PAKJUL alias Paket Juli 1992 kepalang tanggung? Itulah kesan pertama berbagai kalangan, juga penulis. Deregulasi sektor riil telah lama ditunggu dengan antisipasi yang segudang. Tapi, waktu diumumkan pekan lalu, Pakjul merupakan suatu antiklimaks. Juga ada kesan Pakjul disiapkan agar ada "hadiah" yang dibawa ke sidang pertama CGI di Paris minggu ini. Itu agaknya sesuai dengan pola sebelumnya Pakjun 1991 dan Pakmei 1990. Berbagai kritik tampaknya menyentuh pada aspek yang mendasar. Bukan cuma membicarakan apa yang ada dan tidak ada dalam Pakjul. Maka, sudah sepatutnya dinilai kembali pembahasan pokok dalam proses deregulasi. Pertama perihal deregulasi di bidang perdagangan dalam bentuk pengurangan hambatan nontarif dan tarif. Dalam Pakjul, hambatan nontarif yang dihapus terutama untuk besi baja dan impor mesin bekas. Keduanya penting karena bisa menekan biaya produksi untuk pemakai di hilir. Pengurangan hambatan nontarif merupakan penerusan dari paket yang lalu. Tindakan itu berhasil menurunkan pangsa impor yang terpengaruh tata niaga impor, dari 43% sampai 13% setelah Paket Juni 1991. Nilainya sekitar US# 2 milyar. Pakjul diperkirakan bisa ikut menurunkan pangsa impor yang terpengaruh oleh tata niaga impor. Namun, masih ada berbagai komoditi dan produk yang belum disentuh oleh Pakjul, terutama di sektor pertanian dan produk pengolahan pertanian, juga di sektor manufaktur. Sekitar 35% dari sisa hambatan impor nontarif adalah untuk impor tepung terigu, kedele, gula, beras dan susu bubuk. Kategori kedua terbesar impornya masih diatur oleh tata niaga impor adalah input untuk industri perakitan otomotif (misalnya mesin) dan alat berat (misalnya buldoser). Impor tepung, kedele, gula, dan susu bubuk adalah penyebab naiknya biaya produk tersebut, yang merupakan input penting untuk industri pengolahan makanan. Bahkan gula bukan saja diperlukan untuk industri pengolahan makanan, tapi juga untuk keperluan industri lain seperti farmasi. Peningkatan biaya tersebut mengurangi efisiensi dan daya saing industri tadi, dan mempengaruhi proses diversifikasi dari sektor perindustrian Indonesia. Industri pengolahan makanan amat penting untuk dikembangkan, mengingat keterkaitannya dengan sektor pertanian dan potensi ekspor. Juga manfaatnya untuk konsumen yang dapat menikmati produk makanan dengan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik. Daya serap tenaga kerja sektor ini, baik langsung maupun tidak, juga besar karena kaitannya dengan perkebunan serta pabrik pengolahan makanan dan minuman. Justifikasi pengaturan impor produk pertanian ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dengan memberi perlindungan, menjaga agar stok makanan dan harga stabil, dan mengembangkan koperasi (misalnya koperasi susu segar). Di luar beras, orang perlu menilai kembali apakah tujuan-tujuan tersebut memang tercapai. Misalnya bila tujuannya adalah untuk mengembangkan koperasi susu segar, apakah tidak lebih baik upaya langsung diarahkan kepada tarif yang berangsur-angsur diturunkan? Lalu tentang proteksi di sektor otomotif yang ternyata tak disebut-sebut dalam Pakjul. Semua kalangan di luar sektor otomotif merasa sektor tersebut sudah lama menikmati proteksi tinggi, dan sudah waktunya untuk menurunkan proteksi agar konsumen dapat menikmati harga kendaraan yang layak dan rasionalisasi sektor otomotif dapat dimulai. Jawaban Pemerintah: deregulasi sektor otomotif sedang dimatangkan karena permasalahannya pelik dan menyangkut banyak pihak. Permasalahan memang akan selalu ada dalam menurunkan proteksi karena tentunya menyangkut rencana investasi investor maupun PHK. Maka, proses penurunan proteksi selalu dilakukan bertahap. Ini pun merupakan bagian dari jawaban Pemerintah. Namun, tahapan dan jangka waktu yang direncanakan untuk menurunkan proteksi belum jelas. Jika rencana dan tahapan proteksi tidak diumumkan, pengusaha yang menikmati proteksi akan selalu dapat berkilah mereka melakukan investasi dengan memperhitungkan adanya proteksi. Jika akan diubah, harus diperhitungkan biaya investasi yang akan hilang, hingga proteksi perlu diulur beberapa tahun lagi. Pengusaha tak bisa disalahkan. Mereka bertindak rasional dengan memperhitungkan proteksi dalam rencana kerjanya. Maka, amat penting bagi Pemerintah memberikan isyarat dari arah, rencana, dan tahapan penurunan proteksi sektor otomotif dan sektor lain. Hingga pengusaha dapat melakukan perencanaan dan penyesuaian jika memang suatu bidang tidak akan menguntungkan lagi setelah tidak diproteksi. Khususnya untuk industri otomotif, rasionalisasi perlu dipikirkan dan kebijaksanaan deregulasi disesuaikan. Senada dengan pemikiran tersebut, Pemerintah juga perlu memberi isyarat yang jelas mengenai kemungkinan ditingkatkannya proteksi. Hal tersebut penting bagi perencanaan investor yang ingin menanamkan modal dalam sektor yang di"target"kan. Juga untuk investor/produsen di sektor lain yang akan terpengaruh. Belakangan ini timbul kecenderungan, pada saat yang sama deregulasi dijalankan untuk mengurangi hambatan impor dan menurunkan tarif, timbul peningkatan upaya substitusi impor yang diperkirakan akan memerlukan proteksi, seperti olefin. Jika olefin diberi proteksi dalam bentuk tarif, pengguna hilir akan juga minta diberi proteksi karena biaya bahan bakunya meningkat dan seterusnya. Produk paling hilir dari olefin adalah plastik, bahan baku pokok untuk semua industri. Bisa dibayangkan jika kecenderungan tersebut meningkat. Strategi industrialisasi di Indonesia berada di simpang jalan. Produksi untuk ekspor memang dapat berlangsung tanpa dipengaruhi oleh biaya input mahal yang disebabkan proteksi, karena ada fasilitas dari Badan Pengembangan Ekspor Nasional: eksportir dapat pengembalian bea masuk dan dapat mengimpor tanpa melalui sistem tata niaga impor. Tapi sebenarnya fasilitas ini adalah pemecahan sementara, sampai proteksi bisa diturunkan secara bertahap hingga produksi dalam negeri mulai efisien, harga input turun dan para eksportir mulai meningkatkan penggunaan bahan baku serta bahan penolong dalam negeri. Sering terdengar keluhan bahwa keberhasilan peningkatan ekspor nonmigas terjadi seiring dengan naiknya impor, dan kita cuma jadi "tukang jahit" orang asing. Pasaran, bahan baku, dan teknologi masih dikuasai mereka. Fakta tersebut memang betul. Itu pula nasib semua negara yang "baru" mulai mengekspor. Yang sering tersirat dalam polemik ini adalah gagasan untuk meningkatkan proteksi atau memilih sektor yang perlu dikembangkan agar sektor hilir di dalam negeri yang memiliki sumber daya alam dapat diperkuat demi substitusi impor. Argumentasi seperti itu mewarnai gagasan untuk proteksi atau pemberian fasilitas khusus untuk berbagai industri hilir, seperti petrokimia, mesin, alat pengangkutan, dan alat berat. Argumentasinya tidak asing lagi. Tapi yang bisa dipertanyakan: adakah ini jalan terbaik untuk memperdalam sektor industri? Pertanyaan lain yang perlu dijawab dalam rangka ini: apakah Pemerintah ingin suatu beleid industri yang membenarkan adanya sektor-sektor yang di"target"kan? Apa kriteria pemilihan sektor yang jadi target? Siapa yang memilih dan apakah proses pemilihan dapat dijalankan dengan transparan? Sampai kapan proteksi atau fasilitas khusus diberikan? Bagaimana menetapkan kriteria maupun insentif agar yang menerima proteksi benar-benar meningkatkan efisiensi hingga saat tertentu tak lagi perlu proteksi? Kelompok kedua yang timbul karena Pakjul berkaitan dengan kemudahan untuk penanaman modal asing. Khusus untuk PMA, Pakjul mengizinkan HGU untuk patungan dalam sektor perkebunan. Digabung dengan Keppres 17 April mengenai pemilikan saham 100% dalam perusahaan PMA, Pemerintah boleh dibilang telah mendobrak beleid PMA di Indonesia. Sebab, hak tanah yang dimiliki oleh asing dan pemilikan 100% oleh asing masih dianggap dapat mengganggu kepentingan nasional. Ini langkah positif. Tapi yang perlu dikaji lebih lanjut adalah, apakah yang diinginkan oleh Pemerintah dari PMA. Dan kebijakan apa yang perlu ditempuh agar peraturan yang baru itu bisa berlaku konsisten. Kalau Pemerintah sudah bisa menerima pemilikan asing di perkebunan, mengapa sebatas perusahaan patungan. Mengapa tidak tuntas dan berlaku umum. Bukankah hak terhadap air di Bintan sudah dibuka untuk asing. Jadi mengapa yang 100% milik asing tidak juga mendapat hak tersebut? Pendekatan kebijakan PMA selama ini diwarnai pertimbangan kepentingan nasional dan kekhawatiran "eksploitasi" pihak asing. Berbagai peraturan, seperti pengalihan modal ke pihak Indonesia dan lokalisasi manajemen, diarahkan untuk meningkatkan partisipasi Indonesia dalam pengembangan PMA bersangkutan. Yang patut dipertanyakan: adakah dengan pemilikan dan peraturan pemilikan tanah, Pemerintah berhasil mencegah kecenderungan pihak asing untuk "menguasai"? PMA selalu punya kiat untuk mengatasi peraturan. Asing yang ingin punya hak atas tanah senantiasa bisa menggunakan pihak Indonesia. Apakah pengalihan saham di pihak Indonesia yang berlaku hingga kini melalui berbagai cara seperti menjual saham di pasar modal atau mengundang sleeping partner benar berhasil meningkatkan peran serta pihak Indonesia dan manfaat PMA bagi pihak Indonesia? Akibatnya adalah proses yang tidak transparan dan peningkatan biaya transaksi. Yang penting adalah untuk kembali mengevaluasi apa yang kita inginkan dari PMA. Terutama bagaimana meningkatkan manfaat untuk pihak Indonesia. Penyerapan teknologi dan akses pasar hanya bisa terjadi jika sumber daya manusia dan jaringan perusahaan domestik mampu menyerapnya. Ada baiknya kita menoleh kembali pada pentingnya sarana pendidikan dan sumber daya manusia. Pengalaman membuktikan betapa hal tersebut adalah salah satu kunci penting mengapa negara-negara seperti Taiwan dapat meraih manfaat dari PMA. Pengembangan keterkaitan dengan perusahaan domestik dan penyelia domestik memerlukan iklim usaha yang pasti, hingga investor dapat melakukan perencanaan jangka panjang. Ketiga, bagaimana dengan pemerataan? Kerap terdengar kritik, deregulasi cuma bikin senang perusahaan besar. Menurut kami, deregulasi per sektor tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan akan membantu pengusaha kecil dan menengah. Sebab tujuannya adalah agar perusahaan yang efisien apakah dia besar, menengah, atau kecil dapat berkembang. Boleh digarisbawahi, iklim berusaha makro saat ini cenderung diarahkan terhadap perusahaan besar atau yang dari sektor formal. Misalnya memudahkan izin dan prosedur lisensi sebagian besar dilakukan untuk investasi yang melalui BKPM. Sedangkan untuk perusahaan kecil dan menengah yang tidak melalui BKPM, mereka masih menghadapi birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit. Padahal pemrosesan perizinan adalah biaya yang tetap, hingga sebagai proporsi biaya yang dihadapi oleh perusahaan kecil akan jauh lebih besar dibandingkan dengan perusahaan besar. Sering juga terdengar bahwa deregulasi telah memperburuk kesenjangan. Menurut kami, terlalu banyak beban yang diberikan kepada deregulasi jika deregulasi dianggap dapat menyelesaikan semua permasalahan termasuk aspek pemerataaan. Deregulasi dijalankan untuk meningkatkan efisiensi kita akan memerlukan kebijakan lain untuk target pemerataan dan mengurangi kesenjangan. Akhir kata, sudah waktunya polemik deregulasi beranjak dari penilaian isi paket ke masalah yang lebih mendasar. Semua pembahasan di atas mempertanyakan peran Pemerintah. Dalam era pascaderegulasi, apa seharusnya peran Pemerintah? Pada dasarnya, melakukan intervensi bila kekuatan pasar tidak jalan. Namun perlu disadari, deregulasi dengan sendirinya meningkatkan peran dan kepentingan swasta dalam menentukan tingkat pertumbuhan dan kualitas pertumbuhan suatu negara. Maka dalam melakukan proses deregulasi perlu tuntas. Bukan setengah jalan atau berbalik arah dalam mendukung peran swasta. Peran terpenting Pemerintah adalah sebagai fasilitator yang bersahabat terhadap swasta, sebagai penegak hukum dan menentukan kebijakan dan implementasi untuk tujuan pemerataan dan pengurangan kesenjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini