Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Merpati
MENINDAKLANJUTI surat terbuka Saudari Ni Sayu Kade Swastinigsih di majalah Tempo edisi 5-11 September 2016, kami sebagai kuasa hukum PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) hendak menyampaikan tanggapan dan klarifikasi.
Secara ringkas dapat kami sampaikan bahwa PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) telah mengalami kerugian dalam kurun yang cukup panjang. Sebagai akibat dari kerugian tersebut, beban perusahaan semakin berat karena harus menanggung akumulasi seluruh kewajiban, baik kepada kreditor maupun pegawai.
Sebagai solusi, pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara cq PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) telah memutuskan menjalankan program restrukturisasi dan/atau revitalisasi yang salah satu fokus utamanya adalah menyelesaikan permasalahan pegawai agar tak terjadi kerugian lebih besar (stop bleeding). Karena itu, lahirlah Program Penawaran Paket Penyelesaian Permasalahan Pegawai PT Merpati Nusantara, yang disingkat Program P-5.
Melalui Program P-5, semua pegawai ditawarkan solusi penyelesaian dengan konsep win-win, yaitu adanya kepastian bagi pegawai dan pembayaran kompensasi yang dinilai layak. Di dalam Program P-5 telah mencakup semua komponen hak, antara lain kompensasi pesangon, pembayaran gaji tertunggak, dan pengambilan iuran Jamsostek.
Kami pastikan Program P-5 bersifat sukarela dan tidak ada paksaan sama sekali kepada pegawai. Karena itu, PT Merpati dan/atau melalui kuasa hukumnya tak pernah melakukan pemaksaan kepada Saudari Ni Sayu Kade Swastiningsih untuk mengikuti Program P-5.
Ihwal kehadiran kami selaku kuasa hukum ke rumah beliau adalah bentuk iktikad baik. Sebab, Saudari Ni Sayu tidak hadir pada saat undangan sosialisasi Program P-5. Kembali kami tekankan maksud dan tujuan kami mendatangi kediaman beliau untuk mencoba menyampaikan sosialisasi P-5 secara langsung. Segala keputusan diserahkan kembali kepada Saudari Ni Sayu untuk menerima, menolak, atau pikir-pikir sebagaimana tertuang dalam berita acara sosialisasi yang sedianya ditandatangani setiap pegawai yang sudah disosialisasi.
Manajemen PT Merpati sepenuhnya menghormati setiap keputusan pegawai. Segala bentuk perselisihan yang timbul akibat belum tercapainya kata mufakat, mekanisme yang patut digunakan adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
ADCO Attorneys at Law
Kuasa hukum PT Merpati Nusantara Airlines (Persero)
Horor Politik Pilkada Jakarta
SETELAH tiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, dan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno, mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Jakarta, suhu politik di Ibu Kota pepat gaduh.
Kegaduhan yang tercipta ibarat hooliganisme sepak bola. Sebelum wasit meniup peluit pertandingan, pemainnya (calon gubernur-wakil gubernur) terpancing melontarkan sindiran ke arah lawan. Simpatisan ikut berkobar, lalu ucapan calon idolanya didaur ulang dengan fakta dan data yang sumir (pseudo-information). Kemudian dibumbui kebencian, yang merusak kesantunan politik.
Anehnya, tidak ada prinsip utama yang dipertahankan, kecuali tiap pendukung saling menjatuhkan. Inilah banalitas politik yang tidak boleh terjadi. "The roots of violence: politics without principles," kata Mahatma Gandhi. Padahal sudah lebih dari 15 tahun pascareformasi. Selama itu pula republik kita telah mengajarkan demokrasi pemilihan kepala daerah. Semestinya rakyat Jakarta lebih cerdas berdemokrasi. Tapi, sebaliknya, akhir-akhir ini yang ditampilkan adalah horor politik.
Banyak tokoh partai, akademikus, bahkan masyarakat awam angkat bicara tentang pilkada Jakarta. Pelakunya tak jarang menganut pola primitif—mengesampingkan etika dan moral—dengan melebihkan porsi teknis strategi dan intrik, bahkan sesekali umbar fitnah.
Jakarta adalah barometer politik, destruksi dari orientasi panutan. Kami, orang daerah, melihatnya seumpama myopia politik. Di kejauhan tampak bayangan suram cermin buruk demokrasi. Coba pikirkan, di luar DKI Jakarta, masih ada 100 daerah lain yang berproses sama, pilkada serentak. Dikhawatirkan politik "caci maki" Jakarta itu mengimbas ke daerah.
Dari daerah, kami menyaksikan—lewat televisi, media massa, dan media sosial—suasana politik Jakarta sungguh "panas". Cukup jenuh kami menyaksikan debat politik bermetamorfosis menjadi kalimat memaki. Kritik tak lagi berubah menjadi autokritik. Ketersinggungan frasa kata berpindah ke arah sarkasme. Diskursus politik menjelma dalam kemarahan politik. Akibatnya, body language politikus dicerminkan oleh emosional perilaku, bukan dari kecerdasannya berbicara.
Salah satu fenomena yang merebak adalah penggunaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Betapa mudahnya SARA digunakan sebagai senjata politik. Pesan SARA ini diunggah lewat media sosial, meminjam otoritas kebenaran, akhirnya saling menjelekkan atau membunuh karakter (character assassination). Seakan-akan Pancasila tersimpan di bingkai emas, diikat mulutnya dan ditumpulkan cakarnya.
Setidaknya kini kita mulai sukar membedakan disparitas kampanye negatif (negative campaign) dan kampanye hitam (black campaign). Padahal kampanye negatif itu sesuai dengan fakta, sedangkan kampanye hitam jauh dari realitas. Keduanya berbaur menjadi kesatuan informasi semrawut. Media sosial diperankan salah satu pilihan ampuh untuk mendoktrin masyarakat. Akibat peran media sosial yang overdosis, ia akan masuk pada kondisi budaya manusia hiper-realitas multimakna, tak sesuai dengan kenyataan sehari-hari (Yasraf Piliang: 1998).
Informasi sesat itu yang banyak kami peroleh dari proses pilkada Jakarta. Patut disayangkan, penggunaan media sosial di Tanah Air kita nyaris kebablasan. Akibat pola demokrasi pilkada yang sesat, tercipta dehumanisasi politik. Di titik kritis, puritanisme kekuasaan semata menetaskan disorientasi pendidikan politik rakyat. Terus terang itu limpasan kecemasan yang saat ini sedang kami alami di daerah.
Bila kecenderungan kampanye hitam dan kampanye negatif dibiarkan merebak, potensi kekerasan politik berbanding lurus dengan ancaman stabilitas. Sebenarnya solusi besar yang kita harapkan adalah tiap pendukung calon kepala daerah DKI Jakarta menjaga kondusivitas. Keniscayaan semua pihak membawa seluruh proses pilkada dengan bahagia.
Iwan Fauzi
Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo