Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasser tampak sibuk menyapu lantai kedai kopi Stars and Bucks di Ramallah, Tepi Barat, Palestina. Sabtu dua pekan lalu, kedai yang logonya mirip dengan kedai kopi ternama asal Amerika Serikat itu sepi pengunjung. Yang tampak hanya kursi-kursi kesepian di tengah udara Januari yang dingin. "Biasanya di akhir pekan seperti ini kafe kami ramai pengunjung," ujar barista (peracik kopi) itu kepada Al-Jazeera. Dia menolak menyebutkan nama lengkapnya karena alasan keamanan.
Perekonomian di Tepi Barat sedang lesu dalam beberapa bulan terakhir, semenjak Israel menghentikan pengucuran dana dari pendapatan pajak bagi Palestina pada Desember lalu. Tindakan Israel itu merupakan buntut pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Palestina sebagai negara peninjau non-anggota dalam sidang umum 29 November 2012.
Sebagian besar penduduk Palestina khawatir kebijakan itu akan terus berlanjut bila koalisi sayap kanan pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memenangi pemilihan umum pada Selasa pekan lalu. Hasil hitung cepat menunjukkan koalisi Partai Likud dan partai ultranasionalis Yisrael Beiteinu memimpin dengan merebut 31 dari 120 kursi Knesset, parlemen Israel. Perolehan itu memang menurun dibanding pemilihan sebelumnya, ketika mereka meraup 42 kursi. Namun, bila hasil tersebut tak berubah, pria yang akrab disapa Bibi itu kemungkinan besar bakal menjadi perdana menteri untuk ketiga kalinya. Ia pertama kali menjabat pada 1996-1999.
Kekhawatiran penduduk Palestina cukup beralasan karena isu keamanan menjadi agenda utama kampanye Netanyahu. Dalam salah satu iklan kampanyenya di televisi, Netanyahu tampak berdiri di depan peta Timur Tengah berukuran besar. Dia menunjuk wilayah-wilayah yang menjadi ancaman bagi Israel, seperti Palestina dan Iran. Dalam iklan tersebut, Netanyahu berjanji memagari negara berpenduduk 7,7 juta jiwa itu dengan sistem pertahanan roket bila terpilih kembali sebagai perdana menteri.
Bagi warga Palestina, baik yang tinggal di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas maupun di Tepi Barat yang dikuasai Fatah, hidup bakal makin sulit dengan kemenangan Netanyahu. Sebab, di bawah pemerintahan Netanyahu, Israel membangun tak kurang dari 6.900 rumah untuk warganya di tiga wilayah Palestina, yakni Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem.
Pada Desember lalu, Israel mengumumkan rencana membangun 3.000 rumah lagi. Sejak mencaplok Tepi Barat pada 1967, Israel telah memindahkan sekitar setengah juta warganya ke Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Kekhawatiran mereka semakin beralasan karena Netanyahu berniat berkoalisi dengan partai-partai beraliran kanan, ultranasionalis, dan ortodoks, yang selama ini mendukung program permukiman. Salah satu partai yang sedang didekati Netanyahu adalah partai ultranasionalis Habayit Hayehudi atau Rumah Orang Yahudi. Partai yang dipimpin pengusaha Naftali Bennett, 40 tahun, ini merebut 11 kursi parlemen.
Ideologi putra imigran asal Amerika itu setali tiga uang dengan Netanyahu. Bekas Ketua Dewan Permukiman Yudea Samaria—lembaga kota praja yang menaungi permukiman-permukiman Yahudi di Tepi Barat—ini berkukuh tak mengakui keberadaan negara Palestina. Ambisinya adalah menyatukan sebagian besar wilayah Tepi Barat dengan Israel. "Saya akan melakukan apa saja untuk memastikan rakyat Palestina tidak memiliki sebuah negara," ujar Bennett, seperti dikutip New Yorker.
Partai lain yang akan didekati Netanyahu adalah Yesh Atid (Ada Masa Depan) dan Shas. Yesh Atid, yang dipimpin bekas pembawa acara televisi terkenal di negara itu, Yair Lapid, secara mengejutkan menempati peringkat kedua dengan 19 kursi. Sedangkan Shas, yang beraliran religius, mendapatkan 11 kursi Knesset.
Yesh Atid mendapat dukungan dari kelas menengah dan pemilih sekuler, yang mendapat janji penambahan perumahan, penghapusan wajib militer bagi pelajar seminari Yahudi, serta perbaikan sistem pendidikan yang dianggap gagal. Ditilik dari hasil sementara, koalisi sayap kanan dan ultranasionalis yang dikomandani Netanyahu akan mengumpulkan 61-62 kursi, sedangkan partai-partai beraliran tengah-kiri mengumpulkan 58-59 kursi.
Selain persoalan permukiman, Netanyahu menyatakan Iran merupakan ancaman bagi Israel di masa mendatang. "Tantangan pertama adalah mencegah Iran menghasilkan senjata nuklir," ujar politikus 63 tahun ini Rabu pekan lalu.
Isu pertahanan dan kebijakan luar negeri sebenarnya tak begitu laku di dalam negeri Israel. Hasil jajak pendapat harian Haaretz, yang dipublikasikan Jumat dua pekan lalu, menunjukkan 47 persen responden menyatakan isu sosial ekonomilah yang menjadi perhatian mereka saat ini. Delapan belas persen responden menyatakan perlunya negosiasi dengan Palestina dan hanya sepuluh persen responden yang menyatakan program nuklir Iran merupakan ancaman bagi Israel. "Mayoritas orang Israel tak ingin berperang dengan Iran," ujar pakar komunikasi politik dari Interdisciplinary Center Herzliya, Gadi Wolfsfeld.
Isu sosial ekonomi, khususnya kesulitan yang dihadapi kelas menengah Israel, yang ditawarkan para lawan Netanyahu—pemimpin Partai Buruh, Shelly Yachimovich, dan Yair Lapid—terbukti lebih mendapat sambutan masyarakat. Partai Buruh menempati posisi ketiga dengan 15 kursi.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyatakan hampir semua partai di Israel memiliki program mengelola konflik dengan Palestina, bukan mengakhirinya. "Kenyataan ini menghapus harapan tercapainya solusi perdamaian dua negara yang didorong dunia internasional," demikian pernyataan Departemen Riset PLO beberapa waktu lalu.
Seorang pembantu Presiden Palestina Mahmud Abbas, Mohammed Ishtayeh, mengamati dari dekat kampanye partai-partai di Israel menjelang pemilu. Dia mendapat kesan bahwa perdamaian dengan Palestina memang tidak masuk agenda mereka. "Kemenangan Netanyahu akan berat bagi kami karena itu berarti akan makin banyak bangunan di permukiman," ujarnya.
Pembantu Abbas lainnya, Nabil Shaath, mengatakan Presiden Barack Obama harus lebih tegas kepada Netanyahu. Obama diminta menekan Netanyahu agar tak terus membangun permukiman di wilayah Palestina.
Dari sekian banyak partai di Israel, hanya Partai Hatnuah, yang dipimpin bekas Menteri Luar Negeri Tzipi Livni, yang menawarkan program perundingan damai dengan Palestina. Livni mengatakan eksistensi Israel terancam tanpa kesepakatan damai. Namun kampanyenya kurang mendapat sambutan dan partainya hanya meraih enam kursi di parlemen.
Menurut bekas Duta Besar Amerika untuk Israel, Martin Indyk, Presiden Barack Obama tidak terlalu berharap pemerintah baru akan membuat perdamaian dengan Palestina. Gedung Putih juga menyatakan siapa pun pemenang pemilu Israel tidak akan mengubah kebijakan Abang Sam terhadap Israel. "Amerika tetap berkomitmen bekerja dengan berbagai pihak untuk menekan agar tujuan solusi dua negara tercapai," kata juru bicara Gedung Putih, Jay Carney.
Sebagian penduduk Palestina juga tak ambil pusing terhadap hasil pemilu Israel. Sebab, meski PBB sudah mengakui Palestina sebagai negara, pada kenyataannya kehidupan sehari-hari di sebagian besar wilayah Palestina masih dikendalikan Israel melalui pos-pos pemeriksaan. Mereka tak mempercayai partai-partai di Israel, baik sayap kiri maupun sayap kanan. "Jika Anda melihat sejarah, setiap pemerintah Israel membangun permukiman," ujar pembuat film dokumenter asal Palestina, Mohammed Alatar, di Ramallah kepada Al-Jazeera.
Wajdi Sbeih, insinyur di Ramallah, juga tak berharap banyak pada hasil pemilu karena siapa pun pemenangnya tidak akan mengubah apa-apa. "Partai Buruh dan Likud datang silih berganti. Tapi, ketika sampai pada isu Palestina, sikap mereka sama."
Sapto Yunus (AP, Reuters, The Washington Post, Xinhua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo