PEMILIHAN umum sudah dijalankan di Rhodesia guna mengakhiri
dominasi minoritas kulit putih sejak 90 tahun lalu. Hasilnya
semula diharapkan bisa menghentikan pula perang gerilya sejak 6
tahun lalu. Ternyata awal pekan ini perkembangan masih
menunjukkan kekacauan di bekas koloni Inggeris itu akan
berlanjut.
Soalnya ialah pemilu selama 5 hari yang selesai pekan lalu itu
dilangsungkan dalam suasana UU Darurat, dan tidak pula disertai
oleh semua kelompok kulit hitam. Robert Mugabe, pemimpin Zanla
yang berpangkalan di Mozambik, dan Joshua Nkomo yang memimpin
Zapu yang bermarkas di Zambia -- keduanya dari Patriotic Front
-- menganggap pemilu itu hanya tipu muslihat kaum kulit putih,
hingga tak mungkin akan jujur. Mereka memboikotnya.
Pernah ada anjuran, antara lain dari pemerintahan Callaghan
(Inggeris) yang didukung oleh pemerintahan Carter (AS), supaya
PBB atau badan netral lainnya ikut mengawasi jalannya pemilu
itu. Tapi pemerintahan kulit putih Rhodesia pimpinan Ian Smith
menolak saran itu. Akibatnya, hasil pemilu itu masih belum dapat
membangkitkan kepercayaan dunia luar. Carter, misalnya, masih
belum mau melepaskan sanksi ekonomi AS terhadap Rhodesia.
Kaum kulit putih Rhodesia mencoba mempertahankan dominasi mereka
sejak Inggeris berangsur melepaskan koloninya di Afrika pada
tahun 1950-an. Bahkan Smith dkk akhirnya membangkang, secara
sepihak memproklamirkan Rhodesia lepas dari Inggeris tahun 1965.
Kemudian mereka mengotot mempertahankan pemerintahan minoritas.
Maret lalu, Smith dkk melihat kenyataan bahwa minoritas kulit
putih yang 230.000 orang itu tidak mungkin bisa tetap berkuasa
dengan tenang di antara mayoritas yang 7 juta. Itulah sebabnya
Smith dkk menyetujui pemilu, tapi dengan syarat bahwa hanya 72
dari 100 kursi dewan perwakilan rakyat boleh diperebutkan kaum
mayoritas. Sisanya yang 28 lagi tcrsedia untuk kaum minoritas.
Karena kaum kulit putih masih tetap menguasai pasukan keamanan,
kehakiman dan dinas sipil, maka dominasi minoritas itu pada
hakekatnya masih akan terasa, sedikitnya untuk 10 tahun lagi.
Sepantasnya kelompok gerilya dalam Patriotic Front memboikot
strategi Smith dkk yang terselubung itu.
UANC, partai pimpinan Uskup (Methodist) Abel Muzorewa
memenangkan 52 kursi. Sudah dipastikan Muzorewa akan menjadi
perdana menteri kulit hitam pertama di Rhodesia Pemerintahannya
akan membawa peralihan ke Zimbabwe, nama baru negeri itu.
Peralihan ini tampak tidak akan gampang bagi Muzorewa. Lagi
pula, pendeta Ndabaningi Sithole, pemimpin nasionalis kulit
hitam lainnya yang semula dikira akan mau ikut dalam
pemerintahan baru ternyata merobah sikapnya. ZANU pimpinan
Sithole merebut 12 kursi -- urutan kedua sesudah UANC.
Hasil pemilu, demikian Sithole, "suatu penipuan besar."
Dituduhnya kaum penguasa sengaja main curang untuk mengumpulkan
suara sebanyak mungkin untuk kemenangan Muzorewa. Dengan
demikian, ada tiga kelompok utama -- Mogabe, Nkomo dan Sithole
-- yang akan terus bergerilya, bukan dua saja.
Di pusat pertokoan Salisbury, ibukota Rhodesia, satu bom meledak
pekan lalu pada saat Muzorewa merayakan kemenangan partainya.
Muzorewa pun mengancam "Bila saya menjabat perdana menteri
(direncanakan Mei ini juga), saya akan melanjutkan perang
(terhadap kaum gerilya) sama kerasnya, bahkan mungkin melebihi
dari apa yang dilakukan pemerintahan (Smith) terdahulu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini