Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penulis Surat Pembaca Didenda

Mahkamah Agung menjatuhkan denda Rp 1 miliar kepada penulis surat pembaca. Majelis hakim dianggap mengabaikan kepentingan umum.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hampir satu jam mata Khoe Seng Seng tak lepas dari layar komputer di depannya. Pada Sabtu sore, 12 Januari lalu, awalnya ia iseng menyalakan komputer di rumahnya di Pejagalan, Jakarta Utara. Aseng—panggilannya—berseluncur ke situs resmi Mahkamah Agung. Pria 47 tahun itu kaget dengan apa yang tertulis di layar. Majelis hakim kasasi memutus ia wajib membayar denda Rp 1 miliar. "Tubuh saya langsung lemas," katanya kepada Tempo.

Berkali-kali dia baca lampiran putusan sebanyak 41 halaman yang ia unduh dari situs tersebut sambil berharap ia salah menafsirkan kalimat di dalamnya. Ternyata hasilnya sama: ia divonis bersalah dan telah merugikan PT Duta Pertiwi Tbk. Setelah merasa tubuhnya normal kembali, Aseng mengambil telepon seluler dan mengirim pesan ke pengacaranya dari Lembaga Bantuan Hukum Pers untuk memberitahukan putusan itu. Senada dengan Aseng, pengacaranya pun terperanjat.

Majelis hakim kasasi yang diketuai Imron Anwari dan beranggotakan Suwardi serta Timur P. Manurung menyatakan Aseng telah mencemarkan nama baik PT Duta Pertiwi sebagai pengelola ITC Mangga Dua, Jakarta Barat. Vonis ini jatuh pada 4 Januari 2012. Lamanya jarak antarvonis hingga putusan itu dipublikasikan karena selama ini MA sering menerapkan tahap ketat yang berliku.

Sekitar Maret tahun lalu, Aseng sempat mengunjungi situs ini. Di sana, vonis kasus bernomor 483 K/Pdt/2010 ini hanya mencantumkan kata: "Kabul". Tanpa keterangan. Vonis ini tak membuat Aseng gelisah. Ia masih berharap MA salah menulis putusan vonis. Apalagi teman-temannya sesama pembeli kios di ITC Mangga Dua dibebaskan hakim dari hukuman denda. "Saat itu, saya tak ambil pusing isi situs tersebut," ujarnya.

Aseng, yang membeli kios di ITC pada 1990-an, merasa dirugikan oleh Duta Pertiwi. Kios itu ternyata bukan berstatus murni hak guna bangunan (HGB), melainkan HGB di atas hak pengelolaan lahan. Artinya, lahan ITC Mangga Dua adalah milik pemerintah DKI Jakarta. Mereka yang menggunakannya wajib membayar sewa Rp 3 juta per bulan kepada DKI. Uang ini di luar biaya pembelian kios.

Para pemilik kios baru tahu pada 2006. Sejak dibeli hingga sekarang, kios itu dimanfaatkan Aseng untuk berdagang suvenir. Pada tahun yang sama, mereka sempat mengadu ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya untuk kasus penipuan. Di tengah jalan, polisi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan kasus ini. "Klien kami tentu saja tak puas," kata Sholeh Ali dari LBH Pers.

Aseng mengajak tiga pemilik kios lain, Fifi Tanang, Winny alias Kwee Meng Luan, dan Pan Esther, menulis surat pembaca. Harian Kompas pada 26 September 2006 memuat surat tersebut dengan judul "Duta Pertiwi Berbohong". Dua bulan kemudian, mereka menulis hal yang sama di koran Suara Pembaruan dengan judul "Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua". "Kami tak ingin masyarakat tertipu," ujar Aseng.

Ekor dari dua surat pembaca ini ternyata panjang. Manajemen Duta Pertiwi merasa tersinggung oleh dua surat pembaca itu. Bukannya membicarakannya dengan baik-baik, mereka membalas dengan mengadukan Aseng, Fifi, Esther, dan Winny ke Markas Besar Kepolisian RI. Mujarab, pengaduan ini diproses ke pengadilan. Selain Esther, ketiganya divonis telah mencemarkan nama baik Duta Pertiwi dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan setahun. Hingga kini mereka belum pernah ditahan.

Sembari mengadu ke polisi, Duta Pertiwi melayangkan gugatan perdata kepada keempatnya. Gugatan ini yang kini jadi persoalan. Mereka dituntut membayar ganti rugi atas tercemarnya nama baik Duta Pertiwi dalam bentuk uang. Di pengadilan, Aseng dituntut membayar denda Rp 17 miliar. Jumlah ini menciut saat vonis menjadi Rp 1 miliar. Winny dan Fifi bebas dari gugatan ini. Di tingkat banding, Aseng menang. Ia bebas dari vonis ganti rugi.

Aseng semakin menggelengkan kepalanya karena vonis kasasi ini dianggap aneh. "Banyak yang janggal," katanya. Sholeh, pengacaranya, mengatakan hakim tidak menggunakan kontra-kasasi yang diajukan Aseng. Dalam kontra-kasasi, Aseng lewat pengacaranya meminta hakim mempertimbangkan menggunakan Undang-Undang Pers. Artinya surat pembaca yang ditulis Aseng dan kawan-kawan mesti dilawan dengan surat atau dibawa ke Dewan Pers. "Surat pembaca adalah produk jurnalistik," ucap Sholeh.

Keanehan lain, kasus Winny juga dibawa ke tingkat kasasi. Majelis hakim yang menanganinya berbeda. Vonis Winny keluar enam bulan lebih cepat ketimbang Aseng. Ia divonis bebas. Winny juga ditangani LBH Pers. Padahal, kata Sholeh, isi gugatannya sama persis dengan Aseng. "Majelis hakim kasus Winny mengatakan Duta Pertiwi telah salah menerapkan hukum," ujarnya.

Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Ahyar Salmi, mengatakan putusan majelis hakim kasasi kasus Aseng memang aneh. Hakim seharusnya tak boleh mengabaikan kontra-kasasi yang diajukan tergugat seperti Aseng. Ia juga tak setuju surat pembaca bisa digugat ke pengadilan. Seharusnya dilakukan dengan metode hak jawab di media surat pembaca itu dimuat. "Seharusnya hakim menggunakan UU Pers," katanya.

Ahyar mengatakan kasus Aseng mirip dengan kasus Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Internasional Omni Tangerang. Kedua kasus ini mengandung fakta bahwa mereka sama-sama dirugikan. Lalu kerugian ini dipublikasikan dengan harapan masyarakat lain tak ikut mengalaminya. Hakim, ujar dia, dalam menerapkan putusan seharusnya tidak selalu mengacu pada hukuman, sementara kebenaran yang menyangkut kepentingan publik diabaikan. "Seharusnya hakim mengedepankan kepentingan umum," kata Ahyar.

Sholeh turut menyorot kinerja hakim Imron. Saat ini Imron memang disorot karena mencopot hukuman mati terpidana narkoba Hanky Gunawan. Sholeh mengatakan mereka curiga karena Imron dan timnya menghasilkan putusan yang, menurut dia, tidak masuk akal. Salah satunya karena Winny dibebaskan oleh MA. Tapi ia tak punya bukti. "Yang bisa kami lakukan saat ini hanya mengajukan permohonan peninjauan kembali," ujarnya.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan belum mengetahui isi putusan Aseng. "Nanti kami lihat dulu," katanya. Sedangkan Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan belum menerima pengaduan terhadap Imron dalam menangani kasus Aseng. "Untuk kasus Hanky, Imron memang tengah kami sidik," ucapnya.

Aryani Kristanti, Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus