Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Panas di Pulau Karang

Perebutan pulau di Laut Cina Selatan memanaskan hubungan Cina-Filipina. Perdagangan kedua negara terganggu.

28 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka yang berkumpul di depan Kedutaan Cina di kawasan Makati, Manila, khidmat mengibarkan bendera Tiga Bintang dan Matahari. Jumlah mereka ratusan. Sejumlah poster juga muncul—antara lain berbunyi ”Cina berhentilah mengganggu Filipina” dan ”Cina mundurlah!”. Hari itu, Jumat tiga pekan lalu, nasionalisme Filipina melayang-layang di udara Manila.

Mereka tersinggung berat oleh tindakan Cina yang menguasai Scarborough Shoal di Laut Cina Selatan. Cina mengirimkan sejumlah kapal perang untuk mencegah nelayan Filipina menangkap ikan di perairan pulau karang yang oleh orang Filipina dinamai Panatag Shoal itu.

Ketegangan di antara kedua negara telah berlangsung lebih dari sebulan. Konflik bermula ketika kapal perang Cina menghadang kapal perang Filipina yang hendak menahan nelayan Cina yang tengah asyik menangkap ikan di pulau itu, 10 April lalu. Maklum, selain ikan yang melimpah, kawasan yang diperebutkan itu memiliki 28 miliar barel cadangan minyak dan 7,5 triliun meter kubik cadangan gas alam.

Cina tak hanya berseteru dengan Filipina di Laut Cina Selatan, jalur perdagangan penting di Asia yang kaya minyak dan gas. Cina dan Taiwan menyatakan memiliki wilayah seluas 1,7 juta kilometer persegi itu. Sedangkan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam mengklaim beberapa bagian dari wilayah tersebut.

Pada 1978, Filipina menetapkan zona ekonomi eksklusif hingga 370 kilometer dari garis pantainya. Itu berarti Pana­tag Shoal masuk wilayahnya. Panatag ­Shoal terletak 230 kilometer di sebelah barat Pulau Luzon. Meski letaknya lebih dekat dengan Filipina, orang Cina mempunyai nama tradisional buat pulau seluas 150 kilometer persegi itu. Mereka menyebutnya Huangyan dan secara resmi mengklaimnya sejak 1992.

Departemen Luar Negeri Filipina menyatakan hingga pekan lalu Cina masih menancapkan kekuatannya di pulau itu. Sejak ketegangan memuncak, Cina mengirimkan 21 kapal perang dan 76 kapal kecil ke wilayah itu. ”Bertambahnya jumlah kapal Cina mengancam ekosistem di perairan pulau itu,” ujar juru bicara Departemen Luar Negeri Filipina, Raul Hernandez, pekan lalu.

Menurut dia, hingga pekan lalu Cina masih menyiagakan lima kapal perangnya di pulau itu. Kelima kapal itu ditemani 16 kapal nelayan. Hernandez mengatakan Cina telah melanggar keputusannya sendiri untuk melarang aktivitas penangkapan ikan di kawasan itu. Ia juga menuding Cina melanggar perjanjian antara ASEAN dan Cina yang ditandatangani pada 2002. Perjanjian itu mengatur semua negara berhenti membuat klaim baru atas pulau-pulau di Laut Cina Selatan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hong Lei, mengatakan aktivitas nelayan Cina di wilayah itu tak melanggar undang-undang Cina. Dia meminta Filipina kembali ke jalur penyelesaian diplomatik. Ia mengingatkan kembali bahwa Pulau Huangyan adalah bagian dari wilayah Cina. ”Kami meminta otoritas Filipina tidak membuat pernyataan yang memicu aksi lebih ekstrem,” ujar Hong, memperingatkan.

Pekan lalu, mantan anggota marinir Filipina, Nicanor Faeldon, dan 20 orang lainnya berencana nekat menerobos barikade kapal Cina untuk menangkap ikan di kawasan itu. Namun rencana itu batal karena dilarang oleh Presiden Benigno Aquino III. Meski batal, Yang Baoyun dari Universitas Peking menilai rencana itu merupakan tindakan provokasi melawan Cina. Ia mengatakan Manila telah merasakan pengaruh tindakan Beijing dan mulai menahan diri.

Ketegangan ini berimbas ke sektor-sektor lain. Sejumlah agen perjalanan Cina membatalkan paket perjalanan ke Filipina menyusul merebaknya unjuk rasa anti-Cina. Sebaliknya, Cina memperketat masuknya pisang Cavendish asal Filipina. Menurut Asosiasi Petani dan Eksportir Pisang Filipina, Cina menahan ratusan kontainer pisang Cavendish di pelabuhan Beijing, Shanghai, Dailan, Tianjin, dan Quindao dengan alasan mengandung pestisida. Akibatnya, Filipina merugi hingga US$ 33,6 juta atau sekitar Rp 309 miliar.

Sapto Yunus (The Philippine Star, Reuters, Gma News)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus