Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bebas Digempur Solidaritas

Mahkamah Agung membatalkan putusan kasasi yang menghukum dokter Ayu dan kawan-kawan. Sejumlah dokter disebut-sebut telah melakukan "gerilya" ke Mahkamah agar Ayu dibebaskan.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani rupanya tak mau buru-buru berbaur dengan masyarakat umum. Sabtu dua pekan lalu, begitu bebas dari penjara Malendeng, Manado, ia langsung terbang ke Denpasar, menemui keluarganya.

Esok harinya, ia melakukan ritual khusus: melukat. Ritual itu berlangsung di Pura Pancoran Selukat, Keramas, Gianyar. Setelah bersembahyang, perempuan 38 tahun itu lalu diguyur air pancuran. "Istilahnya membuang sial, agar semua permasalahan tak terulang lagi," kata Ayu, Selasa pekan lalu.

Bersama dua rekannya yang juga dokter, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian, Ayu sempat mendekam tiga bulan di penjara. Majelis hakim kasasi yang dipimpin Artidjo Alkostar menghukum mereka 10 bulan penjara. Majelis kasasi menganggap ketiga dokter tersebut melakukan kelalaian sehingga membuat seorang pasien Rumah Sakit Umum Kandou Malalayang, Manado, tewas.

Jumat dua pekan lalu, majelis hakim peninjauan kembali Mahkamah Agung mengoreksi putusan itu. Majelis yang dipimpin M. Saleh mengabulkan permohonan PK Ayu dan kawan-kawan. Majelis juga memerintahkan nama baik ketiga orang tersebut dipulihkan. "Putusannya sama seperti peradilan tingkat pertama," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur. Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Manado, 15 September 2011, Ayu dan kawan-kawan divonis bebas.

n n n

JULIA Fransiska Makatey meninggal di Rumah Sakit Kandou Malalayang pada 10 April 2010 sekitar pukul 22.20 waktu setempat. Perempuan 25 tahun itu meninggal 20 menit setelah menjalani operasi caesar. Ayu pelaksana operasinya. Adapun Hendry dan Hendy bertindak sebagai asisten. Berbeda dengan ibunya, bayi Siska bisa diselamatkan.

Kematian Siska berbuntut panjang. Orang tua mereka, Anselmus Makatey dan Yulin Mahengkeng, menuding kematian Siska akibat terlambat ditangani tiga dokter itu. Siska tiba di rumah sakit pukul 07.00, tapi baru menjalani operasi pukul 20.55. Padahal Siska, yang datang sebagai pasien rujukan puskesmas, dalam kondisi lemah dan ketuban pecah.

Menduga anaknya menjadi korban kesembronoan dokter, Anselmus dan Yulin melaporkan kasus itu ke Kepolisian Resor Kota Besar Manado. Perkara ini kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Manado.

Dalam dakwaannya, merujuk pada hasil visum, jaksa menyebutkan Siska meninggal karena emboli alias masuknya udara ke bilik kanan jantung korban. Udara itu menghalangi aliran darah ke paru-paru, sehingga memicu gagal paru-paru dan gagal jantung.

Jaksa menuduh Ayu dan kawan-kawan lalai dalam menangani Siska, baik sebelum maupun saat operasi. Sebelum operasi, dokter tak melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan jantung dan foto roentgen. Dokter baru melakukan pemeriksaan jantung setelah operasi selesai.

Menurut jaksa, Ayu dan kawan-kawan tak menjelaskan risiko terburuk operasi, termasuk kematian, kepada pasien dan keluarganya. Kendati rumah sakit menunjukkan persetujuan pasien untuk tindakan operasi, itu diduga palsu. Tanda tangannya berbeda dengan tanda tangan dalam kartu tanda penduduk Siska.

Kejaksaan juga mempersoalkan Ayu cs yang melakukan operasi tanpa surat izin praktek. Sewaktu mengoperasi Siska, ketiga dokter junior itu tak didampingi dokter senior. Mereka hanya berkonsultasi lewat telepon dengan dokter konsulen jaga saat itu.

Semua dakwaan jaksa ditolak hakim Pengadilan Negeri Manado. Majelis hakim justru memvonis bebas Ayu dan dua rekannya. Tak puas, jaksa pun mengajukan permohonan kasasi.

Menurut jaksa, hakim tak mempertimbangkan sejumlah fakta yang relevan. Antara lain fakta bahwa operasi tak segera dilakukan padahal pasien datang dalam kondisi darurat, tak semua tindakan medis tercatat dalam rekam medis, obat yang dimasukkan lewat cairan infus tak diketahui para terdakwa, dan resep obat dikeluarkan berulang sampai ditolak apoteker.

Pada 12 September 2012, majelis kasasi menyatakan hakim pengadilan pertama salah menerapkan hukum. Menurut hakim kasasi, tindakan dokter Ayu cs mempunyai "hubungan kausal" dengan kematian Siska. Majelis pun menghukum Ayu dan kedua koleganya masing-masing sepuluh bulan penjara.

Jaksa akhirnya menahan Ayu dan kawan-kawan dalam waktu berbeda. Dokter Ayu ditahan paling awal, pada 11 November lalu. Aksi jaksa mendapat reaksi keras dari teman seprofesi. Puluhan dokter di Manado menggelar unjuk rasa memprotes eksekusi itu. Demo serupa terjadi di Bogor, Medan, Jakarta, Kupang, Sidoarjo, dan Purbalingga. Para dokter menggalang dukungan lewat forum Solidaritas Tolak Kriminalisasi Dokter.

Perlawanan para dokter tak hanya berlangsung di jalanan. Dokter Ayu dan kedua kawannya menempuh upaya hukum luar biasa dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Ayu menunjuk pengacara senior di Jakarta, Otto C. Kaligis, di samping pengacara lokal yang sejak awal mendampingi mereka.

Akhir Januari lalu, tujuh dokter yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Agung Sapta Adi, salah seorang dokter penggugat, mengaku mengenal penggugat lain lewat jejaring Facebook ketika menggalang dukungan untuk dokter Ayu.

Agung dan kawan-kawan meminta Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang Praktek Kedokteran. Undang-undang ini mengatur pasien dan keluarganya yang dirugikan bisa mengadukan dokter ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Lebih tegas lagi, pasal 66 ayat 3 menyebutkan pengaduan itu tak menghilangkan hak orang melaporkan dugaan tindak pidana ke polisi atau menggugat perdata ke pengadilan.

Menurut Agung, tindak pidana dalam pasal ini bisa ditafsirkan macam-macam. Dokter berpotensi dipenjara karena laporan pasien atau keluarga yang tak puas. Agung dan kawan-kawan pun meminta Mahkamah Konstitusi mempersempit arti tindak pidana di bidang kedokteran.

Luthfi Hakim, kuasa hukum mereka, mengatakan seharusnya ada dua kriteria tindakan kedokteran yang bisa masuk ke ranah hukum. Pertama, tindakan kedokteran yang mengandung kesengajaan. Misalnya dokter menggugurkan kandungan secara ilegal. Kedua, tindakan kedokteran yang mengandung kelalaian nyata atau berat. Contohnya, tertinggalnya peralatan medis di dalam tubuh pasien. Tapi, sebelum dilaporkan ke polisi atau ke pengadilan, "kesengajaan" dan "kelalaian" harus dinyatakan terbukti dulu dalam sidang MKDKI.

Bersamaan dengan perlawanan terbuka di Mahkamah Konstitusi, menurut sumber Tempo, sejumlah dokter juga terus bergerilya hingga beberapa hari sebelum Mahkamah Agung memutuskan permohonan peninjauan kembali. Lewat seorang pengacara senior di Ibu Kota, mereka berusaha "memberi masukan" kepada Mahkamah Agung.

Para dokter senior lulusan berbagai perguruan tinggi di Jawa itu mencoba menitipkan pandangan mereka soal kasus dokter Ayu. Mereka ingin meyakinkan hakim bahwa kasus emboli yang menjadi penyebab kematian Siska tak bisa diprediksi dan sangat jarang terjadi. Jaksa juga tak bisa membuktikan operasi oleh dokter Ayu dan kawan-kawan berhubungan langsung dengan kejadian emboli.

Namun perihal adanya gerilya para dokter itu dibantah juru bicara Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur. "Tak ada itu," ujarnya Kamis malam pekan lalu. Menurut Ridwan, ketika kasus dokter Ayu mencuat, sejumlah dokter memang pernah mendatangi gedung Mahkamah. Waktu itu Ridwan mengatakan dia dan sejumlah panitera yang menemui mereka. "Tidak ada hakimnya, Kami hanya menerima mereka yang menyampaikan aspirasi," ucapnya. "Dan itu tak mempengaruhi putusan hakim."

Jumat dua pekan lalu, Mahkamah Agung pun mengabulkan peninjauan kembali yang dimintakan dokter Ayu dan kawan-kawan. Menurut Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi, heboh kasus dokter Ayu semestinya menjadi peringatan bagi para dokter untuk meningkatkan pelayanan mereka. Di mata YLKI, pelayanan dokter di Indonesia masih jauh dari ideal. Kasus salah diagnosis, misalnya, masih kerap terjadi. "Kasus ini harus menjadi cambuk untuk meningkatkan kinerja," ujar Tulus.

Jajang J., Yuliawati, Sundari, Sukma N.L. (Jakarta), Budhy N., Isa A.J. (Manado), Putu H.I. (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus