PERNAH hukum tembak berhenti Maret lalu, suatu pertanda Perdana
Menteri Mehdi Bazargan didengar. Tiga minggu saja istirahat itu.
April ini pengadilan revolusioner Iran aktif kembali dan
serangkaian eksekusi pun dilaksanakan.
Korban paling menonjol sesudah istirahat itu adalah Amir Abbas
Hoveyda, 61 tahun, pernah menjadi Perdana Menteri Iran selama 13
tahun. Didakwa melakukan 17 kesalahan, Hoveyda membela diri
sendiri tanpa memperoleh pengacara. Semua tuduhan itu. menurut
lapordn pers, mengambang seperti "dosa terhadap Tuhan,
pengkhianatan terhadap negara dengan menjual rahasia pemerintah
kepada Amerika, campur tangan dalam urusan kebebasan pers,
merusak pertanian."
Mungkin satu-satunya kesalahan Hoveyda yang bisa dibuktikan di
pengadilan adalah tindak-tanduknya selama berkuasa yang sering
mengganti pemimpin redaksi suratkabar dan pimpinan pers lainnya
supaya sesuai dengan selera pemerintah. "Tapi kesalahan demikian
jelas terlalu kecil untuk hukuman mati," komentar ahli hukum
Iran seperti dikutip Daily Telegraph, London.
Tujuh hakim mengadilinya. Sidang pengadilan berlangsung beberapa
jam saja. Segera sesudah itu, Hoveyda ditembak. Peluru pistol
menembus lehernya. Permintaannya supaya diberi waktu satu bulan
untuk menuliskan memoirnya ternyata tidak dikabulkan.
Wakil PM Iran, Amir Entezam kemudian secara terbuka mengakui
bahwa pemerintah Bazargan "tidak tahu sebelumnya" mengenai
pengadilan dan hukuman mati atas Hoveyda. Kejadian ini
membuktikan lagi betapa PM Bazargan tidak berdaya.
Pendapat dunia jelas mengecam praktek pengadilan revolusioner
Iran itu, yang mempersulit posisi Kazargan. Dia pernah
dikabarkan meminta berhenti, ketika gelombang pertama eksekusi
memuncak. Dengan gelombang kedua ini, apalagi sesudah kematian
Hoveyda, pemerintahan Bazargan tampaknya belum melihat alasan
untuk mengundurkan diri. Para pengamat di Teheran malah
cenderung mernbandingkan Bazargan dengan Hoveyda.
Di bawah Shah yang otokratis dulu, kekuasaan Hoveyda jauh lebih
kecil dibanding dengan yang ada di tangan seorang perdana
menteri di Eropa Shah mengangkat sendiri para anggota kabinet,
mengatur tentaranya, berhubung langsung dengan polisi rahasianya
Savak, mencampuri urusan dalam dan luar negeri.
"Saya cuma mandor," kata Hoveyda dalam pembelaannya di
pengadilan. Ucapannya tidak berlebihan. Sebagai "mandor" itu,
Hoveyda pernah dikorbankan oleh Shah sebagai "kambing hitam"
ketika memuncak serangan terhadap kerajaannya tahun lalu. Shah
malah memenjarakan Hoveyda dengan tuduhan korupsi. Setelah Shah
terusir. Hoveyda berpindah status ke tahanan Khomeiny.
Kejadian di Iran seakan-akan tidak terkendali. Pekan lalu
Ayatullah Teleghani menutup kantornya di Teheran. Dua puteranya
sebelum itu diculik dan dianiaya oleh gerombolan ekstrim selama
dua hari. Teleghani, ulama yang moderat, diduga berselisih paham
dengan para pengikut Ayatullah Khomeiny yang keras.
Keadaan ekonomi makin memburuk. Para pekerja, yang dulu
berdemonstrasi menentang Shah, kini turun lagi ke jalan raya
menuntut kenaikan upah dan memprotes terhadap meningkatnya
pengangguran. Dari 9 juta tenaga kerja di Iran, 3 juta orang
praktis menganggur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini