Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stasiun kereta api di Ramsis, Kairo, Mesir, sudah dipadati penumpang pada Jumat pagi pekan pertama Desember lalu. Mereka berdesakan di pintu masuk kereta. Semua penumpang harus melewati detektor logam yang dipasang petugas keamanan. Beberapa penumpang mencoba menerobos masuk dari sisi kanan untuk menghindari antrean. Ada yang lolos, tapi beberapa ditangkap petugas.
"Seharusnya tidak pergi ke Alexandria pada hari Jumat, agak mengkhawatirkan," kata Novi, mahasiswa tingkat akhir di Universitas Al-Azhar, Kairo, membuka pembicaraan begitu kereta melaju kencang. "Mereka berdemo setiap Jumat."
Konflik berdarah selama tiga tahun di Mesir, Novi menjelaskan, membuat setiap orang berhati-hati melakukan perjalanan. Kairo dan Alexandria dianggap kota yang paling tidak aman karena kerap diguncang demonstrasi. Unjuk rasa ini kerap berujung bentrok dengan polisi.
"Demo oleh Al-Ikhwan al-Muslimun?" Tempo bertanya. Seketika Novi mengarahkan jari telunjuknya ke mulut. "Sssst.… Jangan pernah sebut nama organisasi itu di tempat umum. Berbahaya," ujarnya. "Sebut saja IM," ia menyarankan.
Novi lalu berdiri berpura-pura mencari sesuatu, kemudian kembali duduk. "Untung tidak ada yang mendengarkan pembicaraan kita."
Para demonstran adalah pendukung Muhammad Mursi, pemenang pemilihan presiden secara demokratis pada Juni 2012 setelah Husni Mubarak dilengserkan. Kini Mursi berstatus tahanan. Al-Ikhwan adalah gerakan persaudaraan muslim yang didirikan Hassan al-Banna pada 1928 dan pernah dilarang di Mesir. Al-Ikhwan menjadi organisasi politik pendukung Mursi pasca-Mubarak jatuh.
Mursi didakwa bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap demonstran yang menentangnya. Pada Desember lalu, dakwaan terhadap Mursi bertambah. Dia dituduh menjadi mata-mata asing, mensponsori terorisme, dan melakukan pelatihan militer. Ia diancam hukuman mati.
Para demonstran bersumpah tidak akan berhenti turun ke jalan hingga Mursi dibebaskan oleh pemerintah militer Mesir. Mereka hanya mengakui Mursi sebagai Presiden Mesir.
Namun tak sedikit warga Mesir yang mendukung pemerintah militer. Sebuah foto besar pemimpin militer Mesir digantung di dinding satu restoran di kawasan bisnis Kota Kairo. "Mesir aman jika militer yang memerintah," kata seorang pemilik hotel di Jalan Mohammed Farid, Kairo, Sabtu pekan pertama Desember lalu.
SEUSAI sembahyang Jumat, jalan raya Kota Alexandria kembali ramai. Beberapa orang berjalan menikmati pemandangan Laut Mediterania. Mereka duduk di tepi pembatas jalan dan laut menikmati angin musim dingin. Beberapa yang lain asyik memancing ikan.
Di pinggir jalan utama Alexandria itu tampak juga grafiti di beberapa tembok yang memuat tulisan menolak kudeta dalam bahasa Arab ataupun Inggris. Tiba-tiba terdengar suara "dug, dug, dug", yang ditimpali teriakan sejumlah pria. Bunyi itu ternyata berasal dari batu yang mereka lempar ke arah sebuah mobil sedan yang melintas di jalan. Pengemudi mobil tancap gas menyelamatkan diri. Orang-orang di pinggir jalan berlari mencari tempat aman. "Itu aksi demo IM. Ayo, pergi," ujar Novi ketakutan.
Para pria itu kemudian masuk barisan demonstran berjumlah sekitar 50 orang. Semuanya laki-laki. Mereka membawa poster besar memuat wajah pemimpin militer Mesir. Mereka melambai-lambaikan bendera organisasinya. Beberapa demonstran berteriak-teriak ke arah jalan sambil membawa poster besar itu dan menunjukkannya kepada setiap pengendara mobil yang melintas di depan mereka.
Biasanya demo di kota terbesar kedua di Mesir itu berlangsung dalam jumlah besar dan kerap bentrok dengan polisi. Namun kali ini yang tampak hanya kerumunan kecil. Lebih dari seribu orang telah tewas dalam demo antara pendukung Mursi dan aparat keamanan hingga Desember 2013. Kebanyakan korban tewas di Kairo dan Alexandria.
Saat para demonstran menyusuri jalan utama Alexandria, Citadel of Qaitbay—benteng pertahanan Mesir yang dibangun pada abad ke-15 menghadap Laut Mediterania di kawasan itu—dipenuhi wisatawan lokal. Mereka menikmati indahnya warisan sejarah Mesir itu hingga matahari meredup.
Emad, pemilik toko suvenir di Horizon Pyramid Hotel di Jalan Al-Ahram, Kairo, menuturkan warga Mesir sudah lelah dengan konflik berkepanjangan. Konflik itu membuat penduduk Mesir terbelah antara pendukung pemerintah dan Mursi. Emad bahkan enggan menyebut nama Al-Ikhwan saat menjelaskan perpecahan itu. "Hati-hati saat berbicara di luar, ya," katanya setengah berbisik.
Terbelahnya warga Mesir berdampak pula pada pendatang asing. Mereka kerap mencurigai orang asing. Menurut jurnalis senior Al-Ahram, Ahmed Mahmoud, sikap curiga muncul setelah media-media di Mesir memberitakan soal mata-mata asing. "Ini membuat penduduk Mesir sangat berhati-hati terhadap orang asing dan kegiatannya di sini," ucap Mahmoud kepada Tempo.
Di subway El-Marg, Kairo, ratusan orang bergegas mengejar kereta. Gerbong dipisahkan antara pria dan perempuan. Seorang pria menarik tas tangan Tempo. "Anda dilarang ambil foto di sini," ujarnya dalam bahasa Arab.
Di sekitar subway, tak ada pemberitahuan larangan memotret, tapi pemuda itu berkeras melarang. "Saya akan lapor ke polisi agar Anda ditangkap atau benda itu (kamera) akan saya buang ke rel ini," katanya mengancam. Ia kemudian bergegas pergi ketika pintu kereta terbuka. Para penumpang lain memilih diam.
Sikap curiga kembali terjadi di alun-alun taman Tahrir, Kairo, yang dipenuhi pedagang kaki lima pada Kamis awal Desember lalu. Mereka menunjukkan wajah tak senang kepada pembeli asing. "Hei, jangan foto-foto," ujar seorang perempuan penjual makanan khas Mesir.
Menurut Agus, mahasiswa Al-Azhar asal Indonesia, warga Mesir akhir-akhir ini mudah marah akibat konflik berkepanjangan yang membuat perekonomian semakin sulit. "Situasinya serba sulit dan hidup semakin berat," kata Agus.
Pemerintah Mesir menuding biang keroknya adalah media asing yang memberitakan fakta secara berlebihan dan bias. Pekan lalu pemerintah memerintahkan penangkapan lima awak Al-Jazeera yang dianggap sudah berlebihan menyudutkan penguasa militer. Kelimanya ditangkap polisi pada Senin pekan lalu. Masa penahanan mereka pun diperpanjang hingga 15 hari ke depan.
Jaksa Mesir mendakwa kelima awak Al-Jazeera sebagai anggota kelompok teroris. Berita mereka dianggap telah merugikan kepentingan nasional Mesir dan menghancurkan perdamaian di negara itu. Penangkapan lima awak media yang berkantor di Qatar itu dilakukan setelah pemerintah mengumumkan Al-Ikhwan sebagai organisasi teroris terlarang di Mesir.
Aparat juga menangkap sejumlah mahasiswa Al-Azhar yang dianggap pendukung Al-Ikhwan dalam sepekan terakhir. Tiga mahasiswa tewas saat bentrok dengan polisi awal Desember lalu. Para mahasiswa pendukung Mursi juga dikenai sanksi tidak boleh mengikuti ujian.
"Setiap hari di kampus pasti terjadi tembakan gas air mata," ucap Salma Kassem kepada Al-Ahram online. Salma adalah mahasiswa program perdagangan yang memboikot ujian sebagai bentuk solidaritas terhadap mahasiswa yang ditangkap polisi.
Emad juga menyesalkan media asing yang berlebihan memberitakan konflik di Mesir. "Apakah Anda diganggu saat berjalan di sini? Anda bebas berjalan di mana saja dan aman kembali ke hotel, kan?" ujarnya.
Gara-gara pemberitaan media asing tentang konflik di Mesir, Emad mengeluh barang dagangannya teronggok berbulan-bulan di toko karena tidak ada yang membeli. Debu menutupi barang-barang suvenir yang dipajang di toko yang bersebelahan dengan hotel itu. "Turis asing takut berkunjung ke Mesir."
Negara yang menggantungkan perekonomiannya pada pariwisata itu kini kehilangan sumber pendapatan terbesarnya karena jumlah turis asing yang anjlok akibat konflik berkepanjangan. Mesir menjadi momok bagi para pendatang asing.
Warganya juga tak lagi leluasa berbicara politik di ruang publik. Semua dilakukan dengan berbisik.
Maria Rita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo