GARA-GARA Ross Perot, debat dan kampanye calon presiden berkisar soal ekonomi. Berbeda dengan pemilihan presiden Amerika selama ini, yang debat dan kampanyenya didominasi masalah politik internasional. George Bush, mungkin juga Bill Clinton, bisa jadi enggan melempar bola soal ekonomi. Bagi Bush tentu ini bagaikan melempar bumerang. Pada masa pemerintahannya, boleh dikata ekonomi tak juga membaik, malah pengangguran meningkat. Clinton pun mestinya menyadari, soal ekonomi itu soal sulit, tak mungkin diselesakan dalam 2-3 bulan. Bicara soal ekonomi itu riskan. Tapi Ross Perot, yang hampir-hampir terjun ke arena pertandingan tanpa beban mental -- coba simak, bagaimana ia masuk, keluar, dan masuk arena lagi dengan santai -- enak saja melempar bola ekonomi ini. Ia memang menjanjikan kampanye "tidak konvensional", bukan cuma soal politik. Lalu disinggungnya soal defisit anggaran yang mencapai lebih dari US$ 290 milyar tahun ini. Dan bagaimana ia akan mengatasinya sebagai presiden bila terpilih, untuk menghidupkan kembali ekonomi AS: reduksi pengeluaran dan peningkatan pajak. Terpaksalah Clinton dan Bush ikut menari dalam genderang Perot. Soalnya, hal yang akan berpengaruh sampai ke dapur seluruh rakyat Amerika ini tentulah tak bisa diabaikan begitu saja. Tanpa menyinggung soal ini -- yang mustahil dielakkan, memang -- bisa-bisa Bush dan Clinton dianggap tak ingin memperbaiki nasib rakyat. Setelah beberapa dasawarsa merajai ekonomi -- dan politik -- dunia, AS kini dililit resesi. Tak seburuk depresi tahun 1930-an memang. Tapi kemerosotan ekonomi itu kini begitu menghantui, hampir membuat panik masyarakat AS. Mayoritas orang Amerika kini tak lagi merasa sebagai bangsa yang makmur. Tingkat hidup dirasakan terus melorot. Perasaan seperti itu bukan cuma melanda masyarakat lapisan bawah, yang kenaikan pendapatannya tak mengejar meningkatnya biaya hidup, melainkan juga oleh kelas menengah dan pekerja kerah putih. Pertumbuhan ekonomi yang hampir mandek (cuma 1 sampai 2 persen) menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar atau menciutkan bisnisnya. Akibatnya, jumlah penganggur membengkak -- kini mencapai 6,9% dari jumlah tenaga kerja. Dan pengangguran ini sudah mencakup kelas berpengaruh dan vokal seperti manajer dan pekerja profesional lainnya. Kini orang Amerika yang masih punya pekerjaan pun mulai cemas dicium hantu PHK alias diberhentikan. Tak heran jika seorang Tony Lentini, wakil direktur hubungan masyarakat perusahaan Mitchel Energy, di Houston, menyatakan ketakutannya akan nasib anak-anaknya kelak. "Apakah anak saya nantinya mampu hidup layak? Bisa-bisa inilah generasi pertama yang hidup tidak lebih baik daripada orang tuanya." Rabu pekan lalu, kementerian keuangan AS mengumumkan defisit anggaran tahun fiskal 1992, yang berakhir 30 September, mencapai rekor lebih dari US$ 290 milyar, atau US$ 20 milyar lebih banyak ketimbang tahun silam. Kenaikan defisit anggaran ini membengkakkan jumlah utang Amerika, yang pada tahun fiskal 1992 ini mencapai hampir US$ 4 trilyun -- jadi sang superkuat menjadi pengutang terbesar di dunia. Pangkal adanya momok defisit ini adalah faktor anggaran belanja yang kelewat deras mengucur. Meski Bush sudah menyunat anggaran pertahanannya, pengeluaran pemerintah federal AS sekarang ini jauh di atas pengeluaran Washington 10 tahun silam, ketika perang dingin masih berlangsung. Dan kalau ditelusuri, inilah warisan pemerintahan Ronald Reagan. Dengan Reaganomics, sebutan untuk kebijaksanaan ekonomi Reagan, perekonomian AS memang tumbuh pesat. Era ekspansi ekonomi 1980-an tanpa menaikkan pajak ini menurunkan inflasi, pengangguran, kemiskinan, dan menaikkan pendapatan masyarakat. Tapi semua pertumbuhan itu dibiayai dari dana pinjaman. Hingga muncul olok-olok zaman Reagan adalah zaman "pinjam dan belanjakan". Celakanya, pinjaman itu lebih banyak dipakai untuk sektor- sektor tak produktif, misalnya pengambilalihan perusahaan lain yang belum tentu menguntungkan, atau untuk proyek-proyek real estate, ketimbang untuk mendirikan pabrik atau mengadakan mesin produksi. Akibatnya, pada akhir pemerintahan Reagan, terjadi kelebihan investasi, terlalu banyak pinjaman, yang pada akhirnya memunculkan resesi. Terjadi kelebihan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, misalnya. Ini menyebabkan bangkrutnya sejumlah besar perusahaan real estate. Karena menyangkut dana pinjaman, sejumlah bank yang ikut membiayai pun limbung terkena getahnya. Akhirnya, bank-bank yang mampu bertahan menghentikan keran pinjaman, kecuali untuk nasabah terpercaya dan terbaiknya. Ini menohok pertumbuhan ekonomi dalam era Bush. Jadi, memang bukan dosa Bush semata. Pendapatan rata-rata keluarga AS sebenarnya sudah mandek sejak tahun 1973. Yakni cuma naik dari US$ 24.345 tahun 1973 itu menjadi US$ 25.830 tahun silam -- cuma tumbuh 0,3% setahun. Bandingkan dengan pertumbuhan pendapatan dari tahun 1959-1973, yang mencapai 3% setahun. Kemerosotan ini terjadi bertahap, karena itu mungkin tak segera terasakan. Lalu, krisis minyak tahun 1970-an mengatrol inflasi, dan sejak itu dikenallah inflasi double digit AS, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi AS macet. Pada dasawarsa berikutnya, 1980, seperti telah disebutkan, terjadi pencaplokan perusahaan. Ini mengakibatkan eksodus tenaga kerja dari pabrik-pabrik ke sektor jasa. Selama dasawarsa itu lapangan kerja baru kebanyakan untuk sektor perbankan dan eceran, yang celakanya kini sektor itulah yang sedang gencar menciutkan karyawan. Jadi, itu tadi, pengang- guran. Dampak itu semua bertemu di tahun 1989 dan 1990, hingga ekonomi AS macet. Lalu invasi Irak ke Kuwait menaikkan harga minyak. Makin olenglah kapal besar berpenumpang lebih dari 200 juta orang ini. Pemerintah dan ekonom umumnya memperkirakan, resesi bakal berlangsung sebentar. Resesi bakal teratasi dalam dua semester, setelah Perang Teluk selesai. Dugaan ini meleset. Kenyataannya tidak sebagus itu. Keresahan mulai muncul setelah lapangan kerja baru tak juga meningkat dan gelombang pemecatan masih terus berlangsung. Bahkan para sarjana baru mulai tampak putus asa. Banyak sarjana yang mulai menganggur atau mendapat pekerjaan kasar. Kathy Woods, lulusan Sekolah Tinggi Hukum Universitas California yang bercita-cita menjadi pengacara ini, kini bekerja sebagai pelayan toko. Kehidupan sulit ini juga menyebabkan sejumlah migran kembali ke negeri asal. Di El Monte, California, Julio Toruno, anak imigran Nikaragua yang berhasil hidup makmur di Amerika, memutuskan pulang kandang. Keuntungan tokonya anjlok 20% tahun silam, digebuk pajak tinggi, sedangkan pendapatan merosot. "Saya tak seberuntung ayah saya," katanya. Ia lalu menjual segala miliknya di AS, dan pulang ke Nikaragua. Resep mengatasi ekonomi itulah yang kini dijual oleh para calon presiden itu. Usul Clinton, yang kini disebuat Clintonomics, banyak mendapat dukungan masyarakat AS, khususnya kelas menengah, karena bakal diberi hadiah potongan pajak. Tapi, kata yang mengkritiknya, usulan Clinton tidak realistis. Program Clinton dinilai bakal meningkatkan inflasi sampai tingkat yang tak terkendali. Janji Clinton menyunat defisit anggaran sampai separuhnya dalam empat tahun periode kepresidenannya juga dicap tidak realistis. Dan sebagai demokrat, tentu saja Clintonlah yang berani bicara soal menaikkan pajak kelas menengah ke atas (berpendapatan US$ 200.000 ke atas per tahun). Ia pun menjanjikan pengalihan anggaran pertahanan untuk dipakai di sektor produksi, meningkatkan kualitas pendidikan dan transportasi, dan menurunkan pajak kelas menengah ke bawah. Untuk mengurangi defisit yang membengkak, Bush mengusulkan penciutan proyek pemerintah, termasuk program sosial, misalnya anggaran jaminan kesehatan, yang oleh masyarakat AS justru sangat diperlukan. Ini untuk mengindarkan jalan tak populer di kalangan kelas menengah ke atas, yakni menaikkan pajak. Usulan Bush ini dinilai tak akan banyak mengubah perekonomian AS. Tapi pendukung Bush berpendapat, kebijaksanaan ekonomi Bush tersebut akan menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan menjinakkan inflasi di tahun-tahun mendatang. Belum jelas memang, program mana yang terbaik. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya. Tampaknya, untuk sementara ini paling tidak, semua itu baru diperhitungkan untuk menarik sebanyak-banyaknya pendukung. Bagaimana janji itu dilaksanakan, itu soal nanti, setelah 20 Januari 1993, ketika presiden baru dilantik. Farida Senjaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini