Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Virus corona diduga bermula dari sebuah pasar basah di Huanan, Wuhan.
Penutupan kota membuat jalanan sepi dan stok makanan tidak menentu.
Indonesia menunggu lampu hijau dari pemerintah Cina untuk mengevakuasi WNI.
KHOIRUL Umam mengagumi kecanggihan lampu merah Cina yang tegak di depan kampusnya, Huazhong University of Science and Technology, di Luoyou Road, Distrik Hongshan, Kota Wuhan, Provinsi Hubei. Ia merekam lampu merah itu dan suasana di sekitarnya pada 10 Desember 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbeda dengan di Indonesia, lampu lalu lintas tersebut tak hanya berwarna merah, hijau, dan kuning, tapi juga menampilkan video wajah orang yang melintas serta sejumlah sudut penyeberangan jalan. Zebra cross ditandai dengan kelap-kelip lampu, tak semata garis-garis putih atau kuning. Suasana di sekitarnya ramai oleh lalu-lalang mobil dan pengendara sepeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umam kini tak lagi bisa menikmati lampu merah itu. Ia hanya bisa membayangkan keadaan tak lagi ramai setelah Pemerintah Provinsi Hubei menutup kota (lock down) dan membatasi kegiatan masyarakat sejak 23 Januari lalu. “Sejak lock down, kami menghindari pusat keramaian,” kata Umam kepada Tempo, Kamis, 30 Januari lalu.
Pemerintah menutup akses masuk ke 14 kota di provinsi itu untuk mencegah meluasnya penyebaran coronavirus. Pengetatan terutama dilakukan di Kota Wuhan, ibu kota Hubei, yang diduga menjadi pemicu awal merebaknya virus. Sampai 31 Januari lalu, jumlah korban yang terinfeksi virus ini di Cina sebanyak 9.692 orang, 213 di antaranya meninggal.
Di luar Cina, orang yang diduga terkena virus ini juga ditemukan antara lain di 16 negara, yaitu Hong Kong, Thailand, Amerika Serikat, Taiwan, Australia, Singapura, Korea Selatan, Malaysia, Jepang, Prancis, Kanada, Vietnam, Nepal, Kamboja, Jerman, dan Uni Emirat Arab. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam konferensi pers pada Kamis, 30 Januari lalu, menyatakan darurat global akibat virus corona. Jumlah orang yang terkonfirmasi terkena virus corona lebih dari 10 ribu, sebagian besar di Cina. Belum ada laporan korban meninggal di luar Negeri Tirai Bambu itu.
Cepatnya penyebaran virus ini mendorong pengetatan pemindaian penumpang di sejumlah bandar udara internasional dunia dan pembatalan atau pemangkasan jadwal penerbangan. Menurut New York Times, British Airways membatalkan semua penerbangan ke dan dari Cina sejak Rabu, 29 Januari lalu. Langkah sama ditempuh maskapai Seoul Air.
Pada Selasa, 28 Januari lalu, United Airlines dan Air Canada mengurangi penerbangan ke Cina dan membatalkan lusinan perjalanan karena penurunan permintaan yang tiba-tiba. Di Hong Kong, pihak berwenang telah mengurangi setengah dari total penerbangannya ke Cina daratan. Layanan kereta api dari Hong Kong ke Cina daratan juga ditutup. Maskapai Hong Kong, Cathay Pacific, pun menangguhkan semua penerbangan ke dan dari Wuhan hingga Maret mendatang.
Sejumlah negara juga berupaya mengevakuasi warga masing-masing dari Wuhan. Menurut New York Times, beberapa negara sudah meminta izin atau mulai mengevakuasi warganya, antara lain Prancis, Korea Selatan, Jepang, Maroko, Jerman, Kazakstan, Inggris, Kanada, Rusia, Belanda, Myanmar, Australia, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Amerika dilaporkan sudah mengevakuasi 201 warganya dari Wuhan. Mereka tiba di California Selatan, Rabu, 29 Januari lalu. Kesehatan mereka, di antaranya diplomat dan pengusaha, diperiksa secara ketat. Semuanya diperkirakan tetap berada di Pangkalan Udara March sampai diperiksa otoritas kesehatan.
•••
KEHEBOHAN ini bermula dari sebuah peristiwa pada 12 Desember 2019. Petugas kesehatan Cina saat itu menyatakan mengidentifikasi kasus pertama virus misterius di Wuhan. Ibu kota dengan populasi 11 juta jiwa ini merupakan pusat transportasi utama Hubei. Jenis baru virus pneumonia itu terlihat dari gejala seperti demam tinggi, batuk, dan kesulitan bernapas.
Pada akhir Desember, otoritas kesehatan Cina mengkonfirmasi bahwa mereka sedang menyelidiki 27 kasus serupa. Sejumlah penderita diketahui pernah datang ke sebuah pasar grosir makanan laut di Wuhan yang juga menjual daging dan satwa liar, seperti anak serigala, landak, musang, buaya, salamander raksasa, serta kelelawar. Untuk mencegah penyebaran virus yang saat itu belum diketahui namanya tersebut, pemerintah menutup Pasar Grosir Makanan Laut Huanan.
Baru pada 7 Januari lalu Cina mengkonfirmasi bahwa virus itu bernama 2019-nCoV, yang jamak dikenal sebagai virus corona. Menurut WHO, virus ini varian baru coronavirus. Sumbernya masih belum diketahui, tapi kemungkinan besar berasal dari hewan. Coronavirus, yang biasanya menyebabkan penyakit pernapasan, merujuk pada keluarga virus yang mencakup penyebab infeksi flu sebelumnya, seperti sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS) dan sindrom pernapasan akut parah (SARS). Antara November 2002 dan Juli 2003, virus SARS telah menginfeksi 8.096 orang dan menewaskan 774 di antaranya.
Kematian pertama karena virus corona terjadi pada 9 Januari lalu. Korbannya pria 61 tahun dari Wuhan. Setelah itu, penyebarannya meluas dan melampaui perbatasan Cina. Pada 13 Januari, ditemukan pasien yang terkonfirmasi terjangkit virus itu di Thailand. Menurut WHO, seperti dilansir ABC, pasien diketahui pernah mengunjungi pasar segar lokal di Wuhan secara teratur sebelum mengalami gejala infeksi pernapasan pada 5 Januari lalu.
Pada 22 Januari, jumlah korban tewas melonjak menjadi 17 orang, hampir dua kali lipat laporan sembilan kematian sebelumnya. Jumlah kasus yang dikonfirmasi positif corona saat itu sudah mencapai 440. Lonjakan mendadak ini membuat rumah sakit di Wuhan berjuang menangani kekurangan pasokan obat dan pasien yang terus datang.
Pemerintah Hubei sudah memperingatkan masyarakat agar tidak melakukan perjalanan keluar atau masuk Wuhan dan menyebutnya sebagai “tahap paling kritis” untuk mengendalikan wabah itu. Pemerintah Hubei juga mulai menyampaikan informasi rencana penutupan kota dan pembatasan beraktivitas di luar kepada publik.
“Pengumumannya masif di WeChat dan penyedia jasa telekomunikasi China Telecom,” ucap Aditya Fahmi Nurwahid, mahasiswa asal Indonesia di Wuhan University, kepada Tempo, Rabu, 29 Januari lalu. Marina Febriana Chariah, mahasiswa asal Indonesia di Hubei Minzu University, mengatakan, “Selain dari media, saya mendapat informasi resmi dari manajemen kampus.”
Kebijakan menutup kota itu mulai diterapkan keesokan harinya. Menurut China Daily, sejak Kamis, 23 Januari, pukul 10.00, semua jadwal transportasi umum, termasuk bus kota, kereta bawah tanah, dan feri, ditangguhkan. Akses keluar di bandara dan stasiun kereta api juga ditutup hingga pemberitahuan lebih lanjut. Semua penerbangan dan perjalanan kereta api yang dijadwalkan berangkat dari Wuhan pun dibatalkan untuk mengurangi risiko penyebaran virus.
Jalan yang sepi di Kota Wuhan, 29 Januari 2020. Instagram/Emilia via REUTERS
Pemerintah provinsi menaikkan level tanggap darurat dari tingkat kedua ke tingkat tertinggi, yaitu pertama. Artinya, kantor pusat pengendalian penyakit provinsi, jika terjadi keadaan darurat kesehatan yang sangat serius, akan melaksanakan tugas tanggap darurat berdasarkan keputusan dan perintah Dewan Negara.
Menurut China Daily, Pemerintah Kota Wuhan juga merekrut 6.000 taksi untuk membantu warga bepergian setelah operasi semua sarana transportasi umum dihentikan. Taksi itu dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terdiri atas tiga-lima kendaraan dan didistribusikan ke masyarakat di bawah pengelolaan komite penduduk lokal. Komite-komite lokal juga yang akan menyediakan layanan seperti pengantaran makanan, sayuran, dan obat-obatan.
Kebijakan penutupan kota ini berdampak pada 11 juta penduduk Wuhan, termasuk warga Indonesia. Menurut data Perhimpunan Pelajar Indonesia Tiongkok, jumlah warga Indonesia berdasarkan pendataan per 30 Januari 2020 sebanyak 245 orang dan 102 di antaranya berstatus mahasiswa. Jalan-jalan di Kota Wuhan menjadi lebih sepi karena warga diimbau menghindari aktivitas di luar ruangan. Kalaupun ke luar rumah, mereka wajib mengenakan masker.
Menurut Fahmi, faktor lain yang juga berkontribusi terhadap sepinya kota ini adalah perayaan tahun baru Cina, Imlek. Mahasiswa di Cina kini masih libur musim dingin sampai Februari. Sebagian penduduk pun pulang kampung untuk merayakan Imlek. “Situasinya seperti Jakarta saat libur Lebaran,” tutur mahasiswa jurusan jurnalisme dan komunikasi itu.
Selain menghentikan operasi angkutan publik, kata Fahmi, sejak 26 Januari lalu, pemerintah membatasi penggunaan alat transportasi pribadi di pusat kota, termasuk sepeda. Yang tak masuk pembatasan ini adalah mobil polisi dan pengangkut logistik. “Truk logistik sayur dan makanan masih setiap hari lalu-lalang untuk memasok kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Menurut Marina, yang tinggal di asrama kampus di Kota Enshi, jalanan di luar kampus sangat sepi. Hanya satu atau dua orang yang tampak di jalan. Toko-toko juga banyak yang tutup, kecuali minimarket dekat kampusnya. “Sejak lock down, situasi di dalam kota sepi karena bus, taksi, dan kendaraan umum lain sudah berhenti beroperasi," ucap Marina, yang asramanya berjarak sekitar 400 kilometer dari pusat penyebaran virus, Kota Wuhan.
Pengumuman penutupan di kota-kota di Provinsi Hubei sempat membuat warga menyerbu supermarket karena khawatir pasokan makanan habis. “Yang paling dikhawatirkan saat ini kehabisan stok makanan,” kata Marina. “Persediaan makanan di sini tak menentu setelah lock down.”
Marina membeli kebutuhan sehari-hari di minimarket di luar kampus, sekitar 70 meter dari gerbang. Ia terakhir kali berbelanja pada 25 Januari lalu, membeli sayur dan bahan masakan lain. Sejak lock down, ada kenaikan harga tapi tidak signifikan. “Naiknya sekitar Rp 4.000,” tuturnya. Sebelumnya, harga minyak goreng 1 liter Rp 40 ribu dan cabai Rp 60 ribu per kilogram.
Fahmi terakhir kali berbelanja pada 28 Januari lalu di supermarket langganannya di dalam kampus. Ia naik sepeda listrik menuju supermarket itu. Kampus yang berdiri pada 1893 itu memiliki sekitar 58 ribu mahasiswa. Ia membeli beras, mi instan, dan makanan dingin. Harganya tidak berubah, kecuali masker. Harga masker naik dari semula 23 yuan atau sekitar Rp 45 ribu menjadi 50 yuan atau Rp 100 ribu per pak. Itu pun stoknya habis.
Fahmi menerangkan, ia dan banyak mahasiswa Indonesia lain belum pernah ke pasar basah Huanan. Kampusnya berada di Distrik Wuchang, 22 kilometer dari pasar Huanan di Distrik Jianghan. “Kalau belanja banyak, biasanya pergi ke pasar besar Wuchang,” ujarnya. “Di sana juga ada masjid. Habis salat Jumat, kami bareng-bareng cari daging halal.”
Warga Indonesia di Wuhan punya kekhawatiran beragam mengenai virus corona. Marina menilai kondisinya bersama sembilan mahasiswa lain baik-baik saja, meski ia khawatir akan pasokan makanan yang tidak menentu. Adapun Khoirul Umam risau akan kemungkinan tertular. Satu mahasiswa asal Pakistan di apartemennya sudah diduga terinfeksi. “Mungkin karena kontak dengan orang lokal,” kata Umam.
Marina menyebutkan ancaman dari stok makanan yang tidak menentu sama berbahayanya dengan kemungkinan tertular virus. “Soal kabar evakuasi, kami pun hanya bisa menunggu dan berharap dapat terwujud.”
Fahmi mengatakan Kedutaan Besar RI di Beijing selalu mengontak dan mengecek keberadaan warga Indonesia di Wuhan. “Saat KBRI mengontak pada 23 Januari lalu, sudah ada opsi evakuasi,” ucap Fahmi. Pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, 27 Januari lalu, menyatakan pemerintah sudah siap melakukan evakuasi, tapi masih menunggu "lampu hijau" dari pemerintah Cina.
ABDUL MANAN, AHMAD FAIZ (JAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo