DI kawasan Laut Cina Selatan, sumber konflik regional yang terpendam pekan lalu muncul ke permukaan. Pemerintah Cina, menurut Hanoi, mengirim pasukan dan mematok tanda teritorial baru di sejumlah pulau di Kepulauan Spratlys di Laut Cina Selatan. Selasa pekan lalu, Hanoi secara resmi melayangkan protes dan meminta Beijing menarik mundur pasukannya, karena "melanggar kedaulatan wilayah Vietnam". Bila ini disebut-sebut sebagai sumber konflik yang serius, soalnya bukan cuma Vietnam dan Cina yang mengaku memiliki Kepulauan Spratlys. Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Brunei pun mengklaim kepulauan yang terdiri dari 433 pulau kecil (kebanyakan pulau karang) dan diduga kaya mineral itu masuk ke dalam teritorialnya. Dan yang sudah melangkah jauh dalam mengatur strategi untuk menguasai Spratlys adalah Cina. Februari silam, Beijing membuat kejutan: parlemen Cina meloloskan undang-undang yang menyebut kepulauan Spratlys wilayah Cina dan memberi hak penggunaan militer untuk mempertahankan klaimnya. Yang lebih melibatkan konflik internasional, Mei silam Cina memberi konsesi eksplorasi minyak di Spratlys kepada perusahaan minyak AS, Crestone Energy Corp. Hal itu disertai janji bila Crestone mengalami kesulitan keamanan dari negara lain, Beijing sudah menyiapkan "kekuatan penuh angkatan laut"nya. Sejauh ini Crestone Energy Corp mengaku sudah mulai mengumpulkan data seismografi di wilayah seluas 8.000 km di kawasan Laut Cina Selatan yang disengketakan itu. Hasil penelitian menunjukkan, kawasan itu (diduga) mengandung kekayaan satu milyar barel minyak. Pihak Vietnam sendiri selama ini sudah meneken kontrak eksplorasi minyak di Laut Cina Selatan dengan sejumlah perusahaan minyak dari Rusia, Jepang, Eropa, Asia, dan Australia. Yang kini mencemaskan sejumlah pengamat, diduga Beijing tak sekadar ingin menguasai minyak Spratlys. Sejumlah pengamat menduga Beijing juga punya niat menjadikan Spratlys dan Kepulauan Paracels yang sudah dikuasainya sebagai basis angkatan lautnya di Laut Cina Selatan. Karena letaknya yang strategis, Spratlys selama Perang Dunia II pernah dijadikan basis armada kapal selam Jepang. Pemecahan damai soal Spratlys sudah dilakukan. Dua pekan lalu, misalnya, Indonesia menyelenggarakan pertemuan informal tentang sengketa Spratlys di Yogyakarta, yang dihadiri oleh semua pihak yang bersengketa. Di situ Hanoi menuduh Cina melakukan "kebijaksanaan dua muka": sesumbar ingin damai tapi melakukan gerakan militer. Kepulauan Spratlys oleh Vietnam disebut Truong Sa, sedangkan Cina menamakannya Nansha, tersebar di wilayah seluas hampir 390.000 kmu22. Dari 12 pulau yang agak besar, Pulau Itu Aba merupakan yang terluas (36 ha). Sebelum tahun 1970, Spratlys cuma terkenal karena lokasinya yang strategis sebagai kunci jalur pelayaran dagang. Prancis menduduki selama Perang Dunia II, Jepang menguasai kepulauan yang banyak dihuni kurakura dan burung camar itu. Seusai PD II Cina (Nasionalis) mendirikan basis militer di Pulau Itu Aba, yang sampai kini masih dikuasai Taiwan. Ketika Jepang mengumumkan pelepasan haknya atas Spratlys pada 1951, Taiwan, Cina (Komunis), dan Vietnam langsung mengklaim sebagai pemilik sebenarnya. Empat tahun berselang Filipina nimbrung. Belakangan Malaysia (1983) dan Brunei juga mengklaim sejumlah pulau yang dekat ke wilayah laut mereka. Kini 21 pulau di Spratlys dikuasai Vietnam, 8 Cina, 8 Filipina, 2 Malaysia, dan 1 Taiwan. Pada 1970, dugaan adanya kandungan besar minyak lepas pantai di sekitar Spratlys menghangatkan kembali sengketa pemilikan kepulauan itu. Pemerintah Vietnam Selatan pada 1973 menggabungkan Spratlys dalam wilayah Provinsi Phuoc Tuy, sekaligus meneken kontrak dengan sejumlah perusahaan minyak asing untuk melakukan eksplorasi minyak di sana. Beijing langsung menegaskan klaimnya serta mengirim pasukannya untuk menduduki Kepulauan Paracels, yang terletak di utara kepulauan Spratlys. Saat itu pula Vietnam Selatan mulai menduduki tiga pulau di Kepulauan Spratlys, untuk menandingi aksi Cina yang menduduki Paracels. Tiga tahun berselang Filipina mengirim pasukannya, menduduki tujuh pulau, dan membangun landasan kapal terbang di pulau Pagasa. Di Pulau Layang-Layang, Malaysia pun kabarnya tengah mengusahakan eksplorasi minyak. Banyak pihak meragukan Beijing maupun Vietnam bakal mengorbankan hubungan yang mulai membaik setahun terakhir ini karena kasus Spratlys. PM Li Peng sendiri rencananya bakal mengunjungi Hanoi akhir tahun ini. Pertemuan tingkat menteri ASEAN di Manila 22 Juli mendatang diduga bakal bisa meredakan ketegangan kasus Laut Cina Selatan itu. Beijing dan Hanoi ikut hadir dalam pertemuan Manila itu sebagai pengamat. Itu bila tak telanjur ada konflik senjata serius di situ. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini