EMPAT orang penduduk Desa Montong etok, Kecamatan Terare,
Lombok Timur, mengalami nasib naas. Dua hari berturut-turut
mereka diperiksa Komandan Kodim setempat, dan -- ini yang asyik
-- disuruh berendam di air kolam di halaman Kodim. Kesalahan
mereka, konon: membela seorang petani -- juga ikut direndam
yang sudah berani menanam padi lokal di sawahnya. Padahal sawah
miliknya itu sudah terdaftar untuk ditanami bibit unggul padi IR
dalam program Intensifikasi Khusus (Insus). "Kami disuruh
menyelam dalam kolam itu selama tiga jam tanpa membuka pakaian,"
ujar Amak Jenah, 50 tahun, si petani.
Kejadian yang menghebohkan penduduk Lombok Timur itu diawali
dengan panggilan Dandim Letkol Koswara kepada lima orang
penduduk desa tersebut: Koswara juga memanggil Arifin (guru SD),
Kartanah (guru SD), H. Kamaruddin (bekas kepala desa) serta anak
Kamaruddin, Yanis Maladi (anggota DPRD tk. II dari Fraksi
Persatuan Pembangunan) di samping Janah sendiri. Dan 28 Januari,
kelima penduduk itu datang memenuhi panggilan. Lalu, "Komandan
Kodim menuduh tindakan kami bisa digolongkan merongrong wibawa
pemerintah," ujar Yanis.
Menurut Yanis, dalam pemeriksaan, Koswara membentak-bentak
mereka -- tanpa menyebut kesalahan apa yang mereka perbuat.
Karena hari itu ada sidang di DPRD, di tengah pemeriksaan Yanis
terpaksa minta izin pergi lebih dulu. "Sepeninggal Yanis kami
berempat direndam di halaman Kodim," ujar Jenah. Dan kejadian
itu berulang kembali esok harinya.
Rupanya salah seorang dari mereka, ayah Yanis, Kamaruddin (56
tahun), tidak kuat menerima siksaan. Ia pingsan begitu keluar
dari kolam. "Sampai sekarang ia masih sakit. Sebab itu jangan
diganggu dulu," ujar Yanis kepada TEMPO. Dua hari setelah
penyiksaan itu barulah pihak Kodim membuat berita acara untuk
Amak Jenah, Arifin dan Kartanah. "Tapi sampai saat ini saya
belum tahu apa kesalahan saya," ujar Kartanah, yang merasa
kehilangan harga dirinya sebagai pegawai negeri akibat kejadian
itu.
Kesalahan kelima penduduk itu memang kabur. Yang pasti Amak
Jenah nekat menanami sawah mereka dengan padi lokal -- bersama
tiga rekannya Amak Saim, Amak Mandam dan Amak Nisam. Padahal
keempat petani itu sudah menandatangani persetujuan iku program
Insus. Tahun ini sawah mereka juga termasuk yang dicadangkan
untuk bibit unggul itu.
"Tapi setelah ditunggu-tunggu, bibit itu tidak datang juga,"
alasan Jenah. Sementara hujan yang langka di daerah itu
kebetulan pula turun. "Daripada menunggu lama-lama. Padahal ada
hujan." Selain itu, kata Jenah -- yang juga dibenarkan para
petani di desa itu -- padi IR sebenarnya tidak cocok di daerah
itu. Harganya juga lebih murah dari padi lokal. Jenah sendiri
mengaku, panennya dua kali gagal karena memakai bibit yang
dibilang unggul itu.
Tapi tindakan mereka itu menggusarkan Kepala Desa, Kopral Satu
Mahrip. Ia ini anak buah Koswara yang dikaryakan di situ.
Mahrip, katanya, naik pitam. Ia mengancam akan mengambil
tindakan kekerasan kalau keempat petani itu tidak mencabut
kembali itu bibit lokal. Tiga orang rekan Jenah segera patuh.
Tapi Jenah tidak -- ini soalnya. Ia tetap bertahan walau Mahrip
melakukan berbagai penekanan. "Saluran air sawah saya sampai
ditutup Kepala Desa," kata Jenah.
Lalu, tindakan Mahrip itulah justru yang dilaporkan Jenah kepada
Yanis Maladi. Ingat ia ini anggota DPRD. Nah: waktu melapor itu,
Jenah ditemani dua guru SD di desa itu, Arifin dan Kartanah.
"Saya menyarankan agar laporan itu disampaikan ke Ketua DPRD,
karena saya hanya salah seorang anggota," ujar Yanis yang
kebetulan anggota DPRD termuda di situ. Jenah kemudian menurut:
melapor resmi ke Ketua Dewan.
Dan pengaduan itulah rupanya yang memunculkan panggilan Komandan
Kodim kepada kelima penduduk tersebut. "Padahal ayah saya,
Kamaruddin, tahu soal Insus pun tidak," tutur Yanis lagi. Satu
sumber di desa itu mengaukan, sentimen pribadi Mahrip kepada
Kamaruddin yang digantikannya sebagai kepala desa itulah
penyebab orang tua iu turut diadukan ke Kodim.
Mahrip sendiri tidak bisa ditemui TEMPO. Tapi soal pribadi
Mahrip itu dibenarkan juga oleh Komandan Kodim, Koswara. Hanya,
kata Koswara, Mahrip tidak salah dalam kasus itu. "Ia 'kan hanya
mengikuti petunjuk pemerintah tentang apa-apa yang harus
dilaksanakan warganya," katanya.
Koswara juga membantah melakukan penyiksaan yang sudah disebut
itu. "Mereka saya panggil hanya untuk didengar keterangannya,"
katanya. Ia melakukan pemanggilan, katanya, karena merasa
bertanggungjawab . . . dan seterusnya. Kebetulan pula Mahrip
anak buahnya. "Kalau anak buah saya gagal berarti misi saya
membantu rakyat juga gagal. Bisa-bisa Panglima menegur saya,
karena tidak becus membina anak buah dalam tugas kekaryaan,"
ujar Koswara lagi.
Lalu, baik Bupati Lombok Timur maupun Gubernur NTB menganggap
persoalan yang menghebohkan itu sudah selesai. "Tidak ada
apa-apa, kok," ujar Gubernur Gatot Suherman di tengah
kesibukannya menanggulangi ancaman musim kering yang bakal
melanda wilayahnya. Gatot menilai, tindakan beberapa petani di
desa itu tidak menuruti apa yang sudah disetujui bersama dengan
aparat pemerintah. "Itu bisa dicap subversi, karena bisa
menggagalkan program pemerintah dalam meningkatkan produksi
pangan," ujar Gubernur lagi. Nah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini