Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Subversi karena menanam padi

4 penduduk desa montang betok, lombok timur, direndam di halaman kodim setempat, mereka bisa dituduh melakukan subversi karena berani menanam padi lokal di sawahnya. (hk)

19 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT orang penduduk Desa Montong etok, Kecamatan Terare, Lombok Timur, mengalami nasib naas. Dua hari berturut-turut mereka diperiksa Komandan Kodim setempat, dan -- ini yang asyik -- disuruh berendam di air kolam di halaman Kodim. Kesalahan mereka, konon: membela seorang petani -- juga ikut direndam yang sudah berani menanam padi lokal di sawahnya. Padahal sawah miliknya itu sudah terdaftar untuk ditanami bibit unggul padi IR dalam program Intensifikasi Khusus (Insus). "Kami disuruh menyelam dalam kolam itu selama tiga jam tanpa membuka pakaian," ujar Amak Jenah, 50 tahun, si petani. Kejadian yang menghebohkan penduduk Lombok Timur itu diawali dengan panggilan Dandim Letkol Koswara kepada lima orang penduduk desa tersebut: Koswara juga memanggil Arifin (guru SD), Kartanah (guru SD), H. Kamaruddin (bekas kepala desa) serta anak Kamaruddin, Yanis Maladi (anggota DPRD tk. II dari Fraksi Persatuan Pembangunan) di samping Janah sendiri. Dan 28 Januari, kelima penduduk itu datang memenuhi panggilan. Lalu, "Komandan Kodim menuduh tindakan kami bisa digolongkan merongrong wibawa pemerintah," ujar Yanis. Menurut Yanis, dalam pemeriksaan, Koswara membentak-bentak mereka -- tanpa menyebut kesalahan apa yang mereka perbuat. Karena hari itu ada sidang di DPRD, di tengah pemeriksaan Yanis terpaksa minta izin pergi lebih dulu. "Sepeninggal Yanis kami berempat direndam di halaman Kodim," ujar Jenah. Dan kejadian itu berulang kembali esok harinya. Rupanya salah seorang dari mereka, ayah Yanis, Kamaruddin (56 tahun), tidak kuat menerima siksaan. Ia pingsan begitu keluar dari kolam. "Sampai sekarang ia masih sakit. Sebab itu jangan diganggu dulu," ujar Yanis kepada TEMPO. Dua hari setelah penyiksaan itu barulah pihak Kodim membuat berita acara untuk Amak Jenah, Arifin dan Kartanah. "Tapi sampai saat ini saya belum tahu apa kesalahan saya," ujar Kartanah, yang merasa kehilangan harga dirinya sebagai pegawai negeri akibat kejadian itu. Kesalahan kelima penduduk itu memang kabur. Yang pasti Amak Jenah nekat menanami sawah mereka dengan padi lokal -- bersama tiga rekannya Amak Saim, Amak Mandam dan Amak Nisam. Padahal keempat petani itu sudah menandatangani persetujuan iku program Insus. Tahun ini sawah mereka juga termasuk yang dicadangkan untuk bibit unggul itu. "Tapi setelah ditunggu-tunggu, bibit itu tidak datang juga," alasan Jenah. Sementara hujan yang langka di daerah itu kebetulan pula turun. "Daripada menunggu lama-lama. Padahal ada hujan." Selain itu, kata Jenah -- yang juga dibenarkan para petani di desa itu -- padi IR sebenarnya tidak cocok di daerah itu. Harganya juga lebih murah dari padi lokal. Jenah sendiri mengaku, panennya dua kali gagal karena memakai bibit yang dibilang unggul itu. Tapi tindakan mereka itu menggusarkan Kepala Desa, Kopral Satu Mahrip. Ia ini anak buah Koswara yang dikaryakan di situ. Mahrip, katanya, naik pitam. Ia mengancam akan mengambil tindakan kekerasan kalau keempat petani itu tidak mencabut kembali itu bibit lokal. Tiga orang rekan Jenah segera patuh. Tapi Jenah tidak -- ini soalnya. Ia tetap bertahan walau Mahrip melakukan berbagai penekanan. "Saluran air sawah saya sampai ditutup Kepala Desa," kata Jenah. Lalu, tindakan Mahrip itulah justru yang dilaporkan Jenah kepada Yanis Maladi. Ingat ia ini anggota DPRD. Nah: waktu melapor itu, Jenah ditemani dua guru SD di desa itu, Arifin dan Kartanah. "Saya menyarankan agar laporan itu disampaikan ke Ketua DPRD, karena saya hanya salah seorang anggota," ujar Yanis yang kebetulan anggota DPRD termuda di situ. Jenah kemudian menurut: melapor resmi ke Ketua Dewan. Dan pengaduan itulah rupanya yang memunculkan panggilan Komandan Kodim kepada kelima penduduk tersebut. "Padahal ayah saya, Kamaruddin, tahu soal Insus pun tidak," tutur Yanis lagi. Satu sumber di desa itu mengaukan, sentimen pribadi Mahrip kepada Kamaruddin yang digantikannya sebagai kepala desa itulah penyebab orang tua iu turut diadukan ke Kodim. Mahrip sendiri tidak bisa ditemui TEMPO. Tapi soal pribadi Mahrip itu dibenarkan juga oleh Komandan Kodim, Koswara. Hanya, kata Koswara, Mahrip tidak salah dalam kasus itu. "Ia 'kan hanya mengikuti petunjuk pemerintah tentang apa-apa yang harus dilaksanakan warganya," katanya. Koswara juga membantah melakukan penyiksaan yang sudah disebut itu. "Mereka saya panggil hanya untuk didengar keterangannya," katanya. Ia melakukan pemanggilan, katanya, karena merasa bertanggungjawab . . . dan seterusnya. Kebetulan pula Mahrip anak buahnya. "Kalau anak buah saya gagal berarti misi saya membantu rakyat juga gagal. Bisa-bisa Panglima menegur saya, karena tidak becus membina anak buah dalam tugas kekaryaan," ujar Koswara lagi. Lalu, baik Bupati Lombok Timur maupun Gubernur NTB menganggap persoalan yang menghebohkan itu sudah selesai. "Tidak ada apa-apa, kok," ujar Gubernur Gatot Suherman di tengah kesibukannya menanggulangi ancaman musim kering yang bakal melanda wilayahnya. Gatot menilai, tindakan beberapa petani di desa itu tidak menuruti apa yang sudah disetujui bersama dengan aparat pemerintah. "Itu bisa dicap subversi, karena bisa menggagalkan program pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan," ujar Gubernur lagi. Nah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus