Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat yang mendarat di meja kerja Junaidi Hamsyah sekitar pukul 22.00 itu menegaskan desas-desus yang berÂedar beberapa jam sebelumnya. Kesibukan pun segera melanda kantor Gubernur dan Dewan Perwakilan Daerah Bengkulu, 14 Mei lalu. Petugas piket sibuk menelepon ke sana-sini. Sebisanya mereka memberi tahu ratusan undangan bahwa hajatan besar besok hari dibatalkan.
Surat itu diteken Sekretaris Jenderal Kementerian dalam Negeri Diah Anggraeni. Isinya pemberitahuan bahwa pelantikan Junaidi sebagai Gubernur Bengkulu ditunda hingga waktu yang belum ditentukan. "Padahal semuanya sudah siap, tinggal jalan,” kata seorang petugas protokoler gubernuran.
Malam itu panitia baru saja selesai merias ruang rapat paripurna dewan perwakilan rakyat daerah, yang akan jadi tempat pelantikan. Di luar gedung, tenda dan kursi untuk tamu undangan sudah terpasang rapi. Di tempat lain, di rumah dinas Junaidi, dua ekor sapi pun sudah dipotong. Rencananya, setelah pelantikan, Junaidi menggelar acara syukuran.
Karena tak ada aba-aba soal pembatalan, siang harinya Junaidi telanjur menghadiri acara geladi resik. Bukan hanya panitia lokal yang datang, tim pendahulu dari Kementerian Dalam Negeri pun hadir dalam persiapan akhir itu.
Esok harinya, sidang paripurna DPRD tetap jalan. Tapi agendanya berubah menjadi pembatalan pelantikan Junaidi. Bupati, wali kota, gubernur tetangga, dan undangan memang tak ada yang datang. Tapi puluhan karangan bunga ucapan selamat telanjur membanjiri pekarangan gedung DPRD. "Langkah apa? Langkah kiri-kananlah,” kata Junaidi saat diberondong pertanyaan wartawan soal langkah apa yang dia ambil setelah batal dilantik.
Bila pelantikan itu tak dibatalkan, Junaidi akan mengisi kursi gubernur yang kosong hingga 2015. Kursi itu ditinggalkan Agusrin Maryono Najamuddin, yang sejak awal Mei lalu mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung.
Agusrin terbelit kasus korupsi sejak Badan Pemeriksa Keuangan mengaudit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Bengkulu tahun 2006. BPK menemukan dugaan penyalahgunaan dana bagi hasil pajak sebesar Rp 20,1 miliar. Dana yang seharusnya disimpan di rekening kas umum daerah itu dialihkan ke rekening lain di Bank BRI Bengkulu.
Kasus melambung ke Jakarta karena sejumlah warga Bengkulu melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung. Hasilnya, pada 28 Agustus 2008, Kejaksaan Agung menetapkan Agusrin sebagai tersangka.
Pengusutan peran Agusrin tidaklah mulus. Baru tiga bulan kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan surat izin pemeriksaan. Tapi Presiden tak menerbitkan izin penahanan yang diminta jaksa. Setelah izin keluar, jaksa tak bisa langsung memeriksa Agusrin, yang pergi naik haji. Setelah Agusrin pulang, pengusutan kasusnya tetap tersendat-sendat.
Menyandang status tersangka, Agusrin malah memenangi pemilihan Gubernur Bengkulu untuk kedua kalinya. Pada 30 November 2010, Menteri dalam Negeri Gamawan Fauzi melantik dia bersama Junaidi, di bawah penjagaan ketat sekitar 1.700 aparat.
Presiden Yudhoyono baru memberhentikan sementara Agusrin pada 21 Januari 2011, ketika dia menjadi terdakwa. Sejak itu, Junaidi menjabat pelaksana tugas gubernur.
Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jaksa menuntut Agusrin dihukum empat setengah tahun penjara, ditambah denda Rp 500 juta. Tapi, pada 25 Mei 2011, majelis hakim yang dipimpin Syarifuddin memvonis Agusrin bebas murni. Di tengah pro-kontra atas vonis Agusrin, sepekan kemudian hakim Syarifuddin ditangkap penyidik KPK karena menerima suap dalam kasus kepailitan yang dia tangani.
Tak terima atas vonis bebas itu, jaksa mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi, Agusrin tak tinggal diam. Dia mempersoalkan upaya kasasi jaksa. Pada November 2011, melalui kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, Agusrin menguji materi Pasal 67 dan 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata ke Mahkamah Konstitusi. Menurut kedua pasal itu, jaksa tak bisa mengajukan permohonan banding atau kasasi atas vonis bebas murni. Pertengahan Maret lalu, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji tafsir yang diajukan Agusrin.
Lolos di pengadilan pertama, Agusrin tersandung di Mahkamah Agung. Majelis hakim kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar menghukum Agusrin empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Menurut Artidjo, Agusrin melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tapi Agusrin tak menyerah. Dia menempuh upaya hukum luar biasa, yakni meminta peninjauan kembali (PK).
Khawatir Agusrin buron seperti terpidana korupsi lainnya, para pegiat antikorupsi—antara lain Indonesia Corruption Watch—terus mendesak jaksa segera menahan Agusrin. Toh, menurut mereka, upaya PK Agusrin seharusnya tak menghalangi eksekusi. Agusrin akhirnya dijebloskan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur, pada 10 April lalu.
Setelah empat hari Agusrin masuk penjara, Yudhoyono meneken Surat Keputusan Presiden Nomor 40/P Tahun 2012 tentang pemberhentian tetap Agusrin. Lalu, pada 2 Mei lalu, Yudhoyono meneken Surat Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2012 tentang pengangkatan Junaidi sebagai Gubernur Bengkulu.
Agusrin lagi-lagi melawan. Dia menggugat Presiden, Menteri Dalam Negeri, dan Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu. Dalam surat gugatannya, Agusrin meminta pengadilan membatalkan kedua keputusan Presiden dan menunda pelantikan Junaidi. Ini jurus pertama yang dimainkan kepala daerah yang jadi terpidana korupsi.
Hasil sementara menguntungkan Agusrin. Pada 14 Mei lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengeluarkan putusan sela. Isinya, antara lain, memerintahkan Presiden menunda pelaksanaan pelantikan Junaidi sebagai Gubernur Bengkulu.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan cepatnya PTUN membuat putusan sela sangat janggal. Kuasa hukum Agusrin memasukkan gugatan atas Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2012 pada 14 Mei lalu. Pada hari yang sama, PTUN membuat penetapan yang meminta penundaan pelantikan Junaidi. "Sebagai tergugat, kami belum dimintai penjelasan, tapi sudah keluar puÂtusan,” ujar Denny.
Kuasa hukum Agusrin, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan pihaknya menggugat ke PTUN karena menilai keputusan Presiden yang memberhentikan Agusrin melanggar undang-undang. Yusril merujuk pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaÂerah. Pasal itu menyebutkan kepala daerah diberhentikan tetap oleh presiden tanpa usulan DPRD bila melakukan kejahatan, yang diancam hukuman paling singkat lima tahun penjara. Pemberhentian pun harus berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht).
Mahkamah Agung menjerat Agusrin dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman pasal tersebut minimal empat tahun penjara, maksimal 20 tahun penjara, atau penjara seumur hidup. Karena ancaman hukuman minimal di bawah lima tahun, "Agusrin tak bisa diberhentikan tetap,” kata Yusril, yang juga masih berstatus tersangka kasus korupsi.
Menurut Denny, penafsiran hukum Yusril dan Agusrin tak hanya keliru, tapi juga sangat berbahaya. Jika pemahaman itu diikuti, tak ada satu pun kepala daerah yang terbukti korupsi yang bisa diberhentikan tetap. Soalnya, ancaman hukuman minimal dalam undang-undang antikorupsi paling tinggi empat tahun penjara. "Jangan sampai PTUN jadi benteng baru para koruptor," kata Denny.
Senada dengan Denny, guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy O.S. Hiariej, mengatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bisa menjadi dasar memecat kepala daerah yang terbukti korupsi. Frasa ”pidana penjara paling singkat lima tahun” di pasal 30 undang-undang itu merujuk pada ancaman hukuman maksimal dalam undang-undang lain. "Saya sudah tanya banyak profesor lain. Mereka punya persepsi yang sama,” kata Eddy.
Guru besar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang, Saldi Isra, mengatakan Agusrin wajar saja bila mencari celah untuk membebaskan diri. Tapi keputusan presiden soal pemberhentian Agusrin dan pengangkatan Junaidi mestinya tak bisa diadili di PTUN. Soalnya, keputusan itu bukan Keputusan Tata Usaha Negara yang berdiri sendiri. "Itu pelaksanaan atas perintah undang-undang,” ujar Saldi.
Menurut Saldi, pemecatan Agusrin dan pengangkatan Junaidi juga merupakan konsekuensi dari pelaksanaan putusan kasasi Mahkamah Agung. "Eksekusi putusan tak berhenti pada penahanan Agusrin,” ujar Saldi. Dia pun menunjuk Pasal 2 huruf e Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal itu menyebutkan keputusan yang merupakan tindak lanjut atas putusan pengadilan tak termasuk keputusan yang bisa diuji di PTUN.
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali tak menyangkal bahwa putusan sela PTUN Jakarta terkesan aneh. "Memang seperti ada kejanggalan,” kata Hatta di kantornya, Rabu pekan lalu. Karena itu, dia memerintahkan Badan Pengawas Mahkamah Agung mengawasi kinerja hakim yang menyidangkan Agusrin.
Jajang Jamaludin, Phesi Ester, Isma Savitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo