DESA Sakrim, yang terletak di Provinsi Kompong Thom, sama sekali tak mengesankan. Daerah ini dikelilingi sawah dan kebun kelapa, dan sepi penduduk. Tak heran bila Khmer Merah memilih daerah ini sebagai sarang gerilyawan. "Dulu, jika kami mendekati tempat ini, tiba-tiba muncul sejumlah orang menodongkan senapan AK-47 dari balik semak-semak, seraya memerintahkan kami pergi," kata Kapten Fransen Siahaan, Komandan Kompi C Garuda XII-B. "Kini kami sudah diizinkan masuk." Pasukan Indonesia memang satu-satunya di antara 30 kontingen UNTAC (pasukan perdamaian PBB) yang berhasil menerobos kubu-kubu gerilyawan Khmer Merah. Tak heran bila tak banyak diketahui orang tentang kekuatan pasukan Khmer Merah sesungguhnya. Wartawati TEMPO, Yuli Ismartono beruntung ketika masuk ke sarang gerilyawan itu diterima oleh Menh Ron, komandan Pasukan 51 Tentara Demokratik Kamboja (NDK). Tidak terlihat penjagaan luar biasa di rumah komandan kompi yang sedang terserang flu itu. Tapi, di pekarangan rumah tampak empat traktor Hino dan Isuzu, peralatan yang dulu dilarang digunakan oleh Khmer Merah. Selain itu, di rumah yang sederhana tersebut terlihat sejumlah kardus berisi bir Tiger buatan Singapura. Tak kelihatan Menh Ron yang bertubuh kurus itu sebagai jenderal yang sangat ditakuti. Dari senyumnya, tak bisa diduga bahwa orang yang keras dan berdisiplin tinggi ini ditakuti anak buahnya. Ada cerita tentang ini. Belum lama ini, seorang tentara Khmer merah yang mangkal di Bohtom, dekat Kraya, menembak helikopter milik UNTAC. Esok harinya, terdengar berita ia ditembak mati. "Begitulah cara Khmer Merah menghukum pelanggar peraturan. Apalagi kalau menyangkut nama baik kelompoknya," tutur seorang pengamat militer. Pemimpin militer Khmer Merah yang tidak menyukai kehadiran UNTAC tersebut tak yakin perang bisa selesai selama pasukan Vietnam masih berada di Kamboja. "Sekarang ini banyak pasukan Vietnam berbaju preman dan hidup bersama tentara pemerintah, dan banyak pula yang menyamar sebagai orang biasa. Jadi, tak mungkin UNTAC melihat tentara Vietnam berseragam," kata Menh Ron. Ia mengaku, sekalipun tak menyebutkan sumbernya, suplai senjata bagi Khmer Merah cukup terjaga. Menh Ron, 38 tahun, asal Battambang, masuk tentara ketika berusia 16 tahun. Ia, sebagaimana tentara dalam perang, jarang bertemu istri dan anak tunggalnya. Namun, keluarga Menh Ron yang bermukim di perbatasan dengan Thailand itu sering berkunjung ke Sakrim. "Jika saya cuti, jangan-jangan tentara Vietnam masuk," selorohnya. Tentara Khmer Merah yang ditakuti itu sesungguhnya, menurut Letnan Satu Neu On, komandan Kompi 51, tidak dilatih lama. "Kami hanya dilatih cara menggunakan senjata selama tiga bulan. Setelah itu langsung perang dan hidup di hutan," katanya ketika ditemui TEMPO di markas pasukan Garuda XII-B di Kendal Thmei. Anggota termuda pasukan Khmer Merah, yang diperkirakan berjumlah 50.000 personel itu, menurut Neu On, berusia 12 tahun. Kader-kader muda itu disuruh masak, mencuci, atau mengangkut barang pasukan seniornya. "Kenaikan pangkat bergantung pada prestasi di lapangan. Sekolah kami di medan perang," kata Neu On, yang baru dua tahun lalu diberi pangkat letnan satu. Dan tanda kepangkatan sengaja tak ditunjukkan di lapangan, kecuali para komandan ke atas. "Agar kami tak ditakuti rakyat, di samping tak mudah ditangkap," kata Neu On. Organisasi militernya pun tak berbeda dengan yang lainnya. Kecuali peleton dipecah dalam satuan-satuan kecil (regu) dan diselundupkan ke semua lapisan masyarakat. Tugas mereka mencari informasi atau mengacau. Perintah atasan, kata Neu On, diterima lewat radio komunikasi. Tak heran bila prajurit Khmer Merah sering tidak kenal atasan mereka. Soal persenjataan, Neu On mengaku, setiap perwira diberi pistol untuk senjata sehari-hari. Pasukan, selain dibekali AK-47 buatan Cina, juga dilengkapi peluncur roket. Sekalipun Cina dikabarkan tak lagi memasok senjata bagi Khmer Merah, mereka ternyata punya persediaan banyak. "Di samping itu, kami masih bisa beli lewat pedagang senjata di perbatasan Thailand," kata Neu On. Ia juga menempatkan keluarganya di perbatasan Thailand,dan sekali enam bulan berkunjung ke sana. Neu On optimistis, kelak bila pemilu yang disiapkan UNTAC dilaksanakan, Khmer Merah akan keluar sebagai pemenang. "Kami benci orang-rorang Vietnam, karena mereka ingin menjajah Kamboja," tuturnya seraya menyebut bahwa Khmer Merah lebih populer di mata rakyat Kamboja. Pasukan Vietnam, menurut dia, berada di Phnom Penh dan di daerah perbatasan, di sekitar Danau Tonle Sap. Neu On menjamin bahwa kekejaman seperti masa pemerintahan rezim Pol Pot, hampir dua dekade lalu, tak akan terulang. "Peristiwa dulu itu kesalahan politik besar," kata Neu On. "Jika pengalaman itu terulang lagi, tentara kami akan pecah." Menurut beberapa pengamat militer di Pnom Penh, di antara kelompok muda Khmer Merah sudah terdapat perasaan jenuh perang. Tapi mereka takut melawan karena takut hukuman yang akan diterima: mati. Salah seorang komandan pasukan Khmer Merah yang banyak dibicarakan pekan-pekan lalu adalah Dat, 35 tahun, yang bermarkas di Desa Thmei. Ia diduga salah seorang otak peledakan dua jembatan baru-baru ini. Keluarga Dat cukup akrab dengan pasukan Indonesia. Tak heran bila mereka saling menjamu. "Tentara kita cukup populer di sini," kata Kapten Joko, anggota pasukan Garuda XII-B. Banyak di antara para istri tentara Khmer Merah yang ingin berkenalan dengan wanita-wanita Indonesia. Mereka kini sudah berapakaian sarung dan blus warna cerah. Tak lagi berbaju hitam-hitam seperti dilukiskan dalam film The Killing Fields. Namun, di balik sifat kewanitaan yang halus, tersembunyi kekerasan hati yang sama dengan suami mereka. Mereka ikut berjuang dengan membangun perangkap ganas, di lubang-lubang jebakan. Ada kisah seorang tentara Indonesia di Kompong Thom yang bertemu dengan seorang wanita perawat di Desa Baray. Wanita yang ramah pada pasukan Garuda XII-B itu ternyata salah seorang anggota pasukan Khmer Merah yang cukup ditakuti oleh musuhnya. "Dia terkenal pembunuh paling kejam di Rute 12," kata seorang perwira pasukan pemerintah Kamboja. Kendal Thmei, daerah yang berada di bawah kekuasaan Neu On, berjarak sekitar 15 menit naik perahu dari wilayah kekuasan Dat. Neu On baru awal bulan lalu mengizinkan pengamat militer UNTAC masuk wilayah. Beda dengan di wilayah kekuasan Dat, di Kendal Thmei pos-pos militer terlihat jelas. Senjata tergeletak begitu saja, menunjukkan bahwa pemiliknya tak jauh dari situ, sekalipun tak terlihatsosoknya. Kendal Thmei adalah tempat penyimpanan sebagian besar persenjataan Divisi 616 NDK. "Kami menyimpan senapan AK-47, Cung, B-40, peluncur roket, maupun amunisi mortir 105 mm, dan setiap saat siap dikirim ke Sakrim," kata Neu On. Tempat penyimpanan senjata di Kendal Thmei adalah bekas tempat pembakaran bata. Tempat ini dijaga siang malam oleh 25 orang. Dulu, kata Neu On, tempat itu sering diserang. Sejak datangnya pasukan Indonesia, serangan sudah berkurang. Di Kendal Thmei, Neu On bermarkas di sebuah gubuk terbuka. Gubuk itu sekaligus tempat kediamannya bersama tiga perwira lain. Mereka tidur pada satu balai-balai. Anggota pasukan lainnya tidur di lapangan. Hanya ransel berisi obat-obatan yang ditempatkan di markas Neu On. "Penyakit yang paling sering menyerang kami adalah malaria. Saya sendiri kena penyakit itu ketika bertugas di Pailin pada 1979," kata Neu On. Meski sudah lama berdinas di NDK, Neu On mengaku belum pernah ketemu Pol Pot. Ia juga tampak tak begitu menyenangi pemimpin Khmer Merah yang terkenal kejam itu. "Saya hanya tahu ia mengundurkan diri dari kegiatan militer tahun 1987. Sekarang panglima tertinggi kami Son Sen," kata Neu On. Tapi, Neu On tahu banyak mengenai Ta Mok, komandan yang terkenal ganas pada masa pembantaian masal dilakukan kelompok Khmer Merah. Ta Mok adalah tangan kanan Pol Pot yang ditugaskan membantai komandan-komandan pasukan Khmer Merah yang waktu itu dinilai kurang setia pada perjuangan mereka. Dia pula yang membunuh penduduk-penduduk keturunan Vietnam di Kamboja Timur, yang kemudian mengakibatkan serangan balik dari Hanoi. "Ta Mok kini berada di daerah Anlung Veng, di bagian utara, di perbatasan dengan Thailand. Ia sudah tua," kata Neu On. Sekalipun sudah beranjak tua, toh Ta Mok, yang dikenal sebagai komandan berkaki satu, masih cukup berpengaruh di divisi-divisi yang bertugas di Kamboja Tengah. Bahkan beberapa pengamat menduga, Ta Mok sering beroperasi sendirian, lepas dari perintah Pailin. Neu On -- terakhir bertemu dengan Ta Mok tiga tahun silam -- mengatakan bahwa komandan itu sering memberi perintah lewat radio. Ta Mok, yang ditakuti oleh anak buahnya itu, menurut Neu On, juga dikenal baik hati. "Ia galak, suka membentaki anak buahnya. Kalau marah, bahasanya kasar. Namun, jika ada yang perlu arloji, tanpa pikir lagi ia berikan miliknya sendiri," katanya. Neu On merupakan generasi penerus Khmer Merah. Kendati masih patuh pada garis keras yang diputuskan Pailin, ia tampak ingin bergabung dengan dunia luar, sedikitnya dengan sesama warga Khmer di negerinya sendiri. Maka, ia terbuka sekali dengan anggota pasukan Garuda XII-B. Neu On memang berharap, kehadiran pasukan PBB akan mempercepat proses damai di Kamboja. Karena itu, mungkin benar pernyataan Sukhumbhand Paribatra. Ahli politik luar negeri Universitas Chulalongkorn di Bangkok itu berpendapat, Khmer Merah lama-lama bakal terpojok dan terpaksa menyerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini