Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Menguntit Dua Kopral ke Medan Perang

Film 1917 menyuguhkan sisi lain kecamuk perang. Digarap dengan konsep kamera sekali rekam. Memenangi dua piala Golden Globe 2020.

1 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGEMAS film tentang Perang Dunia I dengan teknik one shot. Ide gila setengah mustahil itu muncul dari Sam Mendes, sutradara asal Inggris. Tak pelak, saat menyodorkan konsep itu ke tim sinematografi yang diketuai Roger Deakins, Mendes sempat dikira bercanda. Mereka berpikir, mana mungkin film epik berlatar medan laga bisa digarap dengan sudut pandang satu kamera saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknik one shot seluruh pengambilan gambar yang (seperti) diambil sekali saja pernah dicoba sutradara lain. Birdman (2014), film terbaik Oscar 2015, misalnya, dikemas sutradara Alejandro González Iñárritu dengan cara tersebut. Betapapun demikian, teknik itu tidak betulan ia terapkan. Adegan Birdman tetap diambil berkali-kali, tapi potongan-potongan itu lalu disatukan sehingga tampak seperti memakai teknik sekali rekam. Salah satu kuncinya ada pada pencahayaan, yakni bagaimana menjaga perubahan tingkat keterangan antaradegan tetap alami.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsep demikianlah yang juga diterapkan Mendes dan Deakins dalam 1917. Ini menjadi pekerjaan mahasulit, mengingat film perang identik dengan tembakan, aksi gelut fisik, bom di sana-sini, juga kerusakan yang meranggas. Namun segala keribetan itu berbuah dua piala Golden Globe: satu untuk Mendes sebagai sutradara terbaik dan satu lagi buat 1917 sebagai film terapik. Visual 1917 memang ciamik. Tempo gerakan kamera yang kadang cepat kadang amat lambat berhasil membangun emosi dan keterikatan penonton dengan dua tokoh utama, William Schofield dan Tom Blake. Bahkan kadang penonton seperti dibuat menahan napas pada detik-detik genting antara hidup dan mati. 

(dari kiri) Dean-Charles Chapman dan George McKay dalam 1917./1917.movie

Schofield (diperankan George MacKay) dan Blake (Dean-Charles Chapman) adalah dua kopral Inggris yang terlibat kecamuk Perang Dunia I. Mereka diutus Jenderal Erinmore (Colin Firth) untuk mencegah pasukan Inggris pimpinan Kolonel MacKenzie (Benedict Cumberbatch) menyerang Jerman. Masalahnya, pasukan MacKenzie sudah berada di garda depan. Mereka yakin bisa berjaya karena mengira pasukan Jerman sudah sekarat. Padahal itu sebenarnya hanya jebakan Jerman untuk mengelabui pasukan Inggris yang kelewat percaya diri. 

Mau tak mau, Blake dan Scho—panggilan Schofield—mesti nekat menerobos wilayah Jerman demi mencegah 1.600 prajurit Inggris tewas sia-sia. Bagi Blake, misi ini sentimental lantaran kakaknya tergabung dalam pasukan MacKenzie, yang bermarkas di 2nd Devons. Tapi tidak bagi Scho. Ia kesal dilibatkan Blake dalam perjalanan penuh marabahaya tersebut. Terlebih Scho bukan tipe prajurit yang peduli terhadap medali dan penghargaan.

Kamera menguntit ke mana pun dua tokoh utama ini pergi, membuat kita merasakan sensasi perjalanan mereka sesuai dengan pergerakan kamera. Kadang kamera merekam dari belakang Blake dan Scho, seperti saat keduanya menyusuri parit sempit di markas Inggris. Dari sudut pandang ini, kita akan ikut kepayahan saat berdesakan dengan para serdadu berwajah kuyu, juga dengan korban perang yang terserak. Namun, pada detik berikutnya, kamera menyelinap ke depan sehingga kita melihat mayat-mayat yang penampakannya membuat bergidik. Kita pun akan berserobok dengan wajah jeri Scho dan menelan kengeriannya saat terperosok ke satu kubangan di kawasan lawan, juga ketika ledakan pesawat menyongsong tiba-tiba.

Dalam adegan lain, kamera menangkap dari jarak agak jauh. Terpampanglah lanskap wilayah musuh di sebelah utara Prancis yang masih harus dilalui Blake dan Scho. Sudut pandang kamera ini menyampaikan tipisnya peluang dua prajurit itu, dan kerdilnya mereka di kandang lawan. Itu sekaligus menjadi salah satu momen yang membuat kita menyadari betapa jenius Mendes dan Deakins dalam membuat semua adegan terhubung. Seolah-olah tak pernah ada cut sama sekali, pengambilan gambar 1917 kenyataannya berlangsung 65 hari. Kepada media Sky News, Mendes bahkan berseloroh sempat kesal terhadap diri sendiri karena membikin film serumit ini. “Entah apa yang sudah saya perbuat pada diri ini,” ujarnya.

1917

Bagaimana kamera tampak terus bergerak tapi tetap stabil dan pengaturan tempo yang pas membuat kengerian perang tersampaikan dengan intens. Teknik one shot ini sekaligus memberikan pengalaman sinematik baru untuk sebuah film perang karena mata—juga tubuh—kita terasa ikut letih. Persis seperti peperangan yang tak mengizinkan prajurit-prajurit yang terlibat mengambil jeda dan hilang waspada. Juga seperti kondisi Scho dan Blake yang empot-empotan dikejar waktu karena nasib ribuan prajurit Inggris berada di tangan mereka. 

Medan yang dilewati Scho dan Blake menyuguhkan kesan betapa durjananya perang. Ladang yang subur dan indah diporak-porandakan tentara Jerman menjadi parit dan bunker persembunyian. Pohon-pohon ditebang, kuda ditembaki, untuk memperdaya lawan. Padang hijau dan langit biru jernih berpilin dengan kubangan lumpur, mayat, dan bau kematian yang menguar di depan hidung Scho dan Blake. Arena pertempuran itu kebanyakan dibangun sungguhan oleh Mendes, mengingat untuk 1917 dia mengklaim tak banyak mengandalkan teknologi computer-generated imagery.

Mendes menyebutkan cerita film ini terilhami oleh kisah kakeknya, Alfred H. Mendes, yang dalam Perang Dunia I juga menjadi pembawa pesan seperti Blake dan Scho. Peristiwa itu adalah bagian dari Operasi Alberich, yang berlangsung pada April 1917. Walau kisahnya sederhana, dramatisasi oleh Mendes, sinematografi Deakins (Blade Runner 2049), dan musik yang impresif dari Thomas Newman, membuat 1917 melambung sebagai salah satu film perang legendaris. Film ini dianggap menandingi Saving Private Ryan (1998), juga Dunkirk (2017), yang sama-sama menjahit ketegangan dengan rapi.

Film 1917 tak hanya bermuatan kisah heroik, tapi juga, seperti film lain Mendes, menggugah imaji kita akan sebuah rumah. Bagi Blake, peperangan hanyalah jalan terakhirnya untuk kembali ke keluarga, dan karena itu ia menjalankan misinya dengan sepenuh hati. Adapun Scho melihat perang sebagai kematian. Ia tak peduli sampai kemudian perjalanan singkatnya dengan Blake mengubah sudut pandangnya.

ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus