Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRISHA Hollingworth begitu terkejut. Air yang keruh sudah menyentuh sebagian anak tangga di depan rumahnya di pinggiran Rockhampton. Dia memang sudah diberi tahu bahwa air akan menyerbu. Tapi dia tidak membayangkan secepat itu. Beberapa sentimeter lagi, air sudah menyentuh pintu rumah.
Kapal kecil yang biasa buat memancing kini menjadi alat transportasi utama. ”Jalanan sudah menjadi bagian dari sungai, seperti tinggal di tengah lautan,” kata Hollingworth, awal pekan lalu. Kalaupun memaksakan diri berjalan, air setinggi leher. Selain itu, ”Arusnya sangat deras dan akan menyeret kita,” ia menambahkan. Ia dan suaminya memutuskan sementara tinggal di karavan di pusat kota.
Rockhampton, kota yang berada sekitar 370 mil dari Brisbane, dekat dengan pantai dan tak jauh dari Fitzroy, salah satu sungai terbesar di Australia. Kota berpenduduk sekitar 77 ribu orang ini merupakan salah satu dari 22 kota yang mengalami banjir bandang yang sangat parah. Ketinggian air di Fitzroy mencapai 9,2 meter. Padahal normalnya sekitar 4,05 meter.
”Rockhampton menjadi sebuah pulau,” kata Wali Kota Brad Carter. Barang tak lagi digubris. Tetangga Hollingworth, Lee Carol, menyatakan telah mencoba menyelamatkan beberapa benda dan peliharaan dengan menaruh di tempat tinggi sebelum pergi mengungsi. ”Saya menaruh ayam dan kalkun di atap rumah, serta burung di meja dapur. Tapi saya akan kehilangan yang lainnya,” katanya.
Sebenarnya Carol ingin bertahan di rumahnya. Tapi serbuan ular-ular ke permukiman membuatnya takut. ”Saya menembak 17 ekor dalam sehari,” ucapnya. ”Mereka keluar dari air mencari tanah yang kering, tapi mereka bisa membunuh kita secepat banjir merenggut kita.”
Warga lain, Shane Muirhead, juga bicara serupa. ”Sepertinya setiap seratus yard (sekitar 92 meter), kita akan melihat ular. Mereka di mana-mana.”
Hollingworth, Lee Carol, dan Shane Muirhead hanya bagian kecil dari sekitar 200 ribu warga Queensland yang terpaksa mengungsi akibat air bah yang merendam rumah mereka. Meski banjir kali ini bukan yang pertama, banjir yang mulai melanda menjelang pergantian tahun ini merupakan yang terbesar dalam setengah abad terakhir di Australia. Hingga tengah pekan lalu, 10 orang tewas akibat banjir ini. Banjir yang diperkirakan berlangsung beberapa waktu ini menggenangi kawasan seluas lebih dari Prancis dan Jerman, atau sekitar separuh wilayah Queensland.
Hingga Kamis pekan lalu, air belum surut di jalan dan permukiman. Prakiraan akan terus berkucurnya air dari langit membuat harapan banjir segera mengering tak akan terwujud. Ahli meteorologi Bryan Rolstone mengatakan hujan akan terus turun di kawasan Wide Bay-Burnett, dan akan kembali berdampak ke Rockhampton serta Bundaberg yang sudah parah. Padahal sebagian kecil warga sebenarnya sudah kembali ke rumah untuk berbenah karena sudah ada sebagian yang mengering.
Kekhawatiran juga muncul terhadap kawasan barat laut Queensland, seperti St George, yang harus bersiap menerima limpahan air dari Sungai Balonne, yang diperkirakan memuncak akhir pekan lalu atau awal pekan ini. Warga sekitar telah membuat bendungan dengan puluhan ribu karung pasir untuk mencegah meluasnya air ke permukiman.
Pejabat Asisten Direktur Jenderal Manajemen Darurat Queensland Warren Bridson mengatakan iklim atau cuaca basah belum akan segera berakhir. ”Kita masih memiliki tiga bulan ke depan, jadi kita harus siap menghadapi yang lebih dari yang sekarang ini.”
Koordinator penanganan bencana Queensland, Ian Stewart, menyatakan prakiraan tersebut sangat mengkhawatirkan. ”Kami sangat memperhatikan pola hujan dengan hati-hati sekali,” katanya.
Sejak banjir melanda, sekitar 1.200 rumah di seluruh Queensland telah terendam air. Sekitar 10.700 rumah rusak. Sekolah dan gereja pun terpaksa libur.
Kota-kota seolah menjadi kota mati, gelap-gulita karena listrik dipadamkan. Air bersih pun menjadi masalah.
Kota yang sudah nyaris seperti kota mati ini kian mencekam karena bergentayangannya ular-ular yang mencari tanah kering untuk bertahan hidup.
Meski banyak warga Indonesia tinggal di Queensland, hingga pekan lalu, tak ada laporan tentang warga Indonesia yang menjadi korban banjir. ”Sejauh ini belum ada. Dan semoga tidak ada,” kata Konsul Penerangan, Sosial, dan Budaya Konsulat Jenderal Indonesia di Sydney yang juga membawahkan Queensland, Kiki Gusprabowo, saat dihubungi Kamis pekan lalu. Titik-titik tempat banyak warga Indonesia tinggal tak tersentuh banjir.
Banjir bandang menyebabkan kerugian yang cukup besar. Perdana Menteri Negara Bagian Queensland Anna Bligh menyatakan kerugian mencapai sekitar A$ 5 miliar (Rp 44,7 triliun).
Sektor pertambangan batu bara yang menjadi tumpuan Australia merasakan dampak yang luar biasa. Air menutup rel kereta api yang menghubungkan pertambangan dengan pelabuhan. ”Sekitar 70 persen tambang kami sekarang ini tidak beroperasi karena banjir, sehingga akan ada dampak besar-besaran terhadap pasar internasional dan manufaktur baja internasional,” kata Anna Bligh.
Australia adalah eksportir batu bara terbesar di dunia, dan sebagian besar berasal dari tanah Queensland. Tak hanya batu bara yang terkena dampak, pertanian juga merasakan akibat banjir. Demikian pula sektor pariwisata.
Bisnis pun sementara ambruk. Pusat-pusat bisnis rusak. ”Mereka kehilang-an stok, kehilangan penjualan, karena orang-orang tidak ada di kota,” kata Direktur Program Grattan Institute Saul Eslake. ”Mereka juga harus membayar upah pekerja yang tidak bekerja.”
Pemilik Lakes Creek Takeaway di Rockhampton, Colleen Murphy, mengaku khawatir akan bangkrut. ”Banjir ini bisa berarti kebangkrutan bagi saya,” katanya. Air setinggi panggul membuat bisnisnya banyak kehilangan barang. Apalagi karena daerahnya termasuk rawan banjir, tokonya tidak bisa diasuransikan.
Dan Walters, operator mesin untuk memindahkan tanah, kehilangan A$ 700 ribu (Rp 6,26 miliar). ”Saya tidak tahu apa yang akan terjadi sekarang,” katanya.
Anna Bligh memperkirakan Queensland harus menghadapi dampak banjir ini untuk jangka panjang. Pemerintah akan menyisihkan A$ 680 juta (Rp 6 triliun) dari anggarannya untuk perbaikan darurat.
Pemerintah Federal juga telah menjanjikan bantuan. Untuk pembayaran pemulihan darurat, setiap warga dewasa akan mendapat A$ 1.000 (Rp 9 juta) dan A$ 400 (Rp 3,5 juta) untuk setiap anak. Bantuan untuk perbaikan rumah yang rusak akibat banjir juga disediakan. Sementara itu, untuk membantu menghidupkan kembali sektor bisnis, setiap usaha kecil bisa mendapat bantuan yang maksimal jumlahnya bisa mencapai A$ 25 ribu (Rp 223,5 juta).
Perdana Menteri Australia Julia Gillard menunjuk Menteri Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Joe Ludwig untuk memimpin upaya rekonstruksi.
Saul Eslake menyatakan proses pembangunan kembali ini akan sangat membantu pemulihan ekonomi. ”Uang akan mengalir ke bisnis, dan ini jelas akan menjadi stimulus ekonomi.”
Purwani Diyah Prabandari (ABC, The Telegraph, Brisbane Time, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo