Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berebut Benteng Terakhir di Timur

Rusia menuding Amerika Serikat campur tangan dalam kemelut di Ukraina. Putin ingin mengembalikan kejayaan Uni Soviet.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah rekaman dalam bahasa Rusia berdurasi empat menit yang beredar di situs YouTube dengan judul "Boneka dari Maidan" menggegerkan publik Ukraina, Kamis dua pekan lalu. Maidan merujuk pada tempat yang digunakan demonstran untuk menggelar protes di Ukraina.

Rekaman itu berisi pembicaraan telepon antara Victoria Nuland, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Eropa, dan Geoffrey Pyatt, Duta Besar Amerika Serikat untuk Ukraina. Mereka berdiskusi tentang bagaimana jika oposisi menyetujui tawaran masuk kabinet yang diajukan Presiden Ukraina Viktor Yanukovych pada 25 Januari lalu sebagai penyelesaian konflik.

Nuland menyesalkan sikap Uni Eropa yang tak sigap mendesak Yanukovych agar merespons tuntutan oposisi. Ia melihat Yanukovych, yang menjadi sekutu Rusia, akan mudah digaet. "Aku rasa itu bukanlah ide yang baik," Nuland menanggapi, seperti dilansir The New York Times, Kamis dua pekan lalu. Pyatt menyebutkan Rusia akan menggunakan berbagai cara untuk merangkul Ukraina.

Sejak November tahun lalu, Ukraina—negara di Eropa Timur yang langsung berbatasan dengan Rusia—dilanda konflik antara Presiden Viktor Yanukovych dan oposisi. Oleh penentangnya, Yanukovych didesak menandatangani kesepakatan bergabung dengan zona perdagangan Uni Eropa. Namun pemerintah memilih bergabung ke dalam serikat perdagangan dengan Rusia. Yanukovych beralasan tawaran Rusia lebih menggiurkan, seperti bantuan dana untuk menyambung hidup sebesar US$ 15 miliar, suplai gas dengan harga murah, dan sejumlah kerja sama industri. Uni Eropa melalui Bank Dunia hanya mau mengucurkan dana jika harga energi dinaikkan.

Krisis ekonomi memang sedang melanda Ukraina, yang bisa membuatnya menyusul Yunani dan Italia. Menurut Trade­ economic.com, utang Ukraina mencapai US$ 137 miliar pada semester ketiga tahun lalu. Lembaga pemeringkat utang dunia menetapkan Ukraina dalam peringkat CCC. Konsekuensinya, Ukraina akan kesulitan mencari pinjaman. Tanpa topangan yang kuat bagi perekonomian, kondisi Ukraina bisa bertambah parah.

Rusia menuding Amerika sudah mulai campur tangan dalam konflik di Ukraina. Penasihat Kremlin, Sergei Glazyev, mengatakan Amerika telah melanggar perjanjian 1994 yang dibuat saat penghapusan senjata nuklir di Ukraina setelah Uni Soviet bubar. Rusia dan Amerika adalah penjamin kedaulatan dan integritas wilayah Ukraina serta tak campur tangan ketika ada konflik internal. "Jika Amerika Serikat turun tangan, kami juga akan terlibat," Glazyev mengancam.

Keterlibatan Amerika juga dikaitkan dengan meningkatnya peredaran mata uang dolar di Ukraina. Glazyev mengaku mendapatkan informasi dari mata-mata Rusia bahwa Amerika menggelontorkan US$ 20 juta per pekan kepada para pengunjuk rasa anti-pemerintah. Rusia khawatir kejadian pada pemilihan umum 2004 terulang, ketika Barat berhasil "menguasai" Ukraina. Saat itu, Amerika menggelontorkan lebih dari US$ 65 miliar untuk oposisi melalui lembaga swadaya masyarakat. "Duit itu digunakan untuk mendanai gerakan oposisi," kata Glazyev seperti dikutip BBC.

Bukan hanya itu, Glazyev mengindikasikan uang tersebut juga digunakan untuk mempersenjatai oposisi. Dalam unjuk rasa, oposisi membawa perisai dan tongkat bisbol. Sebagian di antara mereka membawa bom molotov dan granat. "Mereka juga mendapatkan pelatihan kemiliteran di Kedutaan Amerika di Kiev," ujarnya.

Kepala International Republican Institute—lembaga yang pernah menyalurkan dana Amerika ke Ukraina—Lorne Craner mengatakan pengucuran dana itu untuk membantu negara berpenduduk 46 juta tersebut menegakkan demokrasi. Foreign Policy, majalah asal Amerika, menuliskan Amerika dan Uni Eropa terlibat dalam strategi Neocontaiment untuk mengurangi pengaruh Rusia di Eropa Timur.

Iurie Leanca, Perdana Menteri Moldova, negara sebelah barat Ukraina, mengatakan Rusia memang sedang berambisi membentuk serikat perdagangan Eurasia. Hal ini dilakukan dengan cara menggaet negara-negara bekas pecahan Uni Soviet. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kembali kejayaan Uni Soviet secara ekonomi.

Secara geopolitik, menurut Leanca, Rusia juga ingin membangun "benteng" di sekitar perbatasan. Salah satunya, mereka ingin mengantisipasi rencana Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) membangun persenjataan pelontar rudal di Polandia. Pendukung Rusia semakin menciut setelah Estonia, Latvia, Lituania, Polandia, Republik Cek, Slovakia, Hungaria, dan Slovenia bergabung dengan Uni Eropa pada 2004.

Leanca mengatakan Rusia memaksa Moldova mau bergabung. Rusia melarang impor anggur dari Moldova—salah satu penyumbang devisa terbesar—dan mengancam mengusir 100 ribu warga Moldova yang bekerja di Rusia. Namun Moldova memilih berintegrasi dengan Uni Eropa bersama Georgia pada Maret 2012. "Pemimpin Ukraina jangan sampai salah memilih," kata Presiden Georgia Giorgi Margvelashvili.

Agar pembelotan seperti Moldova tak berulang, Presiden Rusia Vladimir Putin mengintimidasi Ukraina lebih keras. Seusai pembubaran kabinet Ukraina, Rusia memperketat jalur suplai barang di perbatasan. Ratusan truk terpaksa antre untuk menjalani pemeriksaan dan kadang-kadang ditutup sementara. Federasi Pengusaha Ukraina mengatakan prosedur kepabeanan Rusia yang ketat melumpuhkan perdagangan. "Jika blokade ini berlanjut, pabrik-pabrik bisa tutup," kata Yuri Kuchinsky, Wakil Presiden Asosiasi Pengemudi Truk di Ukraina, seperti dikutip Time.

Putin juga menghentikan bantuan sementara yang dijanjikan dikucurkan akhir bulan lalu sebesar US$ 3 miliar. Hingga saat ini, Rusia baru mencairkan bantuan ­bailout US$ 2 miliar dari US$ 15 miliar yang dijanjikan. Mereka juga mengancam akan mendeportasi 400 ribu pekerja asal Ukraina yang mencari nafkah di Rusia. Bahkan Rusia telah menyiapkan bantuan militer untuk menghentikan unjuk rasa.

Rusia menilai Ukraina memiliki potensi yang penting bagi kemajuan ekonomi di kawasan itu. Ukraina telah menjadi pasar bagi perdagangan Rusia. Bekas negara adidaya ini mengekspor separuh dari barang kebutuhan sehari-hari ke Ukraina. Sedangkan Ukraina juga mengirim barang-barangnya ke Rusia dengan nilai US$ 17,6 miliar pada 2012.

Ukraina memiliki sumber daya gas alam yang melimpah yang kini sedang digarap Chevron, perusahaan minyak asal Amerika, dengan kontrak US$ 10 miliar. Kerja sama ini telah menggagalkan ambisi Gazprom, perusahaan minyak Rusia, untuk menguasai pengelolaan gas di Ukraina. Meski memiliki cadangan gas yang cukup besar, Ukraina hanya mampu memenuhi 30 persen kebutuhan nasional.

Selain itu, mereka memiliki industri manufaktur, industri pertahanan, dan pembuatan bahan kimia. Nezavisimaya Gazeta, harian Rusia, menyebutkan Ukraina telah memenangi pembelian peralatan militer untuk Irak dengan nilai US$ 2,4 miliar. Kesepakatan ini mengantarkan Ukraina menjadi produsen senjata nomor 5 dari 14 pedagang terbaik di dunia. "Kesepakatan ini telah mengakibatkan kekecewaan Rusia, yang telah mengincar proyek ini," ujar pejabat militer di Ukraina kepada Nezavisimaya Gazeta.

Wakil Perdana Menteri Rusia Dmitry Rogozin menyatakan tertarik mengembangkan kerja sama industri pertahanan dengan Ukraina. Beberapa di antaranya perakitan pesawat terbang serta pembuatan kapal dan roket.

Selama ini Ukraina menjadi penyuplai bahan mentah dan beberapa komponen untuk 400 perusahaan pertahanan Rusia. Rogozin berambisi Federasi Rusia menjadi pemasok senjata terbesar di dunia. Jika Ukraina bergabung dengan Uni Eropa, Rusia tak akan mendapat apa-apa. "Kami berharap kerja sama dengan Ukraina terus berkembang," katanya.

Andrey Illarionov, bekas penasihat Putin, mengatakan Rusia telah bersiap merebut Ukraina dari pengaruh Uni Eropa. Gerakan itu merujuk pada kebangkitan Uni Soviet pada prinsip-prinsip baru-kesatuan. Menurut Kremlin, gerakan akan dilakukan setelah Olimpiade Musim Dingin di Sochi selesai. "Putin ingin mewujudkan Uni Soviet 2.0, dan Ukraina akan menjadi target menuju dunia baru," ucap pengamat politik Rusia, Sergey Kurginyan.

Eko Ari Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus