Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kecintaan pada satwa, terutama orang utan, membuat Ulrike von Mengden tinggal di Taman Margasatwa Ragunan selama 55 tahun.
Ulrike pernah resmi diangkat sebagai kurator senior orang utan.
Cinta Ulrike kepada orang utan tak pernah surut hingga akhir hayatnya.
SEMBILAN puluh sembilan tahun sembilan bulan sembilan hari. Itulah umur yang dicapai Ibu Ulrike Freifrau von Mengden, seorang warga negara Jerman yang lahir di Jerman pada 14 April 1920 dan wafat pada 23 Januari lalu di Jakarta. Selama lebih dari setengah abad, beliau mengabdikan diri untuk nasib orang utan di Taman Margasatwa Ragunan. Beliau tinggal 55 tahun di rumah kecil yang dibangunnya sendiri pada 1965 atas izin temannya yang pada waktu itu Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, dan Sekretariat Kabinet. Di sekeliling rumahnya terdapat kandang orang utan yang menjadi tempat tinggal dan persinggahan untuk lebih dari seratus orang utan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jerman adalah ‘mein Vaterland’, dan Indonesia adalah ‘Mutterland’ saya.” Itu kalimat yang sering diungkapkan Ulrike, yang lebih dikenal dengan nama Ulla. “Mutterland” artinya “ibu pertiwi” dan “Vaterland” berarti “tanah air”. Kalimat ini menggambarkan cintanya kepada Indonesia, juga kepada Jerman. Sampai wafat, beliau tetap menjadi warga negara Jerman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibu Ulla datang dari Kota Bonn di Jerman ke Indonesia pada 1952 mendampingi suaminya, yang bekerja di Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Namun, tidak lama mereka setelah tiba di Indonesia, suaminya mendadak meninggal dan janda muda ini hanya mendapat hiburan dari membantu anak piatu orang utan di kebun binatang yang dirintis Raden Saleh di tanah pelukis itu di Cikini. Ulla bersama temannya, Benjamin Galstaun, seorang Armenia, memilih lokasi baru kebun binatang di Ragunan, yang pada waktu itu adalah perkebunan karet, karena kawasan tersebut adalah tempat tertinggi di Jakarta yang bebas banjir.
Dulu Ulla menjadi perawat pada masa Perang Dunia II. Beliau bercerita kepada saya betapa berat tapi mulia tugasnya mendampingi prajurit yang sudah tidak bisa lagi tertolong sampai mereka meninggal dalam pelukannya. Kasih sayang yang sama beliau berikan kepada banyak anak piatu orang utan setelah suaminya meninggal. Pada 1965, di tengah kerusuhan, beliau bersama Galstaun memindahkan satwa pada tengah malam dari Cikini ke Ragunan di bawah suara ledakan dan tembakan. Obat bius yang digunakan pada waktu itu tinggal bir. Rumah Ulla berada di sebelah rumah Galstaun dan istrinya, Henriette Esche. Rumahnya sudah dibongkar dan sekarang menjadi perpustakaan Ragunan.
“Jerman adalah ‘mein vaterland’, dan Indonesia adalah ‘mutterland’ saya.” Itu kalimat yang sering diungkapkan Ulrike, yang lebih dikenal dengan nama Ulla. “Mutterland” artinya “ibu pertiwi” dan “vaterland” berarti “tanah air”. Kalimat ini menggambarkan cintanya kepada Indonesia, juga kepada Jerman.
Waktu itu, Ulla mendengar ada orang miskin di Nusa Tenggara Timur yang kehilangan istri dan bayinya yang baru lahir hampir mati dengan banyak luka bakar di badan. Tangan dan kakinya tidak bisa bergerak karena kulit sudah menyatu. Ayahnya hendak menempatkan bayi cacat berat ini di hutan agar mati di sana. Ulla mengambil bayi tersebut dan membawanya ke Jakarta serta membiayai berbagai operasi sampai anak yang dinamai Marta itu bisa bergerak seperti seharusnya. Ulla sangat sayang kepada Marta. Tapi, mengingat umurnya yang sudah lanjut dan kepentingan masa depan Marta, Ulla mengatur Marta diadopsi oleh keluarga Jerman yang waktu itu tinggal di Jakarta. Marta kemudian dibawa mereka ke Jerman untuk meneruskan sekolah dan sekarang menjadi warga negara Jerman.
Ibu Ulla punya teman bernama Pauline Schmutzer, yang juga sangat menyayangi binatang. Ibu Schmutzer telah menyumbangkan berbagai fasilitas untuk satwa, seperti orang utan dan harimau, di Ragunan. Sebelum meninggal, Ibu Schmutzer dalam surat wasiatnya meminta kami menggunakan sebagian warisannya yang besar untuk membangun fasilitas bagi gorila yang berasal dari teman baiknya di Inggris, John Aspinall. Permintaan ini terus dikembangkan oleh Ulla serta kami dan kemudian menjadi rancangan awal Pusat Primata Schmutzer, yang berada di tengah Taman Margasatwa Ragunan. Banyak sekali ide Ulla yang masih bisa terdeteksi dalam rancangan fasilitas unik ini, yang dengan izin Gubernur Sutiyoso diberi nama dari keluarga Ibu Schmutzer, dengan standar kesejahteraan yang sangat baik bagi satwa primata.
Ulla tidak hanya peduli terhadap kesejahteraan orang utan di Ragunan. Beliau juga pernah resmi diangkat sebagai kurator senior orang utan. Beliau sangat ketat memeriksa makanan yang diberikan kepada orang utan. Waktu mulai merancang kebun binatang Ragunan, Galstaun dan beliau menanam berbagai jenis pohon buah yang nantinya menjadi sumber makanan yang sehat bagi satwa di Ragunan. Beliau juga membuat kebun untuk produksi sayur segar yang setiap hari bisa diberikan kepada satwa, terutama orang utan, yang sangat disayanginya. Tapi beliau selalu bilang bahwa semua binatang disayanginya, dari kupu-kupu sampai paus. Dan benar, banyak jenis owa, monyet, dan burung yang dibawa sejumlah orang ke Ulla untuk diurus olehnya di samping berbagai anjing yang dipelihara di rumahnya.
Ulla juga menjadi aktivis untuk nasib orang utan. Ketika ada kasus “Taiwan Ten”—sepuluh orang utan yang diselundupkan ke Taiwan dan dikirim kembali ke Indonesia—beliau membantu mahasiswa Universitas Nasional yang menculik bayi orang utan tersebut bersembunyi di dalam salah satu garasi di Ragunan. Beliau juga sering menulis surat protes di Jakarta Post, yang setiap hari dibacanya, untuk mengeluhkan soal perdagangan satwa yang dilindungi atau standar kesejahteraan satwa yang dinilainya kurang. Beliau juga meyakinkan manajemen Ragunan untuk mengirim beberapa orang utan dari koleksi besar mereka ke Kalimantan Timur agar direhabilitasi Yayasan BOS atau Borneo Orangutan Survival yang kami dirikan.
Rumah kecil Ulla dengan teras kecil di depannya dikunjungi bermacam orang. Ada yang hendak melihat orang utan, ada juga yang ingin bertemu dengan Ulla, yang sudah menjadi legenda di dalam dan luar negeri. Profesor Franz Magnis-Suseno menjadi salah satu teman lamanya. Sejumlah tokoh istimewa juga menjadi tamu rutinnya, seperti Presiden B.J. Habibie, Pangeran Bernhard, Willem-Alexander (saat ini menjadi Raja Belanda), John Aspinall, dan ratusan orang penting lain dari mancanegara. Atas kepeduliannya terhadap konservasi orang utan, Ulla mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah Jerman. Bagi tamu asing, kadang kebun binatang Ragunan sudah identik sebagai tempat Ibu Ulla.
Lama-kelamaan makin banyak temannya yang meninggal atau berangkat ke luar negeri. Dan beliau pernah mencoba melihat apakah ada tempat untuk pensiun di Jerman, sebuah tempat bernama Villa Sebilla. Tapi di sana beliau jatuh, mengalami patah kaki, dan sama sekali tidak betah. Selanjutnya, sejak umurnya 94 tahun sampai wafat, beliau tinggal kembali di rumahnya di Ragunan. Setiap hari beliau di kursi rodanya diantar berkeliling dan melihat orang utan yang disayanginya oleh pembantunya yang setia.
Sekarang beliau sudah tidak ada, tapi patung perunggu dengan ukuran asli badannya yang kecil tetap mengabarkan cinta besarnya pada orang utan. Patungnya tidak jauh dari patung teman paling akrabnya, pendiri Ragunan, Benjamin Galstaun. Saya dianggap sebagai anak oleh Ulla dan sampai akhir hidupnya beliau masih mengenal dan menyayangi saya. Selamat jalan, Ulla tercinta. Perjalanan panjangmu sudah berakhir, tapi kenangan tentangmu akan tetap.
WILLIE SMITS, PENDIRI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER DAN PENDIRI YAYASAN BOS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo