Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM tersungging di bibir Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965-1966 Bedjo Untung. Jarinya dengan cekatan membolak-balik sebundel kertas setebal 36 halaman. Pada bagian akhir bundel itu, dia menemukan apa yang dicarinya: paragraf yang berisi putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan uji materi Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat G-30-S/Partai Komunis Indonesia golongan C. Putusan MA tersebut tertanggal 2 Desember 2013.
Dengan sumringah dia menunjuk butir ketiga dalam paragraf itu, yang menyatakan keputusan presiden tersebut bertentangan dengan lima undang-undang, termasuk Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Ratifikasi Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik. "Putusan ini bisa dikatakan sebuah kemenangan," ujar pria 65 tahun ini kepada Tempo dua pekan lalu.
Keppres Nomor 28 Tahun 1975 merupakan bagian dari sekitar 30 peraturan perundang-undangan yang mendiskriminasi korban peristiwa 30 September. Keppres ini mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 13/Kogam/7/1966, yang membagi tahanan politik menjadi tiga golongan: A, B, dan C. Golongan A adalah mereka yang dianggap terlibat langsung dalam peristiwa yang disebut sebagai pemberontakan PKI itu. Golongan B untuk mereka yang menjadi anggota PKI ataupun organisasi yang selaras dengan partai komunis terbesar di Asia itu. Adapun golongan C adalah mereka yang menjadi simpatisan atau memiliki kesamaan pikiran dengan PKI.
Sementara tahanan politik golongan A diajukan ke pengadilan dan sebagian besar dibunuh, tahanan golongan B dan C mengalami nasib tak menentu. Mereka ditahan—dengan siksaan—tanpa putusan pengadilan. "Golongan B itu biasanya dibuang ke Pulau Buru dan tempat pengasingan lainnya," ujar Mujayin, mantan wartawan mingguan Sport, yang pernah mendekam di Pulau Buru sejak 1970 hingga 1979, kepada Tempo.
Pria yang kini aktif di Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-Korb) ini mengatakan keppres tersebut dibuat sebelum proses pelepasan tahanan politik pada 1977. Saat itu, kata Mujayin, Soeharto tak ingin anggota pegawai negeri yang dinilai terlibat peristiwa G-30-S menduduki kembali jabatan pemerintahan. "Maka dibuatlah aturan itu."
Dalam keppres ini, golongan C dibagi lagi menjadi tiga: C1, C2, dan C3. C1 adalah mereka yang pernah terlibat dalam peristiwa Madiun pada 1948. Golongan C2 untuk mereka yang menjadi anggota bekas organisasi kemasyarakatan yang seasas dengan PKI. Adapun golongan C3 mencakup mereka yang bersimpati kepada PKI tapi tidak jelas perannya dalam peristiwa September 1965.
Setelah dilepaskan, pegawai negeri yang termasuk golongan C1 diberhentikan dengan tidak hormat. Adapun mereka yang masuk golongan C2 dan C3, diatur pemberhentiannya lewat Surat Edaran Nomor 12/ SE/1975, Keputusan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Nomor Kep.03/KOPKAM/VIII/1975, dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya yang ujung-ujungnya adalah pemecatan. Tindakan ini berakibat ratusan ribu pegawai negeri yang dicap sebagai "PKI golongan C" tak dapat menikmati hak pensiun. "Kalau dihitung secara keseluruhan, mungkin pensiun yang harus dibayar pemerintah mencapai triliunan rupiah," kata Bedjo Untung.
Pemberian hukuman berupa pemecatan inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya. Menurut MA, keppres ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin persamaan hak untuk diadili di hadapan hukum. Selain itu, keppres ini dianggap melanggar Undang-Undang Pokok Kepegawaian, yang intinya menyatakan bahwa pemberhentian pegawai negeri yang dituding terlibat pidana harus melalui putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. "Karena itu, pemecatan yang berdasarkan keppres ini dinyatakan tak memiliki dasar hukum yang kuat," ujar Bedjo. Meskipun demikian, bapak tiga anak itu mewanti-wanti rekan-rekannya agar tidak terlampau gembira menyambut putusan MA.
Memang, kendati menyatakan keppres itu bertentangan sekaligus melanggar sejumlah undang-undang, MA tak otomatis mencabutnya. Mahkamah memerintahkan Presiden segera mencabut. Kapan Presiden mesti mencabut, MA tak mengaturnya, juga tak memberi batas waktu.
Menyangkut rehabilitasi yang dituntut, mereka yang masuk golongan C juga mesti gigit jari. Dalam putusan itu, MA menolak permintaan mereka agar memerintahkan Presiden mengeluarkan keppres tentang rehabilitasi golongan C. MA beralasan hal semacam itu tidak masuk kewenangan hak uji material. "Jadi masih banyak pekerjaan rumah yang harus kami lakukan," kata Bedjo.
Koordinator Eksekutif Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Haris Azhar, yang menjadi pengacara Bedjo dan kawan-kawan dalam gugatan ini, juga menyesalkan putusan MA yang dianggapnya "mengambang" tersebut. Dengan putusan seperti ini, Haris menganggap MA mengembalikan pencabutan keppres ini kepada kemauan politik Presiden. Haris ragu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersedia mencabut keppres ini dalam sisa masa jabatannya yang kurang dari setahun. "Apalagi selama ini janji Presiden untuk menuntaskan kasus 1965 tidak pernah terlihat realisasinya," katanya.
Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Keppres Nomor 28 Tahun 1975 melanggar sejumlah undang-undang tersebut merupakan buah perjuangan Bedjo dan kawan-kawan sejak awal reformasi. Perjuangan ini bermula ketika pada 1999 mantan tahanan politik seperti sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan mantan Sekjen Gerwani Sulami Djoyoprawiro membentuk "YPKP 65", yang kini diketuai Bedjo. Lembaga lain, seperti LPR-Korb, juga bermunculan. Meskipun sudah mulai berdiri, organisasi-organisasi itu tak bisa langsung bergerak ke jalur politik untuk memperjuangkan nasib anggotanya. "Kami takut dikira ingin membangkitkan PKI," ujar Bedjo.
Pada awal berdiri, YPKP 65 lebih banyak bergerak mengorganisasi mantan tahanan politik yang tersebar di seluruh Indonesia. Hasilnya saat ini YPKP memiliki cabang di sekitar 200 kabupaten-kota. "Tiap cabang anggotanya sekitar 200 orang," ujar pria yang aktif di Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia pada 1960-an itu.
Pada awal 2000, Bedjo dan kawan-kawan mulai bergerak melalui jalur politik. Didukung Partai Kebangkitan Bangsa dan PDI Perjuangan, mereka akhirnya berhasil meminta Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas), yang merupakan perubahan wujud dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Selain itu, mereka berhasil mendesak Gus Dur mencabut Keputusan Presiden tentang Penelitian Khusus Pegawai Negeri.
Namun permasalahan rehabilitasi dan pemulihan hak-hak korban salah tangkap ini tak pernah benar-benar terurus. Pergantian presiden dari Gus Dur ke Megawati tak membuat nasib mereka lebih baik. Padahal pada 2003 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung, dan DPR sudah memberi rekomendasi agar Presiden melakukan rehabilitasi kepada mereka. Keputusan Komnas itu juga yang membuat sebagian korban 1965 mencoba mengurus status kepegawaian dan uang pensiunnya ke Badan Kepegawaian Negara. Tapi upaya itu tak berhasil karena Badan Kepegawaian menyatakan tak bisa memberikan uang pensiun karena masih adanya "Keppres 28". "Mereka menyarankan supaya kami mengajukan uji materi keppres itu," ujar Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Putri Kanesia.
Pada 4 Agustus 2011, uji materi akhirnya dilayangkan. Setahun lalu mereka mendapat kabar bahwa gugatan yang diajukan bersama sejumlah korban salah tangkap peristiwa 30 September 1965 itu sudah diputus oleh MA. Namun, ditunggu-tunggu, putusan itu tak kunjung mereka terima.
Karena itulah, dalam setahun terakhir ini, puluhan "korban Keppres 28"—termasuk Bedjo—beberapa kali mendatangi Mahkamah Agung untuk menanyakan perihal putusan yang sudah diketuk MA itu. Bedjo menuding MA sengaja menunda-nunda memberikan salinan putusan. Menurut Bedjo, saat itu Mahkamah tak memberi jawaban yang jelas. "Mereka beralasan putusan itu masih dalam proses pengetikan," ujarnya.
Pada akhir November lalu, Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Ashadi menggelar pertemuan dengan Bedjo dan kawan-kawan. Ashadi menyatakan pihaknya sudah memutuskan perkara ini pada 8 Agustus 2012. Namun pembuatan salinan putusan terhambat karena, pada 18 April 2013, panitera pengganti Khairuddin Nasution meninggal. Alhasil, ketikan putusan yang sudah siap tak bisa dibuka karena kata kunci untuk membuka komputer sang panitera tak diketahui. Selain itu, ketua majelis hakim yang memutus perkara ini, Paulus E. Lotulung, meninggal empat bulan kemudian.
Mahkamah Agung akhirnya baru mengeluarkan putusan ini pada 2 Desember lalu. Ditandatangani Ketua Mahkamah Agung M. Hatta Ali, dua hari kemudian diterima Bedjo. Itu pun setelah Bedjo meminta pertolongan dari anggota DPR Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eva Kusuma Sundari. "Setelah Ibu Eva mengirim surat ke Mahkamah Agung, baru putusan itu bisa keluar," ujar Bedjo.
Setelah putusan ini keluar, Bedjo dan kawan-kawan pernah juga mengadakan pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Di hadapan mereka, anggota Wantimpres, Albert Hasibuan, berjanji menyampaikan masalah ini kepada Presiden Yudhoyono. Bedjo mengaku tak tahu apakah Albert telah melaksanakan janjinya. "Yang pasti, hingga hari ini Presiden tak melakukan sesuatu."
Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengaku belum menerima salinan putusan MA itu. Dia juga mengatakan Presiden belum mendapat laporan atau rekomendasi dari Menteri Hukum dan HAM. "Yang saya ketahui belum. Biasanya ada rekomendasi dari menterinya. Kita tunggu itu dulu," ujarnya kepada wartawan Tempo Prihandoko.
Julian bisa jadi benar putusan itu masih di kantor Kementerian Hukum. Wakil Menteri Hukum Denny Indrayana menyatakan pihaknya masih memerlukan waktu untuk mempelajari putusan tersebut sebelum memberikan rekomendasi kepada Presiden. "Kami masih membaca dan mempelajari putusannya," kata Denny.
Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo