Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ini Bukan Soal Kuat-kuatan

Mukti Fajar Nur Dewata terpilih memimpin Komisi Yudisial ketika pamor lembaga negara pengawas hakim itu sedang merosot. Publik mulai mempertanyakan eksistensi lembaganya dalam proses penegakan hukum. Mukti memiliki setumpuk pekerjaan rumah, di antaranya memperbaiki hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang kurang harmonis. Batas kewenangan pengawasan hakim yang masih beririsan dengan Badan Pengawasan Mahkamah Agung membuat Komisi Yudisial belum bisa optimal menjalankan tugasnya. Sering kali rekomendasi sanksi untuk hakim nakal yang dikeluarkan Komisi Yudisial justru ditolak Mahkamah Agung. Komisi Yudisial sedang mengkaji rencana pengajuan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial untuk memperjelas batas kewenangannya dengan Mahkamah Agung.

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mukti Fajar Nur Dewata, Ketua Komisi Yudisial di fedung Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu 21 April 2021. TEMPO/STR/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mukti Fajar Nur Dewata terpilih sebagai Ketua Komisi Yudisial ketika popularitas dan kinerja lembaga negara pengawas hakim itu sedang merosot.

  • Gebrakan awal Mukti Fajar adalah menerjunkan tim untuk mengawasi sidang dengan terdakwa pentolan FPI Muhammad Rizieq Shihab.

  • Mukti Fajar membentuk tim penghubung untuk menjembatani dan memperbaiki hubungan yang kurang harmonis antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

PERSIDANGAN kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan dengan terdakwa Muhammad Rizieq Syihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Maret lalu, menyedot perhatian Komisi Yudisial. Sikap anggota tim penasihat Rizieq yang dianggap tidak menghormati hakim serta tak menjaga tata tertib persidangan menjadi penyebabnya. "Silakan memperjuangkan hak, tapi harus dilakukan dengan cara yang etis," kata Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata, 52 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Rabu, 21 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisi Yudisial sudah memantau sidang Rizieq sejak dimulai pada 16 Maret lalu. Mukti mengatakan lembaganya mengambil inisiatif mengawasi sidang pemimpin Front Pembela Islam itu karena kasusnya menarik perhatian publik dan memantik perdebatan hukum. Komisi Yudisial pun mengirimkan tim untuk mengawasi perilaku hakim. Hasilnya, hakim dinilai telah berperilaku sesuai dengan kode etik. Adapun pengacara Rizieq yang memicu kegaduhan di ruang sidang dianggap melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan hakim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mukti memimpin Komisi Yudisial ketika pamor lembaga independen pengawas hakim itu sedang merosot. Menurut dia, publik mulai mempertanyakan eksistensi Komisi Yudisial dalam proses penegakan hukum. Tugas Mukti menjadi lebih menantang karena ia mewarisi hubungan yang kurang harmonis antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang dipicu masalah kewenangan pengawasan hakim. "Ini yang kemudian membuat lembaga ini (Komisi Yudisial) tidak efektif bekerja sehingga kurang mendapatkan respons dari masyarakat," ujarnya.

Mukti menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, selepas mengajar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia masih aktif sebagai dosen dan guru besar hukum ekonomi di universitas tersebut. Didampingi juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, Mukti menceritakan peran lembaganya dalam seleksi calon hakim agung serta upayanya mengadvokasi hakim dan memperbaiki hubungan dengan Mahkamah Agung. Komisi juga mengkaji rencana pengajuan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial untuk memperjelas batas kewenangan pengawasan hakim.

Mengapa Komisi Yudisial (KY) turun tangan mengawasi persidangan Rizieq Syihab?

KY adalah lembaga negara yang tugas utamanya menjaga keluhuran martabat dan kehormatan hakim. Tugas ini diimplementasikan dalam bentuk pengawasan hakim dan advokasi hakim. Dalam kasus tersebut, KY tidak membela pihak sana ataupun pihak sini. Tapi KY menjalankan tugasnya secara bersamaan. KY mengambil inisiatif melakukan pengawasan dan pemantauan karena kasus itu menjadi perhatian publik. KY selalu hadir dalam persidangan kasus HRS (Habib Rizieq Syihab) untuk mengawasi hakim dan pihak-pihak yang merendahkan martabat hakim secara obyektif.

Apa catatan Komisi Yudisial dari persidangan itu?

Kami berfokus pada PMKH (perbuatan merendahkan kehormatan hakim). Ini wilayah etik, bukan contempt of court.

Tim pengacara Rizieq Syihab sempat memprotes Komisi Yudisial karena juga mengawasi penasihat hukum. Bagaimana Anda menjelaskannya?

DTN (Dewan Tanfidzi Nasional) 212 sudah meminta klarifikasi kepada KY. Diwakili Pak Haikal Hassan dan Novel Bamukmin, mereka datang bertemu dengan saya, Bu Sukma Violetta (Komisioner Bidang Pengawasan Hakim), dan Pak Binziad Kadafi (Komisioner Bidang Advokasi Dan Hukum). Mereka meminta penjelasan kenapa KY bersikap seperti itu. Kami jelaskan bahwa KY adalah lembaga independen dan bertanggung jawab kepada publik, bukan pemerintah. Kami tidak pernah diintervensi. Tapi, karena mungkin kurang sosialisasi, mereka menganggap KY seolah-olah malah membela hakim, bukan mengawasi hakim.

Apakah Anda menyampaikan kepada perwakilan DTN 212 bahwa tim pengacara Rizieq Syihab memang tidak menghormati hakim?

Kami sampaikan bahwa secara faktual terjadi kegaduhan dalam persidangan. Kami meminta para penasihat hukum, jaksa, semuanya, menghormati peradilan. Silakan memperjuangkan hak, tapi harus dilakukan dengan cara yang etis. Bahkan saya berpesan juga kepada Habib Rizieq melalui DTN 212.

Apa pesan Anda?

Saya bilang, "Sampaikan kepada Pak Habib supaya mengikuti persidangan dengan tertib. Kami pastikan KY datang, baik tampak maupun tidak tampak, mengawasi semuanya." Kami yakinkan itu. Alhamdulillah, dari kabar yang terus kami terima, persidangan makin tenang dan kondusif. Hakimnya kemudian menggelar persidangan offline. Tidak ada rusuh-rusuh lagi. Cukup efektif, lah.

Mengapa Komisi Yudisial perlu melakukan advokasi hakim?

Advokasi hakim masih kurang populer. Ketika saya berkunjung ke pengadilan-pengadilan di daerah, saya sampaikan bahwa KY melindungi dan membantu hakim-hakim yang sudah bekerja dengan baik dan berintegritas tapi mendapat intervensi, diancam, dianiaya, bahkan dizalimi, dihinakan, dan dicemarkan. Saya minta kepada para hakim, silakan menjadi hakim yang benar. Kalau Anda diancam dan sebagainya, silakan lapor KY, kami akan turun.

Berapa banyak hakim yang pernah melapor ke Komisi Yudisial?

Sedikit sekali. Ini yang jadi masalah karena kurang populer. Makanya, ketika kami mengangkat isu ini dalam kasus Habib Rizieq, orang-orang jadi ribut. Kenapa KY enggak mengawasi hakimnya, malah mengawasi penasihat hukumnya? Padahal itu juga tugas kami. Jadi selalu ada dua tim yang turun.

Komisioner Komisi Yudisial periode ini baru terpilih sekitar empat bulan lalu. Apa saja program dan terobosan yang Anda siapkan?

Kami punya jargon "KY SAKTI", yaitu Sinergitas, Akuntabilitas, Kredibilitas, Transparan, dan Integritas. Ini menjadi penting karena kami melihat KY mulai kurang populer, baik dalam kinerjanya maupun pelayanan publik. Kami ingin mengangkat lagi peran KY supaya berkinerja lebih baik, memberikan layanan terbaik kepada masyarakat. KY antara lain akan meningkatkan kerja sama dengan berbagai lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, khususnya Mahkamah Agung yang menjadi partner utama kami.

Apa indikasinya Komisi Yudisial mulai kurang populer?

Ukuran resminya tidak ada. Cuma, pertanyaannya, apakah KY masih eksis dalam proses penegakan hukum? Itu yang banyak ditanyakan oleh teman-teman, misalnya pengacara. Apakah KY masih efektif kalau mendapat laporan? Mungkin memang ada faktor-faktor nonteknis, misalnya dulu ada sejarah panjang hubungan antara KY dan Mahkamah Agung yang kurang harmonis, lebih ke politis. Itu yang kemudian membuat lembaga ini tidak efektif bekerja sehingga kurang mendapat respons dari masyarakat, tidak dimanfaatkan masyarakat secara optimal.

Kasus suap hakim masih mewarnai dunia peradilan di Indonesia. Bagaimana koordinasi pengawasan dengan Mahkamah Agung untuk mencegah hal itu terulang?

Memang ada beberapa problem dalam pengawasan, termasuk tugas pokok dan fungsi yang lain. Dalam pengawasan kadang-kadang belum ada kesepemahaman yang definitif antara KY dan MA tentang KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim) yang masuk wilayah KY atau teknis yudisial yang masuk ranah MA. Kalau Anda baca KEPPH, memang nyerempet. Jika ada aduan, bisa saja seorang komisioner KY menganggapnya masuk KEPPH. Tapi ada komisioner lain yang menganggapnya teknis yudisial. Begitu juga dengan MA. Mereka menganggapnya teknis yudisial. Ini yang kami coba diskusikan lebih lanjut dengan MA.

Bagaimana solusinya?

Kami mulai membentuk tim penghubung untuk menjembatani masa lalu yang kurang harmonis tersebut. Kami sudah sepakat dengan MA untuk bersanding, bukan bertanding. Karena apa pun itu, baik jeleknya MA maupun KY, tergantung hakimnya juga. Kalau hakimnya baik, tentu lembaganya juga menjadi baik.

Siapa anggota tim penghubung itu?

Dari dalam KY dan MA. Belum kami tentukan jumlahnya, tapi ada beberapa komisioner, tenaga ahli, dan staf. Dari MA juga ada beberapa hakim dan staf. Kami juga merumuskan apa saja yang mau diperbaiki dari keretakan masa lalu, termasuk kenapa rekomendasi kami tak pernah dijalankan MA. Jika bisa dengan pemeriksaan bersama, akan lebih enak. Satu kasus diperiksa bareng-bareng, putusannya langsung jadi satu. Tidak usah eyel-eyelan (berdebat) lagi.

Bukankah sudah ada mekanisme pemeriksaan bersama?

Peraturannya sudah ada. Hanya, belum pernah berjalan karena ada percikan-percikan politis yang membuat sulit bekerja sama. Ini saya dorong betul karena saya sangat concern. Kami coba melakukan pemeriksaan bersama atau memperjelas mana wilayah etik dan wilayah teknis yudisial.

Apakah garis batas antara wilayah etik dan teknis yudisial bisa lebih dipertegas?

Kenapa tidak? Ini kan ilmu, sesuatu yang bisa dicari argumentasi secara teorinya. Saya sudah tiga kali berkunjung ke MA. Kami mau bicara baik-baik. Diperjelas saja supaya efektif. Ketika memang teknis yudisial, langsung saja ditangani Bawas (Badan Pengawasan MA). Enggak usah dilempar ke KY. Tapi, kalau memang ada hubungannya dengan KEPPH, oke, lah, diberikan ke KY. Jangan setelah diperiksa KY nanti diperiksa lagi oleh Bawas MA, lalu rekomendasi KY ditolak.

Apa alasan Mahkamah Agung menolak rekomendasi Komisi Yudisial?

Soal itu Anda tanyakan ke MA. Cuma, memang ada rekomendasi KY yang tidak dijalankan MA.

Benarkah Komisi Yudisial tidak dapat berbuat apa-apa jika Mahkamah Agung menolak rekomendasi?

Sejauh ini memang regulasinya begitu, tidak memberikan banyak kewenangan bagi KY. Misalnya, putusan KY hanya bersifat rekomendasi dan bukan final sehingga masih diperlukan mekanisme pemeriksaan bersama KY-MA. Makanya, kami mengkaji rencana mengajukan revisi Undang-Undang Komisi Yudisial.

Apakah kewenangan Komisi Yudisial dalam mengeluarkan rekomendasi sanksi untuk hakim nakal belum cukup kuat?

Ini bukan soal menang-menangan, kuat-kuatan, tapi efektif dan tidaknya kinerja lembaga negara. Kalau putusan di sini harus diputuskan lagi di sana (MA), itu tidak efektif. Masyarakat menunggu. Yang jelas-jelas saja, mana yang kami putus, mana yang diputus MA. Ibaratnya, kalau mengurus kartu tanda penduduk ke kelurahan, kalau mengurus perkawinan ke kantor urusan agama.

Ketua Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi untuk berdiskusi dengan pimpinan KPK, di Jakarta, Kamis, 4 Maret 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Benarkah Komisi Yudisial selama ini segan terhadap Mahkamah Agung?

Saya tidak tahu (komisioner) yang dulu, ya. Kalau saya biasa-biasa saja. Bahkan ketika kami bertemu dengan Ketua MA (Muhammad Syarifuddin) pertama kali, beliau berkata, "Saya yang enam (komisioner) ini sudah kenal. Cuma pak ketuanya yang enggak kenal." Ya, alhamdulillah kalau saya enggak dikenal. Berarti saya tidak punya beban apa pun. Saya menghormati beliau sebagai Ketua MA.

Anda optimistis upaya memperkuat kewenangan Komisi Yudisial bakal berjalan mulus?

Saya bukan orang politik. Saya murni akademikus, besar di kampus. Problemnya adalah bagaimana, kepada siapa, dan kapan menyampaikannya. Itu yang politis dan saya harus berhati-hati. Supaya bisa diterima semua pihak, saya harus berpikir siang-malam tentang cara menyampaikannya. Tapi yang pasti kami transparan, ada datanya, valid, bisa dipertanggungjawabkan. Kami enggak ngawur.

Berkenaan dengan tugas pengawasan hakim, ada tren terpidana korupsi divonis bebas atau hukumannya dikurangi lewat kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Apakah Komisi Yudisial mengevaluasi hal ini?

Kami sedang mengkajinya. Kami mengumpulkan berapa kasus yang kemudian (vonisnya) menurun atau bebas. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Komisi Yudisial berhak menganalisis putusan yang telah inkracht. Tapi tidak untuk mengubah putusan. Itu problemnya.

Mengapa?

Jika koruptornya tetap bebas tapi hakimnya terkena kasus, kira-kira adil atau enggak? Tapi, apa pun itu, doktrin kekuasaan kehakiman harus diterapkan. Kalau putusan hakim dapat dibatalkan atau diubah, bisa kacau dunia. Cuma, masalahnya, bagaimana membentuk hakim yang punya integritas, kapasitas, profesionalitas yang benar-benar bisa memberikan rasa keadilan. Kekuasaan kehakiman seharusnya jangan disalahgunakan.

Komisi Yudisial dianggap sebagai lembaga pengawas penegak hukum yang kinerjanya paling menonjol tapi belum maksimal. Apa kendala dalam mengawasi etik para hakim?

Dengan sumber daya terbatas, KY mengawasi 9.000-an hakim di seluruh Indonesia. Masalahnya kompleks. Salah satunya soal kesejahteraan. Kami melihat hakim-hakim di pelosok ada yang tinggal di kos kecil atau rumah seadanya. Di beberapa daerah, ada pengadilan negeri yang hakimnya empat orang. Satunya melahirkan, satu lagi sakit. Kasusnya bisa ribuan. Coba bayangkan. Bahkan Ketua MA bercerita, "Kami tinggal 45 hakim agung. Ada 6.000-7.000 kasus." Di pengadilan tingkat pertama, hakimnya langsung bertemu (pihak beperkara). Sidangnya lama dan banyak. Bisa saja hakimnya marah-marah, lalu ada pula yang copy-paste putusan.

Apakah praktik menyalin putusan jamak terjadi?

Kalau kasusnya sama, misalnya perceraian, bisa saja (putusannya) hampir sama. Tapi ada kesalahan manusia. Kalau ceritanya beda tapi karena saking capeknya lalu hakim itu copy-paste putusan, ini menjadi problem.

Bagaimana Komisi Yudisial menyikapi fenomena seperti itu?

Ini yang hendak kami laporkan juga ke MA. Jadi ada kasus hakim marah di pengadilan, bahkan kadang memaki terdakwa atau para penggugat dan tergugat, karena mereka kelelahan.

Apakah tingkat kesejahteraan hakim selama ini memang menjadi celah bagi siapa pun untuk mengintervensi hakim?

Orang kerja mencari tiga hal, yaitu pendapatan, karier, dan pride. Kalau mendapat hakim yang benar-benar cari pride, itu luar biasa. Dia tidak mempedulikan karier dan income. Dia akan bangga dengan jabatannya sebagai hakim. Mulia. Tapi kan banyak juga hakim yang masih manusia standar, bukan manusia setengah dewa. Mereka mengejar income dan karier. Kalau kondisinya mereka jauh, “dibuang” ke pelosok, dengan pendapatan pas-pasan untuk biaya hidup, akhirnya kemungkinan tawaran-tawaran akan bisa menjadi peluang untuk munculnya penyimpangan.

Mahkamah Agung membutuhkan tambahan 13 hakim agung. Apakah Komisi Yudisial dapat memenuhi kebutuhan tersebut?

Saya berharap ada lebih dari 13 calon hakim yang lolos seleksi KY. Nanti Dewan Perwakilan Rakyat yang memilih. Jangan sampai kami setornya pas atau di bawahnya. Hasil seleksi 2020, misalnya, kami setor tujuh kandidat, tapi DPR hanya menerima tiga nama.

Sejumlah nama dari 116 kandidat yang lolos seleksi administrasi pernah gagal dalam seleksi tahun sebelumnya. Bagaimana Komisi Yudisial memastikan mereka bisa memenuhi kualifikasi?

Kami memiliki standar tes sendiri. Ada kamus kompetensi yang menjadi patokan seleksi calon hakim agung. Masak, dari 116 calon hakim tidak ada yang kompeten? Kami menelusuri rekam jejaknya. Kami bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, lalu dengan investigator intelijen untuk mendalaminya.


MUKTI FAJAR NUR DEWATA | Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 29 September 1968 | Pendidikan: Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1987-1992); S-2 Hukum Ekonomi dan Teknologi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1997-2001); Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia (2004-2009); Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta | Karier: Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1995-sekarang), Dosen Tidak Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (2003-2007), Dosen Tidak Tetap Magister Manajemen UGM (2012-2016), Partner di Jogja Law Centre (2000-2005), Arbiter Badan Arbitrase Syariah Majelis Ulama Indonesia Yogyakarta (2012-sekarang), Peninjau Hibah Penelitian dan Pengabdian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (2010-2018), Asesor Badan Akreditasi Nasional (2011-sekarang), Staf Ahli Hukum PPUU Dewan Perwakilan Daerah (2016-2018), Anggota Staf Ahli Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2017-sekarang), Ketua Komisi Yudisial (2021-2023)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus