NAMA Sanggarbambu ternyata masih bertahan dan masih menjadi
kebanggaan anggota-anggotanya. Dalam pameran seni rupa untuk
memperingati ulang tahun ke-20 Sanggarbambu, sekitar 107
anggotanya ambil bagian. Pameran itu diselenggarakan di Balai
Seni Rupa Jakarta, 20 - 30 April ini. Kebetulan, direktur Balai
tersebut Sudarmadji, pernah menjabat Ketua Sanggarbambu dan kini
sebagai sekretaris.
Sebetulnya, praktis sejak akhir 60-an organisasi Sanggarbambu
tak seketat dulu lagi. Dulu pernah ada komisariat-komisariat
yang mengurus soal mencari uang, mendidik kader atau meluaskan
kegiatan. Seorang anggota Sanggarbambu tidak bisa begitu saja
mengerjakan satu pekerjaan pesanan tanpa diketahui komisariat.
Kini boleh saja seorang anggota misalnya mendirikan kursus
melukis dengan menggunakan nama Sanggarbambu -- dijamin tak ada
yang menegur. Ketua yang sekarang, pelukis Muljadi W. (diangkat
sejak 1972), memang sudah menyatakan, bahwa "tiap pribadi
anggota pada hakekatnya adalah satu komisariat itu' sendiri."
Jadi, meskipun masih ada yang namanya ketua, sekretaris dan
bendahara, sesungguhnya tak ada yang perlu diurus. Lalu mengapa
masih dipertahankan nama Sanggarbambu ? "Mungkin karena kita
merasa ada perlunya, untuk ikatan kekerabatan," jawab
Sudarmadji.
Tapi mungkin justru bentuk organisasi seperti itu, yang
menyebabkan Sanggarbambu masih disebut-sebut orang -- dan
selamat tanpa gangguan apapun. Pelukis Kusnadi pernah menilai
Sanggarbambu sebagai organisasi yang supel dan karena itu
leluasa bergerak.
Didirikan 1 April 1959 oleh Soenarto PR dan Muljadi W. dan
beberapa lagi pclukis muda di Yogyakarta -- kota, yang sejak
zaman Seniman Indonesia Muda (1946) memang subur dengan sanggar
dan organisasi seni rupa. Dengan cepat Sanggarbambu mendapat
nama dan simpati masyarakat karena kegiatan-kegiatannya. Kalau
pelukis kebanyakan bercita-cita berpameran di Jakarta sambil
berharap banyak lukisan laku, Sanggarbambu justru mengadakan
pameran di kota-kota seperti. Tegal, Mojokerto, Madiun, Bogor
dan beberapa lagi. Yang dituju pameran mereka bukanlah laku
tidaknya tapi ikut memberikan apresiai senirupa kepada
masyarakat.
Itulah sebabnya pameran mereka selalu disertai ceramah kesenian
dan demonstrasi melukis atau mematung. Dan Sanggarbambu memang
tidak memusingkan siapa sponsor mereka. Pemda, ABRI atau
perseorangan boleh saja, asal pameran jalan terus dan
karya-karya mereka tidak diganggu.
Zaman Berubah
Barangkali sikap seperti itulah yang menyebabkan sanggar pernah
memecat dua anggotanya karena ikut menandatangani Manifes
Kebudayaan. Dan untung hal tersebut tak sampai menimbulkan
perpecahan. Baru 1965 terjadi sedikit perbedaan faham di antara
mereka. Beberapa pelukis Sanggarbambu yang sudah mendapat nama
dan kebetulan berkelompok di Jakarta ingin lebih bebas bergerak.
Maka terjadilah dua Sanggarbambu: yang di lakarta antara lain
beranggotakan Danarto dan Muljadi W., dan di Yogyakarta yang
diketuai oleh Soenarto PR. Yang di Yogya, untuk membedakan
dengan yang di Jakarta merubah nama menjadi Sanggarbambu '59.
Mungkin karena kuatnya rasa kekehlargaan mereka, menjelang akhir
tahun 60-an mereka bersatu kembali. Atau semuanya saja memang
sudah menyadari bahwa zaman telah berubah. Bahwa gerakan semacam
tahun 60-an tak lagi perlu dilakukan. Kegiatan perseorang anlah
yang terlebih penting. Dan dalam periode kepemimpinan Muljadi W.
sekarang hal itu ditekankan lagi.
Kegiatan pameran Sanggarbambu sekarang ini agaknya merupakan
kelanjutan pertemuan mereka setahun yang lalu -- dalmn rangka
ulang-tahun juga. Ada suara-suara bagaimana kalau mereka
mengadakan kegiatan seperti tahun 60-an dulu. "Agaknya pameran
sekarang ini dan nanti, Nopember 1979 di TIM, merupakan
penjajagan, apakah kita bisa bangkit lagi," kata Sudarmadji.
Memang diperlukankah sanggar semacam itu bagi dunia senirupa
sekarang ini? Mungkin tidak. Gebrakan kelompok Seni Rupa Baru,
lalu kelompok PERSEGI yang mendapat tempat dalam dunia seni rupa
kita, sepertinya lebih dibutuhkan. Sudah terlalu banyak kegiatan
pameran yang hanya memamerkan yang itu-itu juga. Yang dibutuhkan
adalah wadah di mana digodok, didiskusikan ide-ide tentang
perkembangan kesenian kita. Dan hal semacam itu tidaklah menjadi
tradisi Sanggarbambu. Terus terang kehadiran Sanggarbambu sejak
20 tahun yang lalu itu, taklah memberikan rangsang apalagi ide
yang jelas bagi tumbuhnya atau berkembangnya satu hal baru dalam
dunia senirupa kita.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini