Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bangkitnya Samurai Muda

Jepang mencetak pengusaha-pengusaha muda untuk membangkitkan kewirausahaan. Mengatasi ketertinggalan dari negara lain.

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua puluhan pemuda bercelana jins tampak asyik menyeruput espresso dan memainkan komputer jinjing di sebuah inkubator bisnis di Tokyo, Jepang, Rabu tiga pekan lalu. Tempatnya lebih mirip Silicon Valley—rumah bagi banyak perusahaan teknologi besar serta perusahaan bisnis pemula (start-up) di San Francisco, California, Amerika Serikat—ketimbang di Jepang. Para pemuda itu tidak sedang duduk-duduk santai. Mereka tengah menjalankan rencana ekonomi baru dari pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe di Samurai Startup Island (nama inkubator bisnis itu) untuk membangkitkan kewirausahaan.

"Ini awal dari peremajaan Jepang. Kewirausahaan menjadi kesempatan terakhir Jepang," kata pendiri Euglena Corporation, Mitsuru Izumo, seperti dikutip The New York Times, Rabu dua pekan lalu. Izumo adalah salah seorang pengusaha baru yang sukses di Jepang.

Samurai Startup Island, yang dibangun di Teluk Tokyo, menjadi garda depan bagi generasi baru penemu. Tempat ini menjadi lokasi kelahiran perusahaan bisnis pemula di Tokyo yang terus bertambah. Samurai menawarkan berbagai kemudahan, dari bimbingan, sewa kantor murah, mesin espresso, hingga tempat tidur untuk para pengelana malam. Pemrakarsa Samurai Start­up Island, Kentaro Sakakibara, mengatakan tempat itu asyik untuk mencari inspirasi dan belajar berbisnis.

Izumo adalah salah seorang alumnus Samurai. Ia memulai karier dengan mengembangkan bahan baku biofuel untuk mesin jet. Ia juga mengembangkan minuman kesehatan, dan banyak investor tertarik pada proyeknya. Pada Desember lalu, pencatatan awal Euglena di pasar saham meraup US$ 1 miliar atau sekitar Rp 12,17 triliun. Meski sudah kaya raya, Izumo tak konsumtif. Ia tinggal di apartemen dengan satu kamar tanpa mobil atau televisi. "Kalau mau sukses, kuncinya tidak serakah. Pengusaha muda harus mengubah pola pikir," katanya.

Izumo menjadi pendobrak paceklik pengusaha muda di Jepang. Selama beberapa tahun terakhir, pembibitan kewirausahaan kendur akibat Jepang tidak mampu menghadapi spiral deflasi. Majalah Economics menyebutkan tingkat kewirausahaan di Jepang memprihatinkan. Survei Global Entrepreneurship Monitor pada 2012 terhadap sejumlah perguruan tinggi menempatkan Jepang pada posisi terakhir dari 24 negara maju untuk tingkat aktivitas kewirausahaan. Hanya 6 persen dari responden Jepang mengatakan ada peluang untuk memulai bisnis di negara mereka dan 9 persen responden percaya mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Angkanya terbilang kecil bila dibandingkan dengan hasil survei serupa di Prancis, yang mencapai angka 38 persen dan 36 persen.

Pertumbuhan perusahaan baru di Jepang kurang dari separuh pertumbuhan di Amerika Serikat dan Inggris. Hanya perusahaan kuat seperti Sony, Toyota, dan Honda, yang mampu menyiapkan penerus. Mereka berhasil memperluas industri yang berbasis pengetahuan, seperti peranti lunak.

Jepang kini tertinggal dari negeri tetangganya, Korea Selatan. Lembaga audit dan akuntansi asal Israel, Fahn Kanne & Co, menyebutkan Korea Selatan maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Negeri Ginseng mampu mendahului negara yang eksis lebih dulu, seperti Israel, Finlandia, Swedia, dan Jepang. Lembaga itu mencatat bahwa kemajuan tersebut disokong oleh perusahaan berbasis teknologi, seperti Samsung, LG, dan Hyundai.

Menurut situs berita dan analisis komunikasi nirkabel Fiercewireless.com, Sam­sung merajai penjualan telepon pintar pada pertengahan 2013 dengan pangsa pasar 27 persen, jauh mengungguli Sony yang hanya 2 persen. Bukan hanya di sektor manufaktur, aplikasi percakapan online asal Korea, Kakao Talk, juga memiliki 100 juta pengguna, bersaing dengan Line, yang populer di Negeri Sakura dan memiliki 160 juta pengguna di dunia.

Kondisi ini membuat Shinzo Abe, yang terpilih kembali pada Desember 2012, menyiapkan strategi baru. Ia mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dikenal dengan Abenomic, dengan sasaran antara lain menumbuhkan semangat kewirausahaan, mendorong inovasi, dan membuat Jepang tempat mudah untuk berbisnis. Dia melonggarkan moneter, memberikan stimulus fiskal, dan menekan bank agar menghentikan jaminan pribadi yang memberatkan ketika pengusaha mencari pinjaman. Abe juga memperbaiki kebijakan untuk mempermudah perusahaan mempekerjakan dan memecat karyawan agar perekonomian lebih dinamis.

Pada awal tahun lalu, pemerintah menghidupkan kembali skema subsidi nasional untuk perusahaan bisnis pemula yang dicabut enam tahun sebelumnya. Jumlah dana yang disiapkan mencapai 20 miliar yen atau sekitar Rp 2,2 triliun. Tahun lalu, 77 persen perusahaan yang mengajukan bantuan telah mendapat subsidi. Jumlah perusahaan yang mengajukan dana juga membeludak, dari 15 perusahaan pada April menjadi 2.302 pada Juni tahun lalu.

Beberapa perguruan tinggi top Jepang pun menyiapkan kurikulum khusus untuk mendukung program pencetakan wirausahawan muda. Mereka juga membuat inkubator dan dana ventura sebagai alat pendorong. Perguruan tinggi menggandeng 25 perusahaan untuk mengoptimalkan program yang mereka sebut plaza entrepreneur. Salah satunya Universitas Waseda di Tokyo, yang tahun ini memperkenalkan sebuah program untuk mendukung program pemerintah dan telah menghasilkan lima bisnis baru. "Kalau dilihat angkanya memang kecil, tapi kenyataan ini akan menjadi peluang besar bagi Jepang," kata Shigeo Kagami, profesor ekonomi bisnis yang membantu menjalankan inkubator di University of Tokyo.

Program membangkitkan kewirausahaan sebenarnya telah dimulai pada era Perdana Menteri Junichiro Koizumi satu dekade lalu. Namun, ketika program sudah mulai berjalan, Horie Takafumi, pendiri perusahaan portal dan blog terkemuka Livedoor, membuat skandal pada 2006. Ia dibui dua tahun dalam kasus penipuan sekuritas. Beberapa pengusaha muda juga dipaksa menyerahkan rumahnya karena tidak mampu membayar cicilan utang. Para pengusaha muda mulai ketakutan dan sebagian besar memilih menjadi karyawan dengan risiko kecil.

Namun pelan-pelan perusahaan teknologi dan perusahaan berbasis Internet di Jepang mulai bermunculan dalam dua tahun terakhir. Kebangkitan itu ditunjang oleh munculnya teknologi baru pencetak­an tiga dimensi, yang mempermudah wirausahawan merancang produknya sampai jadi. Perusahaan konsultan tentang perkembangan baru dan tren dalam desain produk, prototipe, dan perkakas, Wholers Associates, memprediksi teknologi baru ini akan tumbuh hampir US$ 11 miliar pada 2021 dari US$ 2 miliar tahun lalu.

Pemerintah juga menargetkan kaum perempuan. Menurut data, perempuan Jepang rata-rata berpendidikan lebih baik daripada laki-laki. Abe berharap perempuan mampu mendobrak ketertinggalan Jepang. "Perempuan adalah aset besar Jepang yang kurang dimanfaatkan. Mereka akan menjadi kekuatan pendorong," kata Hitoshi Masuda, bekas direktur program pemerintah dalam pencetakan wirausa­hawan dan teknologi di Tokyo.

Forum Ekonomi Dunia menyebutkan Jepang menempati urutan ke-101 dari 135 negara untuk tingkat kesenjangan gender. Jumlah pengusaha perempuan di Jepang hanya 4 persen dari total pengusaha nasional. Angka tenaga kerja laki-laki dan perempuan pun masih jomplang. Hanya sekitar 60 persen perempuan yang bekerja, sedangkan laki-laki mencapai 80 persen.

Peran perempuan dalam bisnis mengalami kendala ketika sedang hamil, sehingga Abe akan menyiapkan peraturan agar perusahaan memberikan cuti melahirkan selama tiga tahun, seperti aturan pekerja di Eropa. Undang-undang baru itu akan dipresentasikan di parlemen tahun ini. "Perlu dicatat, ada kesulitan kembali bekerja setelah sekian lama cuti. Kebijakan ini bisa menjadi bumerang," kata Reina Otsuka, 33 tahun, pendiri majalah gaya hidup Eco+Waza, seperti dikutip CNN.

Para pemuda Jepang perlu bekerja keras untuk bersaing dengan pengusaha dari negara lain. Sebab, selama ini mereka terlena oleh kedudukan nyaman di perusahaan-perusahaan besar. "Kenikmatan itu justru menghambat kreativitas," kata Sakaguchi, 39 tahun, yang bekerja dari sebuah kantor kecil di Yokohama, seperti dikutip Reuters.

Eko Ari Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus