Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki berjenggot lebat itu duduk di antara selusinan pengikutnya di sebuah rumah tua di Aden, Yaman Selatan, pada pertengahan Mei lalu. Ia mengenakan baju hitam dan celana militer berwarna senada. Kafiyeh hitam melingkar di kepalanya. Rambut panjangnya menjuntai hingga bahu.
Jemajem, nama lelaki itu, dengan suara berapi-api berusaha membangkitkan semangat para pengikutnya. Mereka anak muda yang sedang gelisah, militan, dan bertekad memperjuangkan kemerdekaan Yaman Selatan. ”Kemerdekaan tak bakal datang sendiri. Itu harus diperjuangkan,” kata Jemajem.
Konflik politik di Yaman tak kunjung usai meski Ali Abdullah Saleh telah lengser dari kursi presiden pada akhir Februari lalu setelah 33 tahun berkuasa. Penduduk Yaman Selatan tetap merasa tak puas karena orang-orang yang loyal kepada Saleh masih duduk nyaman di pusaran kekuasaan.
Mereka masih menempati posisi penting di struktur pemerintahan dan militer. Putra tertua Saleh, Ahmed Ali, misalnya, menjabat komandan pasukan elite Garda Republik. Kemenakan Saleh, Yahya Saleh, menjadi kepala pasukan keamanan pusat. Partai Saleh, Kongres Rakyat Umum (GPC), juga menempatkan 17 dari 34 menteri di kabinet.
Sebagian kaum muda yang tak puas turun ke jalan. Mereka menggelar unjuk rasa damai menuntut para loyalis Saleh ditendang dari pemerintahan Presiden Abdrabuh Mansur Hadi. Namun kelompok yang lebih militan memilih mengangkat senjata, termasuk Jemajem. Ia bergabung dengan kelompok militan Hirak yang berbasis di Aden, kota pelabuhan penting di daerah selatan Yaman. Menurut dia, orang-orang muda yang kehilangan harapan bahkan memilih bergabung dengan Al-Qaidah.
Lelaki yang dijuluki ”Che Guevara dari Yaman Selatan” itu aktif menyerukan kemerdekaan Yaman Selatan. Ia mengatakan kemerdekaan adalah jalan terbaik. Sebab, selama unifikasi dengan Yaman Utara pada 1990, Selatan tetap miskin.
Bertahun-tahun sebelum gelombang Revolusi Musim Semi Arab menggelinding di Timur Tengah, Jemajem dan ratusan aktivis lainnya sudah melakukan perlawanan damai. Mereka meminta Saleh lengser, dan eksploitasi terhadap Selatan dihentikan. Namun gerakan mereka justru dibalas dengan kekerasan oleh tentara Yaman. Dalam waktu kurang dari lima tahun, Jemajem sudah enam kali keluar-masuk bui dan disiksa. Rambut dan jenggotnya digunduli. Merasa jalan damai tak berujung hasil, ia pun berubah haluan menjadi pemberontak.
Beberapa saat setelah Saleh mundur, Jemajem didekati sejumlah orang yang mengaku berasal dari ”negeri yang bersahabat”. Orang-orang yang belakangan diketahui berasal dari Iran ini mengiming-imingi bantuan bagi gerakan revolusi di Selatan. Mereka datang pada saat yang tepat, ketika orang seperti Jemajem dilanda frustrasi. Sebab, meski Saleh pergi, kaum separatis tak mendapatkan keinginan mereka. ”Uang dari setan pun akan saya terima kalau dia bisa membantu negara saya,” ujar Jemajem, seperti dikutip The Guardian.
Jemajem berkisah, sepekan kemudian orang-orang Iran itu mengajak dia dan beberapa temannya ke Damaskus, Suriah, untuk menemui dua pejabat Kedutaan Iran di sana. Ia mengungkapkan kedua pejabat itu menawarkan dukungan bagi federalisme Yaman, bukan pemisahan seperti diinginkan para pemberontak. ”Saya bilang bukan saya yang memutuskan. Saya akan disalahkan bila menyetujui federalisme,” ujarnya.
Beberapa hari kemudian, orang-orang Iran itu datang lagi. Kali ini mereka mengajak Jemajem dan kawan-kawan pergi ke Teheran bertemu dengan pejabat yang lebih tinggi. Lima belas orang terbang ke Teheran dengan IranAir tanpa visa. Menurut Jemajem, tak ada orang selain mereka di pesawat itu. Ketika mendarat di Teheran, mereka dibawa pasukan keamanan tanpa melalui pemeriksaan paspor. Saat bertemu dengan pejabat Iran, mereka dikawal dengan ketat. ”Semua orang yang kami temui menggunakan nama samaran. Mereka tak bilang bekerja untuk siapa,” kata seorang aktivis perempuan yang ikut dalam rombongan.
Ia mengatakan, perundingan berlangsung di gedung kementerian, tapi mereka tak diberi tahu kementerian apa. Menurut dia, orang-orang Iran itu berbicara dalam bahasa Arab yang terbilang sempurna. Jemajem mengatakan pihak tuan rumah berjanji akan menanamkan investasi di sektor infrastruktur di Selatan. Mereka akan membangun rumah sakit dan memberikan gaji kepada para aktivis. ”Yang terpenting, mereka bilang akan mengirimi kami senjata dan pelatih teknik pertempuran.”
Namun pada akhirnya mereka menolak tawaran itu. Alasannya, suplai senjata tak dikendalikan Hirak, tapi oleh pemberontak Houthi di Utara. Houthi adalah kelompok gerilyawan Syiah yang sudah satu dekade ini memerangi pemerintah dan dipercaya dibekingi Iran. ”Kami berjuang membebaskan negara kami dari orang-orang Utara. Jadi, saya tidak mau di bawah kendali orang-orang Utara lainnya,” kata Jemajem, yang sadar mereka hanya akan dijadikan pion oleh Iran.
Seorang anggota senior Hirak mengatakan Iran sedang bersaing dengan Arab Saudi untuk menancapkan pengaruhnya di Yaman. ”Iran juga sedang mendekat ke Selat Bab al-Mandab untuk berjaga-jaga bila terjadi perang dengan Amerika,” ujarnya. Selat tersebut merupakan pertemuan antara Laut Merah dan Teluk Aden. Selat ini menjadi jalur pelayaran terpenting menuju Terusan Suez. Sekitar 30 persen minyak dunia dikirim melalui jalur ini.
Arab Saudi pun berkepentingan pada stabilitas politik di Yaman. Mereka tak mau revolusi di Yaman mempengaruhi rakyatnya di perbatasan dengan Yaman, yang mayoritas penganut Syiah. ”Arab Saudi ingin mengakhiri revolusi Yaman dengan cara apa pun,” kata Faris Abu Barea, anggota gerakan Pemuda Beriman yang didukung Iran.
Utusan Amerika Serikat untuk Yaman, Gerald Feierstein, mengatakan telah lama Iran membantu pemberontak Syiah di Utara dan mulai melebarkan sayapnya ke Selatan. ”Secara alamiah ini merupakan ancaman bagi Arab Saudi dan negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) lainnya,” kata Feierstein.
Seorang pejabat militer Amerika mengungkapkan dalam beberapa bulan terakhir ini Iran mengapalkan persenjataan ke Yaman. Menurut dia, para penyusup dari Iran yang didukung Pasukan Quds—unit elite Korps Garda Revolusioner Islam Iran—menggunakan perahu-perahu kecil untuk mengirim senjata AK-47, granat, bahan peledak, serta uang tunai kepada pemberontak Yaman. Menurut dia, fakta itu terungkap dalam pembicaraan telepon antara pemberontak dan Pasukan Quds yang disadap pasukan penjaga pantai Yaman dan India.
Bahan-bahan itu dikapalkan dari Turki dan Mesir menuju Aden untuk para pebisnis Yaman yang berafiliasi dengan gerilyawan Houthi, yang bermarkas tak jauh dari perbatasan Arab Saudi. ”Iran berharap menggunakan Yaman untuk melawan Arab Saudi dan semua negara di Teluk Arab,” kata ketua partai independen Al-Rabata, Yahya al-Jifri. Namun juru bicara Houthi, Yahya al-Houthi, membantah gerakannya mendapat bantuan persenjataan, pelatihan, atau uang tunai dari Iran. Menurut dia, tudingan itu hanya propaganda Amerika dan Arab Saudi.
Selama bertahun-tahun Iran juga memberikan bantuan pelatihan kepada sejumlah kelompok yang melawan rezim Saleh. ”Kami diperlakukan tak adil oleh Arab Saudi, dan kami tak berpikir panjang untuk menerima bantuan dari Iran yang bersimpati kepada kami,” kata Sultan al-Samie, pemimpin milisi di Kota Taiz.
Ia dan sejumlah aktivis Yaman menghadiri konferensi di Teheran pada September 2011 dan Januari 2012. ”Kami membutuhkan kekuatan lain untuk keseimbangan, dan saya pikir kekuatan itu adalah Iran,” kata Aad Qaid, 28 tahun, yang ikut ke Teheran pada Januari lalu.
Menurut Abdusalam Mohammed, kepala Pusat Studi dan Riset Ab'ad, Iran menganggap wilayah Yaman Selatan cocok untuk menyemai pengaruhnya. Sebab, kontrol negara sangat lemah di wilayah ini setelah Saleh mundur.
”Iran masuk wilayah selatan Yaman, khususnya Aden, untuk mengontrol jalur perairan Yaman,” kata Mohammed.
Menurut dia, Iran bekerja sama dengan kaum muda Selatan yang butuh dukungan finansial. Campur tangan Iran di Yaman, kata dia, tak berbahaya sepanjang negara menjalankan hukumnya dengan tegas.
Sapto Yunus (Yemen Times, The Guardian, Reuters, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo