Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

"Mati Untuk Hasani"

Liliane sichler adalah wartawan asing pertama yang menghadiri sidang pengadilan revolusioner iran. laporannya dimuat majalah prancis l'express. (ln)

21 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Liliane Sichler merupakan wartawan asing pertama yang menghadiri sidang pengadilan revolusioner Iran. Wanita Perancis itu Maret lalu mengenakan cadar dan menutupi seluruh rambutnya di kota suci Qom. Laporannya dimuat l'Express, suatu majalah Perancis terkemuka. Berikut ini kutipnn tentang jalannya peradilan di kota kedinman Ayatullah Khomeiny RUANGANNYA sangat besar. Lantai tertutup debu yang terseret sepatu-sepatu dari seluruh kota Iran. Sebagian dari ruangan diubah jadi pelataran dilengkapi dengan delapan buah kursi biru serta sebuah mikrofon. Di dinding, gambar Khomeiny terpampang sangat menyolok. Di langit-langit, serangkaian bunga tergantung menimbulkan rasa asing bagai di ruang dansa yang telah ditinggalkan. Tiba-tiba terjadi kegaduhan dalam ruangan itu. Seorang lelaki, dengan pistol di pinggang, meloncat ke pelataran. "Tenang saudara-saudara!" Kemudian seorang anak lelaki berumur antara 15-16 tahun tampil ke depan mik. Di tangannya terdapat sebuah kitab nyanyian religius. Dengan suara lantang ia mengumandangkan untaian pujaan pada Allah. Publik menyahut bagai gemuruh ombak laut, bergantian. Wajah-wajah mereka begitu serius. Di atas --dalam galeri -- seorang perempuan terdiam, tubuhnya bersandar ke dinding, wajahnya tertutup cada. Ia menangis dan seorang anak lelaki kecil duduk di pangkuannya. Ia adalah isteri tertuduh. Sebuah pintu terbuka dan ayatullah Tehrani, dengan wajah serius, memasuki ruangan. Ia mengenakan jubah hitam yang panjang dan sorban putih. Ia hakim tertinggi. Para mullah mengikuti di belakangnya dan duduk di dekat Tehrani. Seorang lelaki dengan kostum hitam dan ponco potongan abad ke-19 duduk di sudut lain. "Itu pengacara," seorang menjelaskan. "Ia membela tertuduh?" tanya saya. "Tidak, tak seorang pun yang mau membela terdakwa." "Jadi apa yang akan dilakukan pengacara itu?" "Ia membacakan surat tuduhan." Pada saat itu terdengar teriakan di ruangan. Sebuah pintu terbuka, Agha Hassani, tertuduh, muncul dengan lengan diikat dan dikelilingi penjaga. Ia tersenyum dan memberi salam kepada hadirin. 'Pengacara' memanggil saksi-saksi. Seorang petani bersandal mendekati mik. "Saya di sini karena Allah dan karena imam Khomeiny," katanya. Ayahtullah Tehrani bertanya "Apa yang engkau lihat?" "Hassani telah mengancam dan membunuh orang-orang di hadapannya dengan pistol. Ia merobek-robek potret Khomeiny di muka toko saya. Lalu ia menghancurkan seluruh isi toko saya." Seorang saksi lain mendekati mik dan bersumpah di bawah Qur'an "Orang ini telah memukul saya dan memenjarakan saya selama lima hari. Akibatnya saya tak bisa tidur selama empatpuluh hari sejak itu. Dan di hadapan saya ia berkata bahwa ia akan menyembelih ibunya sendiri bila ibunya suatu hari menyebut nama Khomeiny .... " Hadirin berang. Seorang lelaki tua berkata: "Demi Allah, saya bersumpah, ia telah memukul bapak saya dan ia tak mau membayar roti yang diambilnya dari toko saya. " Lalu seorang anak belasan tahun Ia telah menumpahkan dorongan jeruk saya di jalanan. Saya bertanya, mengapa ia melakukan itu, dan ia menjawab. Karena kamu berbicara melawan Shah kami." Saksi lain: "Saya berada di dalam mesjid saat itu dan saya lalu mendengar bunyi tembakan. Seorang lelaki telah terbunuh." Pengacara memotong: "Apakah saudara melihat Hassani menembak?" "Saya tidak melihatnya, terlalu banyak orang waktu itu .... " Pada saat itu, seorang lelaki tua maju ke depan. Ia membawa sebuah foto. Seorang menjelaskan, "Di foto itu terdapat Hassani sedang membunuh seorang anak perempuan berumur empat tahun!" Saya perhatikan, tapi saya hanya melihat seorang anak mati dalam sprei bergelimang darah. Hadirin berteriak: "Mati untuk Hassani! Mati!" Tapi pemilik foto tak berani menunjukkan potret itu ke hadapan para hakim, ia nampaknya hanya mau melihat tertuduh dari dekat saja . . . Hassani bangkit. "Saya tak bersalah, saya tak pernah membawa! katanya kalem. "Saya hanya seorang polisi. Bila saya telah memukul seseorang, saya tak akan bisa mengingatnya kembali." Akhirnya, di Qom, Agha Hasan divonis bersalah "melakukan serangkaian pembunuhan." Ia ditembak mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus