TERNYATA di Kompong Thom tinggal keluarga Pol Pot, pemimpin Khmer Merah yang dituduh bertanggung jawab mengubah Kamboja menjadi ladang pembantaian itu. Selama ini Pol Pot cuma dikenal punya seorang saudara. Ternyata, ia satu dari tujuh bersaudara -- enam lelaki, satu perempuan. Ini hasil lacakan intelijen Pemerintahan Peralihan PBB. Rupanya, nama asli Pol Pot, Saloth Sar, membantu penemuan ini. Di suatu rumah di tepi Sungai Stung Sen, tinggal keluarga Saloth Seng, 78 tahun. Kemudian diketahui dialah kakak tertua Pol Pot. Tidak jauh dari tempat itu, tinggal Saloth Ngap, 66 tahun, adik bungsu pemimpin Khmer Merah itu. Ngap ini sangat mirip Pol Pot, abangnya yang ditakuti dan dikutuk banyak orang. Bertemu Ngap seperti melihat Pol Pot sendiri, wajah itu sangat mirip. Ngap dan Pol Pot sejak lahir tinggal di rumah yang semula dimiliki orang tuanya. Itu sebabnya si bungsu ini bisa bercerita tentang kakaknya itu. Kata dia, Pol Pot dan seorang kakaknya lagi adalah dua orang terpandai di antara saudara-saudaranya. "Sar bersama satu lagi abang saya disekolahkan di Kompong Cham, kami lainnya disuruh bekerja di ladang," tutur Ngap. Kemudian Sar malah dikirim belajar di Paris pada tahun 1950-an oleh pemerintah kolonial Prancis. Sar, yang kemudian dikenal sebagai Pol Pot itu, mengambil jurusan listrik, tapi tidak sampai selesai. Di Paris itulah ia bertemu dengan orang-orang Kamboja yang kemudian menjadi kerabat separtai, antara lain Khieu Samphan, yang belajar ekonomi. Di Paris kelompok itu menjadi anggota Partai Komunis Prancis. Sekembalinya di tanah air, ideologi itu terbawa dan mereka giat dalam Partai Komunis Kamboja. Tahun 1963 Pol Pot menjadi sekjen partai itu. Suatu hari, tutur Saloth Ngap, "Sar menghilang begitu saja." Rupanya, ketika itulah kegiatan Partai Komunis Kamboja dianggap berbahaya oleh Pangeran Sihanouk. Pol Pot dan kawan-kawannya masuk hutan, bergerilya. Di rumah itu hanya Ngap yang suka bicara. Saloth Seng, kakak tertua, meski ikut menemui saya, tak banyak bicara. Hampir terus-menerus ia menundukkan kepala, dan ketika Ngap menuturkan ihwal Pol Pot, air matanya mengalir. Kata Ngap, mereka tidak tahu di mana Sar kini berada, dan rasanya mereka tidak ingin tahu. Tak jelas, apakah karena takut, malu, atau kedua-duanya. Lalu bagaimana nasib seorang Saloth lain yang dianggap pintar seperti Pol Pot? Ternyata ia tewas pada zaman Pol Pot berkuasa. "Ia bekerja di satu surat kabar," kata Ngap tanpa menjelaskan lebih lanjut. Adakah ia korban dari cita-cita saudaranya sendiri, yang hendak membangun masyarakat sama rata sama rasa dari nol? Ketika Khmer Merah berkuasa, memang orang-orang berpendidikan disingkirkan dan dibunuh. Kampung kelahiran Pol Pot ini sendiri mengalami serangan dari banyak pihak. "Desa kami pernah diserang oleh tentara Amerika, oleh tentara Lon Nol, oleh gerilyawan Vietkong, dan pasukan Vietnam," cerita Ngap. Empat kali pula keluarga besar Saloth itu mengungsi. Baru setelah tahun 1979, setelah Khmer Merah disingkirkan ke hutan oleh tentara Vietnam, mereka kembali dan mendirikan lagi rumah yang roboh serta memperbaiki ladang yang rusak. Kini di rumah Saloth Seng terlihat barang-barang yang tergolong mewah di Kamboja: TV berlayar besar dan video. Film video yang ditonton anak cucunya film kung fu atau kartun. Tak tahulah, apa komentar Pol Pot seandainya pulang kampung dan melihat itu semua. YI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini