Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perlawanan Kabinet Bayangan

Para politikus sipil berkolaborasi dengan kelompok etnis minoritas membentuk Pemerintahan Persatuan Nasional Myanmar. Ancaman baru bagi junta militer.

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah demonstran melalukan aksi mendukung Pemerintah Persatuan Nasional di Dawei, Myanmar 18 April 2021, REUTERS/Dawei Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kelompok penentang junta militer Myanmar mengumumkan kabinet pemerintahan tandingan.

  • Kabinet iti diperkuat tokoh politik partai NLD, perwakilan etnis minoritas, dan aktivis demokrasi.

  • Junta militer langsung merilis surat perintah penangkapan untuk mereka.

GELOMBANG dukungan untuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) datang dari berbagai kota di Myanmar. Di Yangon, penduduk berpawai di jalan-jalan kota menyambut pemerintah sipil yang dibentuk kubu oposisi junta militer itu. Tak menghiraukan ancaman dari tentara Myanmar yang terus memburu para demonstran, mereka membentangkan poster-poster berisi ucapan selamat datang untuk NUG.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan warga Kota Mogaung di Negara Bagian Kacin juga berparade untuk menunjukkan dukungan kepada NUG pada Kamis, 22 April lalu. Mereka membawa bendera etnis Kacin serta spanduk berisi berbagai pesan dukungan untuk kolaborasi NUG dan milisi bersenjata Kacin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para penduduk Kota Ngazun dan Mogok, Mandalay, juga menggelar hal serupa. Puluhan biksu dari Sangha Maha Nayaka di Mandalay bahkan turut berunjuk rasa di jalan dan memberikan suaranya untuk pemerintah sipil yang baru. “Kami mendukung NUG,” demikian bunyi plakat dan poster yang mereka bawa dalam aksinya pada Kamis, 22 April lalu.

Pemerintah Persatuan Nasional kini menjadi ujung tombak perlawanan politik terhadap junta militer, yang melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu. Mereka mengumumkan susunan kabinetnya pada Jumat, 16 April lalu, di pengujung perayaan Thingyan atau tahun baru Myanmar.

Pengunjuk rasa anti pemerintah memegang plakat menunjukkan dukungan mereka terhadap Pemerintah Persatuan Nasional yang didirikan oleh legislator NLD di Yangon, Myanmar, 17 April 2021. REUTERS/Stringer

Kabinet itu berisi anggota Komite Perwakilan Myanmar (CRPH), lembaga bentukan para politikus partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang lolos dari penangkapan setelah kudeta militer, perwakilan etnis minoritas, dan para tokoh penentang kudeta. Kabinet itu memiliki 11 kementerian dengan 26 anggota—delapan di antaranya perempuan—yang berasal dari 13 etnis.

Utusan CRPH untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sa Sa, menyebut pembentukan NUG ini sebagai kebangkitan rakyat Myanmar. “Untuk pertama kalinya dalam sejarah Myanmar memiliki pemerintah yang bersatu,” ujar Sa sa yang juga mengunggah daftar anggota kabinet di akun Twitternya. Dalam kabinet baru itu, dia ditunjuk menjadi menteri kerja sama internasional.

Menurut Sa Sa, pemerintah NUG akan melayani rakyat Myanmar tanpa membeda-bedakan ras, agama, asal komunitas, ataupun gaya hidup. Dia menilai seluruh rakyat berperan besar untuk membebaskan diri dari tekanan junta militer. “Semuanya akan memiliki hak setara sebagai warga negara Myanmar,” ucapnya, seperti dilaporkan The Irrawaddy.

Dalam kabinet pemerintahan sipil itu tercantum nama pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi, dan Presiden Myanmar Win Myint yang ditahan tentara. Suu Kyi ditunjuk sebagai penasihat negara dan Win Myint kembali menjabat presiden pemerintah tandingan ini. Adapun posisi wakil presiden diisi oleh Duwa Lashi La Dia, Ketua Dewan Pertimbangan Nasional Kacin, otoritas tertinggi di Negara Bagian Kacin.

Mahn Win Khaing Than, warga etnis Karen dan bekas ketua parlemen Myanmar, didapuk sebagai perdana menteri. Adapun aktivis prodemokrasi Ei Thinzar Maung ditunjuk sebagai Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan, Pemuda, dan Anak. Berusia 26 tahun, Ei Thinzar Maung menjadi anggota termuda di kabinet ini.

Min Ko Naing, pendiri kelompok aktivis pelajar Generasi 88 yang ikut melawan junta militer lebih dari tiga dekade lalu, meminta warga Myanmar menyambut pemerintah sipil ini sepenuh hati. “Kita akan kembali berhubungan dengan dunia dan bekerja sama,” kata penasihat pemerintah NUG itu seperti dilaporkan Radio Free Asia.

Pembentukan NUG juga mendapat respons positif dari komunitas internasional. Menteri Dalam Negeri dan Imigrasi NUG Lwin Ko Latt menyebutkan sejumlah negara sudah bersiap mengakui pemerintah sipil yang baru. “Termasuk beberapa negara Barat dan negara di jazirah Arab yang dulu mengalami Revolusi Musim Semi,” tuturnya, seperti dilaporkan Myanmar Now.

NUG juga meminta dilibatkan dalam Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk menyelesaikan konflik di Myanmar. Wakil Menteri Luar Negeri NUG Moe Zaw Oo mengatakan ASEAN seharusnya tidak mengakui rezim junta militer. Dalam wawancaranya dengan Voice of America, dia mengatakan bahwa upaya ASEAN turun tangan untuk membantu menyelesaikan masalah di Myanmar akan sia-sia jika tidak membahasnya dengan NUG. “NUG didukung rakyat dan memiliki legitimasi penuh,” ucapnya.

Junta militer tak tinggal diam menghadapi perlawanan NUG. Dalam siaran Televisi dan Radio Myanmar (MRTV), junta menyatakan anggota kabinet NUG telah melakukan pengkhianatan besar terhadap konstitusi karena membentuk organisasi ilegal. Junta, seperti dilaporkan NHK World, menerbitkan surat perintah penangkapan untuk 26 orang yang tergabung di kabinet itu beberapa waktu lalu.

Pakar kajian politik Asia Tenggara, Priyambudi Sulistiyanto, menyebut NUG sebagai struktur baru pemerintahan di Myanmar. Dengan melibatkan kelompok etnis minoritas dalam NUG, konsep pemerintahan Myanmar bisa mengarah ke sistem negara federal demokratis. Lewat NUG pula, keberadaan etnis minoritas lebih diakui dalam kerangka negara kesatuan Myanmar. “Ini menjadi momentum baru untuk memperbaiki Myanmar,” tutur pengajar senior di Flinders University, Adelaide, Australia, itu kepada Tempo pada Rabu, 21 April lalu.

Kudeta dan kembalinya rezim militer ke tampuk kekuasaan sebenarnya ikut membuka pintu kolaborasi NLD dan kelompok politik etnis minoritas. Pembentukan NUG, menurut Priyambudi, membuat kelompok oposisi mendapat keuntungan tambahan, yaitu bergabungnya milisi bersenjata etnis minoritas yang tersebar di sejumlah negara bagian. “NLD tidak bisa bergerak sendirian karena tidak punya tentara,” ujarnya.

Meski sudah berisi perwakilan berbagai etnis, komposisi NUG mendapat kritik dari Komunitas Arakan Rohingya untuk Perdamaian dan Hak Asasi (ARSPH) di kamp pengungsian di Cox's Bazar, Bangladesh. Ketua Komunitas Rohingya Mohib Ullah, seperti dilaporkan Dhaka Tribune, menilai pemerintah baru tak bisa diterima dan bisa sukses tanpa menyertakan perwakilan etnis Rohingya. “Kami berharap warga Rohingya bisa dilibatkan di Pemerintah Nasional Bersatu,” kata Ullah.

Populer di dalam negeri, usaha NUG mencari dukungan dari negara tetangga di Asia Tenggara mendapat ganjalan. Alih-alih mengundang perwakilan NUG, ASEAN justru mengundang pemimpin junta militer mengikuti pertemuan para pemimpin negara Asia Tenggara di Jakarta pada 24 April lalu. “Undangan untuk junta militer itu semakin melukai rakyat Myanmar,” tutur warga Myanmar, Sai Sam, dalam konferensi pers Leaders and Organizers of Community Organisation in Asia (LOCOA) pada Kamis, 22 April lalu.

Sekretaris Jenderal LOCOA Kang Innam mengecam keputusan ASEAN yang mengundang pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing menghadiri pertemuan pemimpin negara Asia Tenggara di Jakarta. ASEAN, menurut Kang Innam, seharusnya bisa satu suara dalam mengecam aksi junta militer dan memutuskan relasi bisnis dengannya. Dia menyebut ASEAN juga perlu mengakui NUG sebagai perwakilan pemerintah Myanmar. “Ini pemerintah sipil yang sesuai,” ujar Kang.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MYANMAR NOW, THE IRRAWADY, REUTERS, BBC, ASSOCIATED PRESS, THE DIPLOMAT)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus