneliti Orang-orang Bloomington untuk tesisnya, tema besar dalam kumpulan cerpen ini sebenarnya universal, yakni kehidupan di kota yang minim interaksi dengan orang lain. Penghuni Kota Bloomington juga digambarkan individualis dan teralienasi dari lingkungan sosialnya. Di titik ini, Shoim menduga penulis, yang berasal dari kota kecil di Jawa Tengah, mengalami kesenjangan kultural saat tinggal di Bloomington.
Namun, Shoim menambahkan, belum tentu sosok “aku” di Orang-orang Bloomington adalah Budi Darma sendiri. “Karena sastra itu tumpang-tindih antara kehidupan pengarang dan sosialnya. Tapi pengalaman hidup di kota besar, ditopang sudut pandang pengarang sebagai pendatang, saya kira itu mengilhami penciptaan cerpen Budi,” ujarnya.
Shoim menganggap tema yang Budi usung itu bisa dinikmati siapa saja. Sebab, kehidupan kota, di mana pun, pada dasarnya sama bila menyangkut urusan interaksi sosial. Terlebih bahasa yang Budi pakai sederhana, jauh dari absurd, sehingga mudah dipahami banyak kalangan. “Tema dalam semua cerpen di Orang-orang Bloomington tak akan lekang oleh waktu,” katanya.
•••
PERJALANAN baru Orang-orang Bloomington bermula pada 2016. Saat itu Tiffany Tsao, dosen di University of Newcastle, Australia, bertandang ke Jakarta untuk mengunjungi rumah ayahnya. Pada momen itu, Tiffany berjumpa dengan buku kumpulan cerita pendek Orang-orang Bloomington karangan Budi Darma yang diterbitkan Noura Publishing. Tiffany membelinya karena teringat pernah mendapati judul buku itu dalam salah satu penelitiannya tentang sastra Indonesia modern. “Ketika mengetahui soal buku itu, saya berpikir harus membacanya suatu hari nanti,” ucapnya melalui surat elektronik, Senin, 1 Februari lalu.
Setelah khatam membaca buku yang ditulis Budi Darma pada 1970-an itu, Tiffany berikrar ingin menerjemahkannya. Ia mengaku tersirap oleh karakter Orang-orang Bloomington yang, menurut dia, seperti berbicara kepada pembacanya. Kisah-kisahnya aneh tapi mempesona. Cara Budi menuturkan kondisi psikologis karakternya pun menarik. Ada karakter yang seolah-olah dibiarkan sendirian dan tak suka bersosialisasi, tapi ternyata kesepian dan merindukan cinta. Ada juga yang semacam tak punya pilihan dalam hidup sehingga melakukan hal-hal di luar kehendaknya.
Olenka
Karakter orang-orang Bloomington yang eksentrik itu menghantui Tiffany. Menurut dia, Budi menggambarkan Bloomington, sebuah kota di Indiana, Amerika Serikat, sebagai lanskap otonom yang impersonal. Orang-orang di sana bisa saja tinggal bersebelahan atau berseberangan jalan, bahkan di rumah atau apartemen yang sama, tapi tak saling mengenal dekat karena ogah mencampuri urusan orang lain. “Semua cerita di buku itu menakjubkan dengan cara yang berbeda,” ujarnya.
Selain mengajar, Tiffany Tsao adalah penulis dan penerjemah. Ia mengarang novel The Majesties, juga menerjemahkan sejumlah karya penulis Indonesia, seperti Paper Boats (Perahu Kertas, Dewi Lestari), The Birdwoman’s Palate (Aruna dan Lidahnya, Laksmi Pamuntjak), dan kumpulan puisi Sergius Seeks Bacchus (Sergius Mencari Bacchus, Norman Erikson Pasaribu). Lahir di Amerika Serikat, Tiffany adalah keturunan Cina-Indonesia. Saat kecil, ia sempat enam tahun tinggal di Indonesia dan delapan tahun di Singapura. Baru ketika remaja ia pindah ke Amerika dan kuliah di sastra Inggris Wellesley College.
Lewat penyair Norman Erikson Pasaribu, Tiffany akhirnya berkenalan dengan Budi Darma. Ia mengajukan lamaran untuk menerjemahkan Orang-orang Bloomington, yang disambut baik oleh Budi. Atas bantuan agen literasi Jacaranda Literary Agency yang menaungi Tiffany, buku itu akhirnya tembus ke penerbit global prestisius Penguin Random House (PRH) tahun lalu, tepatnya di bawah salah satu lini bisnis PRH, Penguin Classics, yang khusus menerbitkan karya sastra klasik dari pengarang masyhur dunia. Buku yang nantinya berjudul People from Bloomington itu direncanakan terbit tahun ini.
Sebelumnya, Orang-orang Bloomington sempat dicetak sejumlah penerbit, seperti Sinar Harapan dan Metafor, hingga akhirnya diterbitkan Noura Publishing, anak perusahaan penerbit Mizan, pada 2015. Penerbit Sinar Harapan dan Metafor kini sudah tutup.
Tiffany menyebut Budi Darma tak merecokinya dalam menerjemahkan Orang-orang Bloomington. Kendati demikian, Tiffany terus berkonsultasi dengan Budi serta membuat sederet daftar pertanyaan dan catatan tentang semua cerita yang membantu proses penerjemahan. Perubahan struktural kadang ia lakukan untuk memperkuat kesan, nada, dan efek yang serupa dengan bahasa yang disampaikan Budi dalam bukunya. Pun dengan gaya menulis Budi, yang banyak memakai kalimat pendek dan padat. “Saya mencoba meniru gaya Pak Budi sedekat mungkin dalam bahasa Inggris,” tuturnya.
Penerbit dan Wakil Presiden Penguin Classics, Elda Rotor, mengatakan pihaknya tertarik menerbitkan Orang-orang Bloomington karena proposal yang diajukan Jayapriya Vasudevan dan Helen Mangham dari Jacaranda diperkaya argumen meyakinkan. Ditambah Tiffany Tsao dapat mengontekstualkan pentingnya pengaruh sastra Budi Darma, juga daya tariknya bagi pembaca baru Penguin Classics.
Solilokui
Rotor menjelaskan, ia sangat tertarik pada analisis Tiffany tentang Budi yang mengalihkan pandangan, yakni giliran Timur memandang Barat. Karya Budi, Rotor menambahkan, mengingatkannya pada buku Shirley Jackson. Terutama cara mereka dalam mengamati karakter dan menggambarkan interaksi. “Saya memikirkan soal ini setelah membaca cerita-cerita tersebut selama pandemi Covid-19,” ucapnya melalui surat elektronik, Kamis, 4 Februari lalu.
Saat ini Noura bekerja sama dengan Jacaranda juga sedang menjajaki penerbit luar negeri yang tertarik pada novel Olenka dan Rafilus—karya lain Budi Darma. Editor Akuisisi Naskah Asing Noura Publishing, Shera Diva Sihbudi, menjelaskan bahwa kontrak Orang-orang Bloomington dengan Penguin ibarat membukakan jalan bagi mereka untuk mengenalkan karya-karya Budi ke penerbit dari berbagai belahan dunia.
Selain itu, jalinan tersebut membuktikan bahwa karya sastra Indonesia mempunyai potensi besar untuk dinikmati pembaca yang lebih luas, termasuk generasi muda. Setelah beredar kabar Orang-orang Bloomington bakal diterbitkan Penguin, Shera menyebutkan permintaan akan buku tersebut membeludak. Kini mereka dalam proses mencetak ulang Orang-orang Bloomington. “Kami sedang menyiapkan penerbitan cetakan ketiga. Sebelumnya, buku ini terjual lebih dari 4.000 eksemplar,” ujarnya, Selasa, 2 Februari lalu.
KUKUH S. WIBOWO, ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo