Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Internetmu, Sensorku

Undang-undang baru memungkinkan Turki memblokir situs tanpa putusan pengadilan. Upaya pemerintah membungkam oposisi dan pengkritik.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratusan polisi antihuru-hara melemparkan gas air mata dan menembakkan meriam air ke lebih dari 2.000 warga Turki yang berdemonstrasi di Alun-alun Taksim, Istanbul, pada Sabtu dua pekan lalu. Barisan polisi yang dilengkapi rompi antipeluru juga mengerahkan mobil lapis baja untuk menghalau dan memukul mundur demonstran, yang kebanyakan kaum muda.

Bentrokan tak terelakkan saat para demonstran membalas dengan melemparkan kembang api dan batu ke arah polisi. Mereka juga memecahkan kaca jendela dan mencoret-coret bangunan. "Saya membayar tagihan Internet saya sendiri, tapi pemerintah yang menentukan situs apa yang bisa saya lihat," kata Semih, seorang demonstran.

Protes di jalanan itu memang sengaja digelar beberapa hari setelah parlemen Turki yang didominasi Partai AKP, kubu Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan, meloloskan undang-undang Internet baru yang kontroversial. Undang-undang ini memungkinkan pemerintah, melalui Direktorat Telekomunikasi, memblokir atau menghapus situs tanpa menunggu putus­an pengadilan. Berdasarkan undang-undang baru itu pula penyedia jasa Internet atau provider diwajibkan menyimpan data pelanggan selama dua tahun dan wajib memberikannya kepada pihak berwenang jika dibutuhkan tanpa persetujuan pengadilan.

Parlemen meloloskan undang-undang baru itu setelah melalui perdebatan alot beberapa jam pada Rabu dua pekan lalu. Di parlemen, Partai AKP menguasai 319 dari 550 kursi.

Pemerintah Turki mengklaim undang-undang baru ini akan memperkuat perlindungan bagi rakyat di Internet. Menurut pemerintah, aturan baru ini akan melindungi remaja dan keluarga dari situs yang mempromosikan penyalahgunaan narkoba, pornografi, dan ajakan melakukan bunuh diri.

Erdogan, yang menjadi perdana menteri sejak 2008, membantah tuduhan adanya upaya penyensoran lewat undang-undang baru. "Aturan-aturan ini tidak menerapkan sensor apa pun di Internet, sebaliknya malah membuatnya lebih aman dan bebas," ujarnya kepada ribuan pendukungnya di Istanbul, Sabtu dua pekan lalu. Dia juga membantah kabar bahwa pemerintah kini dapat mengakses data pribadi pengguna Internet.

Kalangan oposisi berpendapat lain. Mereka menganggap undang-undang yang masih harus ditandatangani Presiden Abdullah Gul itu sebagai bentuk kemunduran dalam demokrasi. Kalangan oposisi juga menilainya sebagai upaya Erdogan membungkam oposisi dan kritik terhadap pemerintah.

Para pengkritik menuding sensor Internet sebagai upaya Erdogan untuk mengekang perbedaan pendapat dan menghentikan pengungkapan kasus korupsi lewat dunia maya. Desember tahun lalu, dugaan skandal korupsi yang melibatkan tiga anak menteri dan orang dekat Erdogan terkuak. Polisi melakukan penangkapan besar-besaran. Erdogan, yang menuding penangkapan itu sebagai upaya merongrong pemerintahannya, memecat 350 pejabat kepolisian dan kejaksaan. Secara tak langsung, dia menuduh Fethullah Gulen, ulama yang mengasingkan diri di Pennsylvania, Amerika Serikat, berada di balik manuver-manuver itu.

Gelombang protes terhadap skandal korupsi pemerintah semakin besar dan mulai merambah dunia maya. Masyarakat beralih menggunakan media sosial, seperti Facebook dan Twitter, untuk bersuara setelah banyak media menghindari pemberitaan berimbang dari sisi pemrotes. Erdogan sampai menyebut Twitter sebagai "ancaman" sosial.

Karena Twitter pula pemerintah Turki mendeportasi jurnalis Azerbaijan, Mahir Zeynalov. Di Twitter, Zeynalov berkicau tentang pemerintah Erdogan pada 25 Desember 2013. Pria yang berizin tinggal di Turki hingga 10 Maret 2014 ini dituding menentang pemerintah dan melanggar Undang-Undang Nomor 5683.

Kecaman terhadap undang-undang Internet yang baru datang pula dari Uni Eropa, yang menyebutnya sebagai "keprihatinan serius", bahkan ancaman bagi kebebasan pers. "Ini langkah mundur dalam lingkungan yang sudah mencekik kebebasan media," kata Presiden Parlemen Uni Eropa Martin Schulz.

Rosalina (AP, Channel News Asia, Al-jazeera, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus